Mubadalah.id – Dulu saya sering punya penyakit hati berupa iri. Penyakit ini akan mudah bergejolak jika melihat ibu-ibu yang bisa pergi dan beraktivitas (bekerja) tanpa anak-anaknya merengek minta ikut. Duh… sungguh saya iri. Seakan-akan saya tidak sabar mengasuh anak.
Karena selama mengasuh anak, saya tidak pernah punya privilege semacam itu. Keluar rumah ya berarti satu paket dengan semua pasukan. Apalagi sekarang ada bayi. Jadilah kalau keluar rumah untuk satu keperluan (misalnya antar anak les) saya jadi seperti bawa tanjidor. Satu anak di gendongan depan, dan dua anak lain membonceng di belakang.
Saya sih biasa dan santai saja.. cuma biasanya yang melihat suka terbit iba sama saya. Apalagi di boncengan, si tengah dan si sulung ini bukan cuma ngobrol dan gocek-gocekan tangan. Main UNO pun bisa mereka lakukan ?
Sampai pernah ada bapak-bapak yang menawarkan diri untuk mengantar salah satu anak saya, karena dia melihat saya tidak seimbang dalam bermotor ?
(terimakasih bantuannya lho pak… tapi ntar kalau bapak yang antar anak saya, malah jadi tambah ngga seimbang hidup saya. eeaa)
Tapi akhirnya saya tidak lagi iri akan hal itu. Sebab ternyata keluar sendiri tanpa anak-anak, malah jadi terasa aneh. Hambar dan tidak tenang. Meskipun bujang-bujang saya ini polahnya astaghfirullah…. tapi kalau mereka ada dan terlihat oleh mata, rasa tenang jadi terbit. Keperluan di luar rumah pun malah lebih cepat selesai.
Sekarang rasa iri saya beralih…
Kepada ibu yang punya banyak anak, dengan jarak usia yang berdekatan, namun mampu untuk BERSABAR.
Iya….. SABAR.
Sabar dalam mengasuh anak, mengurusi semua keperluannya.
Sabar ketika ada salah satu anak yang sakit, lalu menulari anak lainnya.
Sabar ketika suami tidak ada waktu untuk membantu mengasuh anak sebentar saja.
Sabar dengan omongan orang, “anaknya banyak bener… doyan apa doyan?”
Sabar tanpa bantuan asisten.
Sabar mengajari mereka mengaji, membaca dan menulis.
Sabar menikmati makan selalu dalam keadaan tidak tenang.
Sabar hanya bisa mandi di malam hari setelah suami pulang.
Sabar dalam keterbatasan keuangan.
Sabar menyayangi anaknya, berapa pun jumlahnya.
Sabar menerima semua karakter anak. Menyenangkan maupun tidak.
Sabar menjadi ibu dan istri.
Sungguh pada diri mereka saya sangat iri…
Oh ibu…. kesabaranmu inilah yang nanti akan menjadi pelita di hati anak-anakmu
Duka nestapa dan kelelahan yang kau lalui, tidak akan pernah mengkhianatimu.
Nanti jika anak-anak yang saat ini begitu melelahkanmu, kelak akan maju jadi pelindungmu. Jadi prajurit yang membanggakanmu.
Pada mereka saya banyak belajar. Banyak berdiskusi. Bagaimana mengolah rasa, dan istiqomah dalam bersabar menghadapi anak dengan segala roman masalahnya.
Dan sampai sekarang belum berhasil….. ?
Saya masih saja suka pakai nada tinggi. Suka lepas kendali. Dan melakukan hal-hal buruk lainnya yang sungguh saya sesali. Padahal mereka, anak-anak itu, akan terus membesar.. meninggalkan masa kecil mereka yang tak pernah akan kembali. ??
Mengapa saya harus menancapkan kenangan pahit, bukan keindahan dan kasih sayang saja? ?
Maka sungguh doa yang saya lantunkan banyak-banyak saat ramadhan ini, adalah doa untuk bisa bersabar. Sabar menjadi ibu, dan istri.
Anak-anak itu sejatinya tidak pernah nakal, tak pernah mengganggu.
Mereka terlahir fitrah, suci. Datang sebagai hadiah dari Allah atas permintaan khusyuk kita kala itu.. “Yaa Allah… karuniakanlah kepada kami keturunan yang sholeh dan menyejukkan mata…”
Kalau sekarang anak itu belum jadi penyejuk mata, masalahnya bukan ada pada mereka. Tapi ada pada kita, ibunya, yang bisa jadi hatinya masih panas membara.
Api tak pernah melahirkan air, bukan? Air datang dari telaga, bukan dari kobaran api.
Hiks…. maafkan bunda ya, anak-anak..
Semoga predikat sabar itu bisa bunda peroleh.
Dan kelak jika kalian melihat ke masa ini… kalian hanya akan mendapati kenangan manis dan penuh kasih.
Mari bersabar dalam menyayangi anak-anak kita
Se “nakal” apa pun mereka
Semoga kelak kita memanen indah, ikhtiar di hari ini..
Dari seorang ibu yang banyak lalai-nya.