• Login
  • Register
Sabtu, 7 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Sampaikan Apa yang Kamu Rasakan dan Inginkan

Alifatul Arifiati Alifatul Arifiati
01/10/2020
in Keluarga, Pernak-pernik
0
175
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Masa pandemik ini memang menjadi masa yang yang penuh tantangan bagi banyak pihak, pun dalam berelasi dalam rumah tangga, anak dengan Ibunya, anak dengan Ayahnya, suami dengan istrinya. Sering sekali mendengar cerita dari tetangga, media, teman, ada orang tua yang setiap hari memarahi anaknya perihal tugas sekolah, hingga suara terdengar sampai tetangga di depan, belakang, kiri kanan rumahnya. Dalam hal ini tentu saja saya merasa beruntung, di masa pandemi ini tidak berjibaku dengan anak dan tugas sekolahnya, karena anak kami masih usia 3 tahun.

Cerita lain adalah, ketika suami dan istri sama-sama bekerja, karena pandemik, keduanya harus menjalani bekerja dari rumah (work from home), banyak cerita-cerita menarik, dari teman, saudara, tetangga. Ceritanya kadang bikin tertawa, sedih, hingga marah, tapi tentu saja bisa direfleksikans seperti apa pola relasi antara suami istri dalam masa bekerja dari rumah.

Sebagai pasangan suami istri, yang sama-sama menjalani kerja dari rumah dan kadang kerja dari kantor, jika ada hal yang mengharuskan bertemu. Banyak sekali tantangan yang dihadapi, mungkin juga pengalamannya sama dengan para pembaca budiman tulisan saya ini, hehehe..

Awal-awal bekerja dari rumah, sekitar akhir bulan Maret, berjalan santai, karena terbiasa hari-hari penuh dengan kegiatan-kegiatan di luar rumah, jadi bekerja dari rumah seperti mendapat ‘durian runtuh’, sangat menikmati, hingga kerjaan kantor pun sering terlupakan.

Dua minggu berselang, mulai sadar dengan tanggung jawab pekerjaan, dan pertemuan daring serta seminar-seminar daring yang sangat menarik, mulai mengisi setiap jam, pagi, siang, sore, bahkan malam selalu online, tak terhitung berapa gigabite yang telah dihabiskan, hingga badan memberikan rambu-rambu, kepala mulai sering pusing, badan lemes, bangun pagi kurang bersemangat. Tidak banyak aktivitas fisik, tapi setiap malam harus dibalur kutus-kutus agar tidur nyenyak.

Baca Juga:

Dekonstruksi Pandangan Subordinatif terhadap Istri dalam Rumah Tangga

Fondasi Kehidupan Rumah Tangga

Kafa’ah yang Mubadalah: Menemukan Kesepadanan dalam Moral Pasutri yang Islami

Najwa Shihab dan Ibrahim: Teladan Kesetaraan dalam Pernikahan

Hingga, akhirnya sadar harus mengurangi aktivitas online, sehari hanya terlibat maksimal 6-8 jam pertemuan daring, rapat ataupun diskusi-diskusi, untuk diskusi pilih yang benar-benar temanya menarik, pengetahuan atau informasinya diperlukan untuk asupan gizi otak, atau diskusi yang tidak terlalu santai, yang bisa diikuti sambil memasak di dapur. Di sela istirahat mulai diisi dengan mewarnai, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, sekalian nemenin anak bermain warna, aku turut mewarnai untuk rileks.

Terkadang, di hari dan jam yang sama, saya dan pasangan sama-sama harus melakukan kegiatan daring, entah menjadi peserta, narasumber, host, dan lainnya. Di sinilah, terlihat nyata perbedaan antara saya dan pasangan. Ketika jadwal kegiatan online pagi, maka sebelum itu saya menyiapkan sarapan, jika masih sempet memandikan anak juga.

Suami? Selagi saya masih masak, dia masih tidur, bangun tidur sarapan dan bersiap kegiatan online. Saat istirahat siang, saya biasanya menyiapkan cemilan, apapun bisa bikin sendiri atau beli, lebih sering membuat sendiri. Menyiapkan dan menemani anak makan, sholat, istirahat sebentar lanjut kegiatan daring.

Begitupun ketika malam hari, jika kegiatan malam hari, maka yang saya lakukan adalah memastikan makan malam untuk keluarga, setelah makan malam, baru lanjut kegiatan daring. Berbeda sekali dengan suami, yang jika akan berkegiatan, yang dipersiapkan adalah mandi dan persiapan teknis, komputer siap, background siap, internet siap, meja siap dan lainnya. Jika, saya mau kegiatan, adalah persiapan kebutuhan makan keluarga, baru kebutuhan teknis, kadang skip mandi, tidak memikirkan background, bahkan sambil ngeloni anak disela-sela kegiatan, sering banget.

Alur seperti itu berlangsung lama, kesel? Pasti. Capek? Pasti. Marah? Sudah tentu. Tapi, apa yang bisa dilakukan untuk merubah situasi menjadi yang saya inginkan, berbagi peran yang lebih seimbang antara saya dan suami, pasangan saya. Saya tidak mungkin diam saja, lalu tiba-tiba marah, tanpa kejelasan, hingga akhirnya muncul kesimpulan, “perempuan tidak pernah salah, perempuan selalu benar”, itu bukan akhir yang saya inginkan.

Saya harus melakukan sesuatu. Teringat sekali apa yang disampaikan oleh Ibu Nyai Nur Rofiah dalam Ngaji Online Kajian Gender Islam (KGI) yang beberapa kali saya ikuti, sampai saya lulus S3, hehe.. Perempuan idola saya ini bilang, “dalam masyarakat kita seringkali bilang diam adalah emas, tapi jangan-jangan kalau bicara, kita bisa mendapatkan berlian”.

Wah, ini relate banget, akhirnya saya ajak ngobrol suami:
“Ayah nggak lapar?”;
“lapar”;
“kenapa nggak masak?”;
“kan saya lagi zoom”;
“saya juga zoom, tapi saya masak, bahkan juga bisa sambil nidurin anak”;
ini awal saya membuka percakapan dengan suami, setelahnya saling terbuka apa keinginan saya dan apa yang pendapatnya.

Apakah ada pengaruhnya setelah saya bicara, speak up? Ngaruh bangeet…. Pasangan menjadi lebih peka, sigap membantu memasak, bahkan jika melihat saya masih sibuk dengan laptop ketika waktu makan hampir tiba, akan segera ke dapur dan melihat persediaan bahan makanan dan memasaknya, bahkan berbelanja sayur di penjual sayur keliling.

Dari cerita saya, saya ingin menyampaikan bahwa berbagi peran antara suami dan istri itu nyata, tidak hanya angan-angan. Membangun kesetaraan dalam rumah tangga itu butuh proses, tidak ujug-ujug. Kalau Kyai Faqih Abdul Kodir bilang, “laki-laki harus terus diingatkan untuk jangan sampai melakukan kekerasan”, begitupun perempuan, harus terus diingatkan untuk berani menyampaikan apa yang dirasakan dan diinginkannya. []

Tags: istrikeluargaKesalinganrumah tanggasuami
Alifatul Arifiati

Alifatul Arifiati

Staf Program Islam dan Gender di Fahmina Institute

Terkait Posts

KDRT

3 Faktor Sosial yang Melanggengkan Terjadinya KDRT

7 Juni 2025
Apresiasi Kepada Perempuan yang Bekerja di Publik

Islam Berikan Apresiasi Kepada Perempuan yang Bekerja di Publik

6 Juni 2025
Wuquf Arafah

Makna Wuquf di Arafah

5 Juni 2025
Aurat

Aurat Perempuan: Antara Teks Syara’ dan Konstruksi Sosial

5 Juni 2025
Batas Aurat

Menelusuri Perbedaan Pendapat Ulama tentang Batas Aurat Perempuan

5 Juni 2025
Fikih Ramah Difabel

Menggali Fikih Ramah Difabel: Warisan Ulama Klasik yang Terlupakan

5 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • KDRT

    3 Faktor Sosial yang Melanggengkan Terjadinya KDRT

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fenomena Walid; Membaca Relasi Kuasa dalam Kasus Kekerasan Seksual

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Spirit Siti Hajar dalam Merawat Kehidupan: Membaca Perjuangan Perempuan Lewat Kacamata Dr. Nur Rofiah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dari Sapi Hingga Toleransi : Sebuah Interaksi Warga Muslim Saat Iduladha di Bali

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan
  • Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi
  • 3 Faktor Sosial yang Melanggengkan Terjadinya KDRT
  • Dari Sapi Hingga Toleransi : Sebuah Interaksi Warga Muslim Saat Iduladha di Bali
  • Spirit Siti Hajar dalam Merawat Kehidupan: Membaca Perjuangan Perempuan Lewat Kacamata Dr. Nur Rofiah

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID