Mubadalah.id – Pada masa penjajahan, masyarakat santri berperan sebagai bagian dari kekuatan perlawanan terhadap kolonialisme dengan mengimplementasikan jihad di jalan Allah Swt.
Pada masa Kolonial, Islam menjelma menjadi kekuatan sosial yang mampu memberikan daya dorong kepada masyarakat untuk melakukan perubahan.
Daya dorong tersebut tampak dari berbagai perlawanan rakyat yang berlatar belakang Islam dan upaya untuk membangun suatu organisasi pergerakan yang bergerak secara sistematis.
Islam telah menjadi magnet dan daya tarik masyarakat untuk melakukan transformasi sosial dan perlawanan terhadap kolonialisme.
Perlawanan kaum santri terhadap kekuatan kolonial terbukti dengan beberapa peristiwa di abad ke-19. Beberapa di antaranya adalah Perang Padri (1819-1832 M), Perang Ponegoro (1825-1830 M), dan yang terlama adalah Perang Aceh (1873-1912 M).
Dalam perang Diponegoro, pengikut yang paling menonjol berasal dari santri perdikan. Babad Diponegoro menceritakan banyak hal keterlibatan Kiai Mlangi dalam gerilyanya. Kiai Mojo (1792-1849 M), salah satu pengikut Diponegoro membawa sekelompok besar santri dari daerah Mojo, Baderan, dan Pulo Kadang.
Dalam sebuah survei kita temukan daftar nama sekitar 200 kaum santri yang bergabung dengan Ponegoro, 22 nama berasal dari orang yang kembali setelah menunaikan haji. Tidak sedikit dari mereka yang bergelar Syekh atau Syarif.
Kemudian, ada pula pendukung Diponegoro dari pejabat masjid dan pemimpin pondok pesantren dari Bagelen, Kedu, Mataram, Pajang, Ponorogo, dan Madiun.
Selain perlawanan tersebut, tercatat pula perlawanan oleh penganut tarekat seperti yang terjadi di Cianjur (1885 M), Cilegon Banten (1888 M). Serta peristiwa Garut (1919 M).
Kemudian, perlawanan santri tidak hanya mereka lakukan melalui perang, tetapi melalui syair, seperti gerakan KH. Ahmad Rifai (17861871 M) yang melakukan perlawanan melalui tulisan. Ia wafat saat di Tondano. []