Mubadalah.id – Julukan “Bapak Pluralisme” pada Gus Dur bukanlah gelar semata. Teladan toleransi dan menghargai keberagaman telah beliau tunjukkan semasa hidupnya melalui sikap dan kebijakan yang mengutamakan kerukunan antarumat beragama.
Terutama ketika menjabat sebagai Presiden Indonesia ke-4, Gus Dur memimpin dengan prinsip inklusivitas. Beliau selalu berusaha menciptakan ruang bagi setiap kelompok untuk hidup berdampingan tanpa diskriminasi.
Dalam sebuah kesempatan malam perayaan natal di tingkat Nasional pada 27 Desember 1999 beliau pernah menegaskan, “Saya adalah seorang yang meyakini kebenaran agama saya. Tetapi ini tidak menghalangi saya untuk merasa bersaudara dengan orang yang beragama lain di negeri ini, bahkan dengan sesama umat manusia. Sejak kecil itu saya rasakan, walaupun saya tinggal di lingkungan pondok pesantren, hidup di kalangan keluarga kiai. Tetapi tidak pernah sedetik pun saya merasa berbeda dengan yang lain.”
Komitmen Gus Dur terhadap pluralisme yang lain juga tercermin dalam kebijakan dan tindakannya yang memperjuangkan kelompok-kelompok minoritas yang sering kali terpinggirkan atau dianggap berbeda oleh masyarakat umum. Di antara contohnya, dalam kisah Gus Dur pernah melindungi kelompok minoritas yang menganut agama atau kepercayaan di luar kelompok aliran utama agama-agama besar, seperti Ahmadiyah dan lain sebagainya.
Sikap beliau yang sering berseberangan dengan pandangan banyak orang atau dianggap kontroversial oleh masyarakat mayoritas, ini memang tidak selalu mendapat penerimaan baik oleh semua pihak. Tetapi itu menunjukkan konsistensinya dalam memperjuangkan pluralisme dan hak-hak minoritas. Sekaligus menegaskan bahwa kebebasan beragama adalah bagian penting dari demokrasi yang inklusif.
Memberi Perhatian pada Kelompok Minoritas
Pembelaan terhadap umat Kristen Unitarian misalnya. Di mana pada masa itu sering kali mendapat tekanan dan diskriminasi. Mereka tidak mendapat ruang hidup dan berkembang oleh sekelompok masyarakat tertentu yang menginginkan apa yang mereka sebut ‘pemurnian agama’.
Kala itu, tahun 2019 saya pernah mengikuti acara dialog beragama yang oleh Gusdurian UIN Walisongo. Salah satu speakernya adalah Elder Nugroho, pendeta Kristen Unitarian dan pendiri Gereja JAGI (Jemaat Allah Global Indonesia).
Ia yang juga merupakan sahabat Gus Dur pernah menceritakan bagaimana presiden RI ke-4 tersebut selalu memberikan perhatian pada kelompok minoritas. Ia menyampaikan bahwa Gus Dur merupakan tokoh yang berjasa besar bagi keberadaan umat JAGI di Indonesia.
Di antara jutaan gereja di dunia, Gereja Jemaat Allah Global Indonesia (JAGI) di Semarang, merupakan ajaran kristen yang mempercayai YHWH sang Bapa. Yakni sebagai satu-satunya Allah (God) dan Yesus Kristus sebagai Tuhan (Lord) dan Mesias.
Berpegang pada al-Kitab secara utuh termasuk menjalankan ibadah pada hari Sabat (Sabtu). Perbedaan mendasar ajarannya dibandingkan gereja Kristen pada umumnya, menjadikan susahnya penerimaan masyarakat atas keberadaan kelompok umat ini. Mereka seringkali dianggap sesat, bahkan oleh umat Nasrani sendiri.
Ketika Gus Dur tengah menjabat menjadi Presiden Republik Indonesia, rumah Elder Nugroho di Semarang pernah Gus Dur datangi untuk singgah sebelum melanjutkan kunjungan dinasnya ke daerah Rembang dengan pengawalan para Paspampres tanpa pemberitahuan berjauh-jauh hari.
Jadi penyambutan yang terkesan mendadak sehingga menyajikan makanan seadanya untuk seorang presiden. Jalanan depan rumah yang sangat sempit seperti gang-gang pada umumnya sangat ramai warga padati di lingkungan rumahnya yang hanya ingin menyambut kedatangan Gus Dur.
Pendirian Gereja JAGI
Dalam pertemuan itu, pendeta Nugroho meminta bantuan Gus Dur untuk mengurus izin pendirian Gereja JAGI, sebuah kelompok Kristen Unitarian yang selama ini banyak kalangan menganggapnya sesat.
Gus Dur dengan santai langsung menghubungi ajudannya dan memastikan gereja tersebut dapat terdaftar secara resmi pada 26 Juli 2000. Kini kelompok minoritas itu mempunyai sejumlah tiga ratusan umat se-Indonesia yang berpusat di Semarang, Jawa Tengah. Saat ini telah mendirikan cabang-cabang gereja di kota Jakarta, Solo, Sukorejo-Pasuruan.
Keberpihakan Gus Dur pada kelompok minoritas tersebut, menurutnya semata karena keharusannya membela hak dan kebebasan berekspresi warga negara adalah pengejawantahan dari nilai-nilai Pancasila. Yakni sebagai dasar negara yang telah sejak dulu kala disepakati bersama. Di antaranya yang hadir dalam perwakilan tersebut adalah dari partai-partai dan kelompok agama. Gus Dur juga mengingatkan bahwa politik bukanlah soal kekuasaan semata,
Pesan Gus Dur tentang toleransi dan kebebasan beragama masih sangat relevan hingga kini. Salah satu pesan yang selalu Nugroho ingat adalah pernyataan Gus Dur mengenai pentingnya semangat nasionalisme dan toleransi yang harus generasi muda warisi.
Gus Dur percaya bahwa politik bukanlah kekuasaan semata. Melainkan soal kemanusiaan dan bagaimana negara dapat melindungi hak-hak setiap warganya untuk menjalankan agama dan kepercayaannya tanpa rasa takut atau terdiskriminasi.
Melalui perjuangan Gus Dur, mengingatkan kita kembali bahwa keberagaman adalah kekayaan yang harus terlindungi dan kita jaga. Bukan hanya dengan kata-kata, tetapi juga dengan tindakan nyata yang menghormati hak setiap individu. []