Mubadalah.id – Ada salah satu amalan yang kerap kali dilalaikan. Kelihatannya sepele tapi justru sangat menentukan. Adalah sedekah. Dalam pengertiannya yang paling sederhana, sedekah adalah memberi kebaikan, berbagi kebahagiaan kepada orang lain, terutama kepada mereka yang membutuhkan. Sedekah menjadi simbol kepedulian sosial. Sebagai bentuk rasa syukur kita kepada Allah atas segala nikmat yang diberikan. Ini juga dapat mengokohkan bangunan rumah tangga.
Benar saja dilalaikan, karena setiap masing-masing di antara kita masih terjebak oleh kesibukan sendiri. Bekerja siang dan malam tanpa henti, tak kenal lelah, tak kenal waktu. Karena apalagi kalau bukan karena ingin menumpuk uang dan harta kekayaan yang banyak. Kelalaian itu diperparah dengan kebiasaan dan gaya hidup yang hedonis dan individualistis. Budaya kerja yang tidak sehat, sikut sana dan sini. Sampai-sampai menghalalkan segala cara.
Ada orang yang sama sekali tidak peduli dengan kemuliaan sedekah. Atau kalaupun ia bersedekah, hanya sambil lalu, tanpa diniati, sehingga akhirnya tak bernilai apa-apa. Orang-orang jenis ini, memang cenderung gelap mata, hampir tidak peduli dengan siapapun dan kondisi apapun, selain yang penting dia dan keluarganya hidup dalam kemewahan. Jangankan untuk sedekah, shalat lima waktu yang fardlu saja entah.
Di zaman serba canggih ini meniscayakan orang menjadi melek informasi. Orang-orang kaya yang setiap hari sibuk dengan urusan pekerjaan mulai merasakan kejenuhan. Ia kemudian mencoba ingin berubah. Tetapi bukan dalam makna yang hakiki. Perubahan hidup mereka seperti terjebak dalam simbol. Perubahan yang mereka lakukan hanya sebatas aksesoris yakni perubahan cara berbusana. Termasuk dalam hal bersedekah hanya sekadar untuk agar dilihat orang sebagai orang yang dermawan. Hanya sekadar ikut-ikut orang kebanyakan.
Dari kedua makna orang bersedekah itu, kita perlu terus menggali makna hakikat tentang apa itu sedekah dan bagaimana sikap kita setelah kita bersedekah. Sebab orang-orang yang digambarkan seperti di atas dapat dipastikan akan mengalami kehampaan hidup. Bisa jadi uangnya banyak, harta duniawinya begitu melimpah ruah tapi kebahagiaan hakiki tak bisa ia rasakan.
Anak-anaknya nakal dan susah diatur, penyakit demi penyakit mudah menjangkit seiring usia yang semakin lanjut. Terlebih kualitas rumah tangganya akan terasa hambar. Ia menjadi orang tua yang kehilangan cara untuk mendidik anak. Ia menjadi orang yang setiap harinya sibuk dengan penyakit yang dideritanya. Uangnya terus terkuras untuk melakukan ikhtiar pengobatan. Dan rumah tangga hampir di ujung tanduk konflik yang berkepanjangan.
Sedekah yang dapat mengokohkan bangunan rumah tangga adalah sedekah yang diniati karena ibadah dan diselipkan doa-doa. Sedekah yang dilakukan tanpa pamrih dan perhitungan. Sedekah yang bukan untuk dipamerkan, bukan untuk tujuan ingin dianggap orang yang paling dermawan. Orang yang menjiwai spirit sedekah ini, tidak peduli uangnya banyak atau tidak. Yang jelas, sedekah sudah menjadi akhlak hidupnya.
Ia yang sedekah uang kepada yang membutuhkan. Memberikan bantuan kepada orang yang kesusahan: kelaparan, sakit, atau putus sekolah. Waktu dan pintu rumahnya selalu terbuka untuk siapa saja yang ingin sekadar bertamu atau dimintai pertolongan. Orang yang menjiwai spirit sedekah selalu menampakkan jiwa yang bergembira, hidupnya senantiasa memberikan kebahagiaan, optimisme dan ketenangan bagi orang lain. Spirit sedekah seperti ini yang insya Allah dapat mengokohkan bangunan rumah tangga. Spirit sedekah yang dijiwai istri maupun suami. Wallaahu a’lam.[]