Mubadalah.id – Ada seorang non-Muslim yang memiliki peran penting dan krusial dalam sejarah dakwah Nabi Muhammad Saw. Di Mekkah, umat Islam mengalami masa-masa yang amat sulit. Salah satunya adalah puncak pemboikotan seluruh orang Quraisy kepada umat Islam.
Mereka melarang segala bentuk bantuan apapun dari siapapun kepada umat Islam, termasuk juga yang dalam bentuk transaksi jual beli. Sehingga, selama hampir tiga tahun, umat Islam terisolasi dalam satu lembah, tanpa bantuan dan tanpa bisa menjual atau membeli.
Jikapun bisa membeli, mereka terpaksa dengan cara sembunyi-sembunyi dan dengan harga yang teramat mahal. Abu Lahab, sekalipun paman Nabi Muhammad Saw, adalah salah satu orang elit Quraisy yang terus memprovokasi Quraisy untuk konsisten mengisolasi umat Islam. Dia selalu keliling memastikan tidak ada orang yang datang membantu atau menjual sesuatu kepada umat Islam. Jikapun ada pedagang dari luar Mekkah, mereka akan didatangi.
“Kalian dilarang menjual makanan kalian kepada para pengikut Muhammad itu. Jikapun terpaksa, kalian harus menjualnya dengan harga yang mahal sekali. Aku ingin mereka tidak menemukan makanan sama sekali, biar mampus semua. Makanan yang akan kalian jual ke mereka, biar aku yang bayar saja berlipat-lipat, jangan serahkan makanan itu ke mereka”, ucap Abu Lahab.
Tahun Kesedihan
Selama hampir tiga tahun (616-619 M) mengalami situasi yang teramat buruk, kelaparan, kehabisan bekal, beberapa orang meninggal, bahkan pendukung utama Nabi Muhammad Saw, sang Paman Abu Thalib, dan istri tercinta Sayyidah Khadijah ra wafat, akibat pemboikotan dan isolasi ini. Karena itu, tahun 619 M, atau tahun ke-10 dari kanabian dan tahun ke-3 sebelum hijrah ke Madinah, disebut sebagai tahun kesedihan (‘am al-huzn).
Sekalipun Nabi Muhammad Saw bersama umat Islam saat itu mengalami kondisi yang teramat buruk, namun citra orang-orang Quraisy menjadi hancur di mata banyak kabilah Arab lain, akibat pemboikatan dan isolasi yang zalim ini. Beberapa tetua kabilah luar Mekkah marah mendengar pemboikotan yang membuat banyak orang kelaparan dan meninggal dunia. Bahkan, ini menuai simpati dari orang-orang Kristen Najran di Yaman, yang datang, menemui Nabi Muhammad Saw, dan menyatakan masuk Islam.
Muth’im Bin Adi Menentang Pemboikotan
Salah satu tokoh utama yang meluapkan kemarahan terhadap pemboikotan ini adalah Muth’im bin Adi. Dia menggalang kekuatan dengan mengajak berbagai anak muda Arab untuk membatalkan pemboikotan ini. Dia belum masuk Islam, alias masih musyrik, tetapi akhlak mulia yang diwariskan dari nenek moyangnya menolak dia untuk bergabung pada isolasi yang zalim dan mematikan umat Islam ini.
Karena posisinya yang bukan Islam, dia bisa masuk, bertemu, dan menggedor semua pimpinan kabilah Arab, termasuk orang-orang Quraish. Dia berhasil, orang-orang Arab dan orang-orang Quraish pada akhirnya membatalkan pemboikatn dan isolasi, serta kembali bisa berelasi secara sosial dengan Nabi Muhammad Saw dan umat Islam.
Namun, karena Paman Abu Thalib dan istri tercinta Sayyidah Khadijah sudah wafat, Nabi Muhammad Saw tidak memiliki tokoh kuat yang mendukung, dan melindungi, serta menghentikan segala kekerasan yang dialamatkan kepada beliau. Uqbah bin Mu’aith, seorang anak muda Quraish, karena diprovokasi Abu Jahal, berani meludahi wajah Nabi Muhammad Saw. Tidak berhenti di situ, pada saat Nabi sedang shalat di depan Ka’bah, Uqbah datang mengalungkan kain ke leher Nabi Saw dan mencekiknya.
Sebelumnya, tidak ada yang berani, karena ada Paman Abu Thalib, yang sekalipun tidak masuk Islam, tetapi dengan gagah berani mendukung dan melindungi Nabi Muhammad Saw. Setelah sang Paman wafat, Nabi Saw kehilangan pelindung kuat. Nabi Saw mencoba mencari dukungan dari luar Mekkah, yaitu ke orang-orang Thaif, sekitar sejauh 85 kilometer dari Mekkah. Nabi Saw mendengar simpati orang-orang Thaif pada umat Islam dan kemarahan mereka terhadap elit Quraisy Mekkah yang zalim.
Tragedi di Kota Thaif
Nabi Saw mendatangi Kota Thaif tersebut. Namun, penduduknya terprovokasi oleh tiga orang elit mereka. Yaitu Abdiyalail, Mas’ud, dan Habib anak-anak dari Amr bin Umair at-Tsaqafi. Mereka mengusir Nabi Muhammad Saw dari Thaif, dan melempari beliau dengan begitu, sehingga kepala beliau terkena batu dan berdarah.
Berita pengusiran ini pasti akan sampai ke Mekkah, sehingga tidak saja melemahkan umat Islam yang tinggal di dalamnya. Juga, membuat Nabi Saw semakin sulit untuk masuk kembali ke Mekkah. Karena para elitnya tidak menerima, dan tidak ada satupun yang menjadi pelindung beliau.
Nabi Saw khawatir dengan pengusiran penduduk Mekkah saat kembali nanti, apalagi setelah kabar pengusiran dari Kota Thaif. Sebelum masuk kota Mekkah, Nabi Saw menemui Muth’im bin Ady, seorang tokoh Quraisy yang menggalang pembatalan isolasi zalim tersebut. Sekalipun tidak masuk Islam, Muth’im berhati mulia. Dia bersedia menjadi pelindung Nabi Muhammad Saw untuk masuk kembali ke Mekkah. Dia ajak tujuh anaknya, yang juga masih musyrik, untuk mengawal kedatangan Nabi Saw.
Di berbagai tempat pertemuan, Muth’im membuat pernyataan dengan lantang: “Aku yang melindungi Muhammad, siapapun tidak boleh melukai dan menyakitinya”. Bersama ketujuh anaknya, Muth’im mengitari-ngitari tempat-tempat pertemuan para elit Quraish. “Kamu ikut masuk Islam, atau hanya memberi suaka perlindungan?”, tanya Abu Jahal kepada Muth’im. “Aku hanya memberikanya perlindungan”. Dan Nabi Saw pun, tinggal di rumah Muth’im bin Adi dengan pengawalan ketat anak-anaknya.
Jasa Besar Muth’im Bin Adi
Mengingat jasa besar Muth’im ini, Nabi Muhammad Saw pernah menyampaikan bahwa semua tawanan perang Badr akan ia lepaskan jika yang memintanya adalah Muth’im. Perang Badr adalah perang antara pasukan Nabi Saw dengan tentara kafir Quraisy Mekkah.
Nabi Saw memenangkan peperangan ini dan sekitar 70 orang menjadi tawanan. Mereka bisa ia lepaskan dengan tebusan yang harus umat Islam terima. Tentang tawanan inilah Nabi Muhammad Saw bersabda, dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhari:
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ أَبِيهِ رضى الله عنه أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ فِى أُسَارَى بَدْرٍ لَوْ كَانَ الْمُطْعِمُ بْنُ عَدِىٍّ حَيًّا ثُمَّ كَلَّمَنِى فِى هَؤُلاَءِ النَّتْنَى لَتَرَكْتُهُمْ لَهُ
Dari Muhammad bin Jubari, dari ayahnya ra, berkata: bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda tentang tawanan Badr: “Andai saja Muth’im bin Ady masih hidup, lalu memintaku untuk melepaskan para tawanan ini, aku akan lepaskan mereka untuk dirinya”. (Sahih Bukhari, no. hadits: 3175).
Demikian ini mengisyaratkan bahwa perbedaan agama tidak menghalangi Nabi Muhammad Saw untuk tetap memiliki hubungan yang baik, menerima dukungan mereka, memberi dukungan terhadap mereka, dan terutama memberi apresiasi atas peran dan jasa baik mereka terhadap kehidupan umat Islam. Rasa syukur dan berterimakasih adalah bagian dasar dari ajaran Islam, termasuk kepada mereka yang tidak beragama Islam. Inilah teladan dan inspirasi akhlak mulia Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. []