Mubadalah.id – Tokoh-tokoh agama yang menjadi pemimpin dalam setiap agama tidaklah lahir secara instan begitu saja, namun dengan perjalanan dan proses yang panjang. Dari banyak agama yang ada di Indonesia, dua di antaranya yang paling menonjol yakni seminari dalam tradisi Katolik dan pesantren dalam tradisi Islam.
Sekilas keduanya tampak berbeda, yang satu mendidik calon imam Katolik, yang lain mendidik santri calon tokoh agama Islam. Namun tujuan kedua tempat pendidikan ini sama yakni melahirkan pemimpin agama yang siap melayani umat.
Tantangan yang muncul kemudian adalah bagaimana agar para calon tokoh agama ini tidak hanya terampil dalam ritual keagamaan, tetapi juga peka terhadap nilai kemanusiaan. Sebab pada akhirnya, agama bukan hanya bicara soal relasi manusia dengan Tuhan, melainkan juga relasi manusia dengan sesamanya.
Perjalanan Calon Imam yang Panjang
Seminari sudah ada di Indonesia sejak katolik masuk ke Indonesia. Keprihatinan kurangnya imam menjadi alasan pendirian seminari-seminari di Indonesia.
Tujuan dari pendirian seminari sendiri adalah untuk mendidik calon imam yang matang secara rohani, intelektual, dan emosional. Pola pendidikannya menggabungkan disiplin rohani, akademik, dan hidup bersama.
Para seminaris ditempa bukan hanya untuk menjadi orang saleh, tetapi juga pribadi yang tangguh dalam menghadapi tantangan umat. Seminari menekankan nilai “servus servorum Dei” atau pelayan dari segala pelayan Allah.
Artinya, seorang imam bukanlah tuan atas umat, melainkan gembala yang siap turun ke padang rumput, mencari yang tersesat, dan merawat yang terluka. Dengan dasar itu, seminari sebenarnya mendidik para calon imam agar memiliki jiwa kemanusiaan yang melampaui batas ritual.
Pendidikan calon imam dalam Gereja Katolik tidaklah singkat. Dalam prosesnya, seorang caloan imam bisa menempuh pendidikan selama 8–12 tahun. Pendidikan itu mulai dari seminari menengah (setingkat SMA) selama 4 tahun. Kemudian dilanjutkan dengan masa Tahun Orientasi Rohani atau postulat-novisiat selama 1-2 tahun.
Setelah itu si calon akan memasuki seminari tinggi untuk studi filsafat dan teologi selama 4 tahun. Setelah itu mereka akan terjun ke tengah umat selama 1-2 tahun. Mereka akan kembali menyelesaikan studi dengan program imamat selama 1 tahun, dan baru setelah itu akan ditahbiskan menjadi diakon lalu pastor.
Selama waktu yang sangat panjang tersebut, para calon imam tidak hanya belajar teori saja. Tetapi juga menjalani latihan rohani, pengalaman pastoral, dan tahun orientasi kerasulan di tengah umat. Proses panjang inilah yang membuat seorang imam ditempa secara utuh, tidak hanya pintar tetapi juga matang dalam menghadapi realitas hidup.
Perjalanan Santri yang Berakar dan Berdaya Juang
Kalau di Katolik ada Seminari, maka di Islam ada yang namanya Pesantren. Pesantren adalah lembaga pendidikan untuk pemuka agama Islam. Di pesantren, para santri belajar kitab suci, ilmu agama, sekaligus adab dan akhlak. Kehidupan sehari-hari di pesantren dibentuk oleh nilai kesederhanaan, kemandirian, dan solidaritas. Seorang kiai tidak hanya menjadi guru, tetapi juga teladan hidup.
Selain itu, pesantren punya tradisi gotong royong yang menjadi ciri khasnya. Santri terbiasa hidup dalam komunitas, saling menolong, dan belajar untuk tidak hanya pintar dalam agama, tetapi juga peduli terhadap sesama. Dari sinilah terbentuk jiwa kemanusiaan yang mengedepankan persaudaraan antarumat Islam, antarumat beragama, dan persaudaraan sesama manusia.
Berbeda dengan pendidikan calon pastor di Seminari, masa pendidikan santri sangat beragam. Ada yang hanya beberapa tahun, tetapi banyak juga yang menetap lebih dari 10 tahun untuk mendalami kitab-kitab, melatih akhlak, dan hidup langsung bersama kiai.
Bahkan, banyak tokoh agama besar lahir dari pengalaman panjang “mondok” sejak usia belia hingga dewasa. Kehidupan yang penuh kedisiplinan, keikhlasan, dan kebersamaan membuat seorang santri tidak hanya menguasai ilmu, tetapi juga berkembang dalam hal kesabaran dan kepedulian sosial.
Pendidikan yang Membebaskan untuk Melawan Fanatisme dan Individualisme
Baik seminari maupun pesantren mempunyai korelasi sangat menarik. Keduanya sama-sama menekankan kehidupan komunal, disiplin spiritual, dan pembentukan karakter. Selain itu juga bertujuan melahirkan tokoh agama yang bukan hanya pintar bicara, tetapi juga mampu menjadi teladan hidup.
Keduanya sama-sama memunculkan peluang untuk saling belajar. Seminari bisa belajar kesederhanaan dan kemandirian dari pesantren, sementara pesantren bisa belajar sistematika akademik dari seminari. Pada akhirnya, tujuan bersama adalah pendidikan yang membebaskan manusia dari kebodohan, kemiskinan, ketidakadilan, dan fanatisme sempit.
Baik seminari maupun pesantren tidak luput dari tantangan zaman. Ada bahaya fanatisme sempit yang membuat tokoh agama mudah terjebak pada ujaran intoleransi. Selain itu juga ada ancaman individualisme dan materialisme yang menjauhkan pemimpin agama dari realitas penderitaan umat. Maka, pendidikan di seminari dan pesantren harus terus bertransformasi agar melahirkan tokoh agama yang berani menolak fanatisme dan tetap berpihak pada kemanusiaan.
Pondasi Membangun Indonesia Damai
Pada akhirnya kedua tempat pendidikan tokoh agama ini menjadi sangat penting dalam kehidupan bangsa Indonesia. Indonesia sangat membutuhkan tokoh agama yang religius sekaligus manusiawi. Tokoh agama yang bukan hanya fasih berbicara soal kitab suci, tetapi juga mampu meneteskan air mata bersama orang miskin, tertindas, dan tersingkirkan.
Seminari dan pesantren menjadi pondasi untuk bisa membantu bangsa membangun perdamaian. Keduanya, jika terus berpegang pada nilai kemanusiaan, akan melahirkan generasi pemimpin agama yang mampu merawat keberagaman dan memperkuat persaudaraan sejati. Pemimpin agama sejati adalah dia yang tidak hanya menunjukkan jalan menuju surga, tetapi juga ikut menanggung luka-luka manusia di bumi. []