Mubadalah.id – Penelitian terbaru Sisters in Islam (SIS) pada 26 Februari 2025 mengungkap berbagai ketidakadilan hak finansial yang dialami banyak perempuan Muslim Malaysia pasca perceraian.
Studi ini melibatkan 124 perempuan Muslim dari kelompok B40 atau lapisan masyarakat Malaysia berpendapatan terendah. Data yang tercatat sangat mengkhawatirkan. Karena sebagian besar perempuan tersebut hanya memiliki pendapatan antara RM1.000 hingga RM3.999 per bulan. Sementara pengeluaran rumah tangga mereka sering kali melampaui pendapatan, bahkan hingga 14 persen.
Bayangkan, bagaimana mungkin seseorang mampu bertahan hidup dengan beban ekonomi yang sudah minus setiap bulannya? Bahkan tekanan itu semakin berat dengan beban hutang perumahan, pinjaman pribadi, biaya medis, dan tanggungan anak-anak yang harus dibesarkan seorang diri.
Parahnya, upaya untuk menuntut hak finansial pasca perceraian pun tidak berjalan mulus. Hanya 12,9 persen perempuan dalam studi ini yang berhasil menerima bagian dari harta sepencarian, dan lebih sedikit lagi—hanya 5,6 persen—yang memperoleh nafkah istri.
Lebih memprihatinkan lagi, banyak mantan suami dengan enteng mengabaikan putusan pengadilan mengenai kewajiban nafkah kepada anaknya.
Dengan lemahnya penegakan hukum ini sangat berakibat kepada para perempuan yang bercerai dan meninggalkan seorang anak. Apalagi mereka hidup dalam lingkaran kemiskinan, menanggung stres berat dan depresi.
Padahal, hukum keluarga Islam di Malaysia sudah mengatur dengan jelas mengenai hak-hak finansial perempuan pasca perceraian yaitu nafkah istri, harta sepencarian, dan nafkah anak. Namun praktiknya banyak suami yang mengabaikannya.
Mantan Ketua Hakim Syarie, Datuk Ismail Yahya, pernah menegaskan bahwa hukum Islam sejatinya telah terstruktur rapi. Akan tetapi, implementasinya di pengadilan sering kali tidak konsisten.
Salah satu contohnya adalah pasal 47 Undang-Undang Keluarga Islam, yang mengharuskan semua klaim diajukan bersamaan dengan perceraian. Sayangnya, kegagalan untuk menegakkan aturan ini justru memperpanjang penderitaan perempuan pasca perceraian.
Beban Ganda Perempuan
Di luar persoalan hukum, para perempuan yang bercerai juga menanggung beban stigma sosial. Mereka sering dilabeli sebagai kegagalan, beban masyarakat, atau sumber masalah keluarga.
Sehingga tidak sedikit di antara mereka yang akhirnya enggan memperjuangkan hak finansialnya, karena takut dicap sebagai “perempuan bermasalah”.
Padahal, ketidakmampuan sistem hukum untuk menjamin hak-hak finansial perempuan pasca perceraian adalah bentuk pengingkaran terhadap prinsip perlindungan perempuan dan anak.
Lebih jauh, ini juga bertentangan dengan semangat Islam itu sendiri yang menekankan perlindungan terhadap mereka yang lemah.
Dengan begitu, hukum keluarga Islam tidak boleh lagi dipandang sebagai urusan teknis birokrasi semata. Ini adalah ujian nyata bagi pemerintah Malaysia dalam membuktikan komitmennya terhadap demokrasi, hak asasi manusia, serta perlindungan kepada perempuan dan anak. Sejauh mana negara ini berani keluar dari sekadar lip service menuju langkah konkret?
Sudah saatnya sistem hukum, pemerintah Malaysia tegakkan dengan tegas, aparat peradilan mereka beri kapasitas dan keberanian untuk memutus perkara dengan berpihak pada yang lemah, dan stigma sosial terhadap perempuan bercerai harus kita hapuskan melalui pendidikan publik.
Karena finansial bukanlah hadiah, melainkan hak. Dan memperjuangkannya bukan sekadar urusan perempuan, tetapi urusan bangsa yang bercita-cita membangun masyarakat bermaruah, adil, dan sejahtera. []