Mubadalah.id – Teman-teman ada yang memperhatikan foto profil pengguna media sosial yang berganti dengan warna Brave Pink Hero Green? Karena saya juga ikut mengganti foto profil. Bukan sebatas fomo, tapi bagian dari solidaritas terhadap apa yang sedang diperjuangkan kawan-kawan aktivis terkait aksi demonstrasi yang ramai akhir-akhir ini.
Warna pink yang digunakan dalam simbol perjuangan mahasiswa dan masyarakat sipil saat ini, adalah dalam rangka menyuarakan aspirasi mereka yang terinspirasi dari sosok Ibu Ana.
Ibu Ana ini bukanlah perempuan sembarangan. Ia berani menghadapi para aparat yang berusaha memukul mundur demonstran dalam aksi di Jakarta pada 28 Agustus 2025 silam. Ibu Ana yang menggunakan jilbab berwarna pink, berdiri seorang diri di hadapan aparat Kepolisian. Ia berdiri dengan mengayunkan tongkat dengan bendera merah putih di tangannya di tengah hujan lebat yang mengguyur Jakarta saat itu.
Warna pink yang dulunya menggambarkan kelembutan kini juga mencerminkan keberanian. Meski di balik makna warna Brave Pink Hero Green itu sangat baik, namun tetap saja menuai pro dan kontra. Alih-alih memperdebatkan simbol dan makna, saya ingin mengenalkan satu pahlawan perempuan yang sama heroiknya dengan sosok Ibu Ana.
Mengenal Siti Manggopoh
Sebuah akun di Instagram atas nama @elyasa_resya membagikan postingan kisah legendaris seorang pahlawan perempuan Siti Manggopoh dari Minangkabau, pada Rabu 3 September 2025.
Alkisah, di tanah Minangkabau tanah yang melahirkan banyak pahlawan, jauh sebelum era Bung Hatta memimpin perjuangan bangsa, lahirlah seorang legenda yang namanya abadi dalam ingatan rakyat, ialah Siti Manggopoh.
Pada tahun 1908-1909, Belanda memberlakukan pajak baru di Minangkabau, yang terkenal sebagai Belasting. Pajak ini sangat memberatkan rakyat karena dipungut dalam bentuk hasil bumi maupun uang. Padahal kondisi ekonomi masyarakat saat itu sedang kesulitan.
Kata “Belasting” berasal dari Bahasa Belanda yang artinya pajak atau cukai. Rakyat melihat pajak itu bukan sekadar pungutan harta, melainkan rantai penjajahan yang merampas martabat mereka. Membangkitkan bara di dada rakyat Manggopoh, dan tersulut keberanian seorang ibu pejuang bernama Siti Manggopoh.
Siti Manggopoh Ditawan Belanda
Pada 15 Juni 1908, di balik kabut malam Manggopoh ribuan langkah rakyat telah bersiap. Parang dan tombak di tangan, kemarahan di dada dan doa di bibir mereka. Di tengah barisan itu, ada seorang perempuan muda, Siti Manggopoh. Tangannya menggenggam parang, tapi di gendongannya ada seorang bayi mungil yang masih haus akan kasih ibu.
Saat dentuman bedil mulai terdengar dari arah pos Belanda, bayi itu menangis lirih. Siti berhenti sejenak. Ia duduk di pinggir jalan tanah, melepas kain gendongan, dan dengan penuh kelembutan ia menyusui anaknya.
Air susu mengalir, menyatukan dua cinta yang tak tergantikan. Cinta seorang ibu pada darah dagingnya dan cinta seorang pejuang pada tanah airnya. Ketika bayi itu tertidur pulas di pelukannya, ia menatap wajah mungil itu seolah berbisik. “Nak, tidurlah nyenyak. Ibu pergi sebentar, bukan hanya untukmu, tapi juga untuk masa depanmu, untuk tanah yang akan kau pijak suatu hari nanti.”
Ia lalu mengikat kain gendongan, menyerahkan bayinya pada seorang kerabat, dan berdiri kembali di barisan pejuang. Parang di tangannya terangkat, suara takbir menggema. Siti Manggopoh berlari ke medan perang.
Setelah rakyat Manggopoh menggetarkan bumi dengan menewaskan 53 serdadu Belanda, penjajah pun murka, dan balasan datang bagai api neraka. Nagari Manggopoh dibakar hingga tinggal abu. Rumah-rumah runtuh bagai saksi bisu. Tangis rakyat bercampur darah, banyak yang gugur, banyak pula yang tertawan termasuk Siti Manggopoh.
Berjuang Hingga Akhir Kehidupan
Di balik jeruji, di tengah air mata hingga ke liang lahat Siti Manggopoh tetap teguh. Seorang ibu yang pernah berjuang di antara tangis bayinya dan dentum bedil penjajah. Kini jasadnya di tanah pahlawan, namun kisahnya hidup abadi dalam dada bangsa, sebagai bukti bahwa cinta seorang ibu sanggup melawan tirani dan menyalakan api kemerdekaan.
Siti Manggopoh adalah sosok pejuang perempuan yang tidak meninggalkan tugasnya sebagai seorang ibu. Bahkan beliau pernah mengalami konflik batin antara mengurus anaknya yang masih kecil atau melawan penjajahan Belanda.
Ketika dalam kejaran Belanda, Siti juga tetap membawa anaknya bersama dia selama 17 hari. Termasuk ketika dipenjara selama 14 bulan di Lubuk Basung dan 16 bulan di Padang.
Siti Manggopoh meninggal pada 20 Agustus 1965, di Gasan Gadang, Padang Pariaman dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara, Lolong, Padang. Siti Manggopoh adalah sosok perempuan pejuang kemerdekaan yang mempunyai peran besar dalam melawan penjajah, tanpa meninggalkan tugasnya sebagai seorang ibu.
Inilah kisah Siti Manggopoh, seorang ibu yang mengendong anaknya dan tanah airnya sekaligus. Ia rela hancur raganya, agar masa depan anak dan bangsanya tetap hidup. Ibu Ana ataupun Ibu Siti Manggopoh telah mewakili perjuangan para perempuan di Indonesia. Hingga titik darah penghabisan, para perempuan ini mengabaikan rasa sakit, ketakutan, dan kemarahan, dengan acungan tangan serta gelegar teriakan. Lawan! []