• Login
  • Register
Jumat, 6 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Social Justice Day; Kesetaraan dan Keadilan Bagi Perempuan Pekerja

Ada persoalaan interpretasi agama, di mana beberapa ayat Al Qur’an dimaknai secara tekstual terkait kewajiban suami untuk menafkahi dengan bekerja dan istri tidak wajib bekerja, dan jika istri harus bekerja pendapatannya bukan sebagai pendapatan utama keluarga

Nuril Qomariyah Nuril Qomariyah
01/03/2022
in Publik, Rekomendasi
0
Social Justice Day, Vagabond

Social Justice Day

119
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Sejak tahun 2009 setiap tanggal 20 Februari diperingati sebagai Hari Keadilan Sosial Sedunia (Social Justice Day). Peringatan ini dideklarasikan oleh PBB sebagai bentuk mengupayakan pembangunan sosial dan martabat kemanusiaan. Social Justice Day diperingati untuk terus menyuarakan misi global yang sedang diperjuangkan oleh setiap negara, yakni kemiskinan, diskriminasi, dan juga kesetaraan gender.

Merujuk pada tema besar yang diusung pada peringatan Social Justice Day 2022, yakni “Achieving Social Justice through Formal Employment“, mencapai keadilan sosial melalui pekerjaan formal. Jika melihat tema ini, tentu perjalanan panjang dan mungkin cukup terjal masih menjadi tantangan bagi para perempuan pekerja. Pasalnya, hingga hari ini peran perempuan dalam pekerjaan-pekerjaan formal masih sangat minim.

Dari data Badan Pusat Statistika, dalam tiga tahun terakhir saja jumlah perempuan yang bekerja di sektor formal masih berada di bawah 50%. Pada tahun 2019 mencapai angka 39,19% dan mengalami penurunan pada tahun 2020 yang disebabkan faktor-faktor selama pandemi, menjadi 34,65%. Angka ini cukup rendah jika dibandingkan tahun sebelumnya, dan pada tahun 2021 lalu mengalami sedikit peningkatan menjadi 36,20%.

Namun angka-angka ini masih saja berada dibawah angka 50%, yang memberikan gambaran bahwa keterlibatan perempuan dalam pekerjaan formal masih jauh dengan laki-laki. Karena mayoritas perempuan sudah diberatkan dengan pekerjaan-pekerjaan domestik. Apalagi beban ini menjadi berkali-kali lipat selama terjadi pandemi sejak 2020 lalu.

Tidak heran jika tema peringatan Social Justice Day kali ini berfokus untuk mencapai keadilan sosial melalui pekerjaan formal. Karena memang keadilan dan kesetaraan pada sektor ini masih jauh, terlebih bagi perempuan. Berdasarkan data  ILO (2015), secara global jumlah angkatan kerja perempuan mencapai 51%, namun masih sangat jauh dengan keterlibatan laki-laki dalam angkatan kerja yang mencapai sekitar 82% .

Baca Juga:

#JusticeForArgo: Melawan Privilese Dalam Menegakkan Keadilan Korban

Kafa’ah yang Mubadalah: Menemukan Kesepadanan dalam Moral Pasutri yang Islami

Being Independent Woman is Not Always About Money, Bro!

Melampaui Batasan Tafsir: Membebaskan Narasi Gender dalam Islam Menurut Mernissi dan Wadud

Terkait lecilnya angka keterlibatan perempuan ini UNFPA (2014) menuliskan bahwa disebabkan adanya kecenderungan untuk mengkategorikan perempuan sebagai bukan angkatan kerja. Karena dalam kehidupan sehari-hari perempuan lebih banyak menghasilkan produk untuk dikonsumsi dalam rumah tangganya sendiri, mulai dari menyiapkan makanan, merawat anak, hingga merawat orang tua yang ada di rumah. Di mana tugas-tugas ini hampir seluruhnya menjadi tugas perempuan, yang berdampak pada ketersediaan perempuan untuk bekerja.

Ragam Diskriminasi Perempuan Pekerja

Selain hal-hal mendasar di atas dalam Jurnal Perempuan Edisi 107, Gadis Arivia menyebutkan dalam formulasi teori interseksualitas pada isu kerja dan gender, terkait praktik diskriminasi terhadap perempuan yang harus dibongkar di tempat kerja, yakni

Hypermasculinity, pengalaman buruk perempuan dalam menghadapi persaingan kerja dengan laki-laki. Pekerjaan formal cenderung memiliki wajah yang sangat maskulin, sehingga tak jarang beberapa pekerjaan dianggap tidak pantas bagi perempuan. Hal ini berujung pada bentuk diskriminasi yang kedua, yakni selective exit, persaingan dan kondisi yang buruk membuat perempuan mengundurkan diri dari dunia kerja atau menerima pekerjaan yang lebih rendah. Untuk menghindari persaingan yang kerap kali perempuan berada di posisi yang kalah dari laki-laki, perempuan akan memilih untuk resign ataupun memilih pekerjaan yang lebih rendah.

Perempuan yang memilih pekerjaan pada level yang lebih rendah akan berujung pada bentuk diskriminasi yang selanjutnya, yakni sticky floor practice adanya kesenjangan pendapatan antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan pada data ILO (2015) tercatat pendapatan perempuan berada jauh pada kisaran 23% bahkan lebih rendah dari laki-laki, pada pekerjaan yang sama sekalipun.

Bentuk diskriminasi yang terakhir berkaitan dengan pengalaman biologis yang dialami perempuan yakni mulai dari hamil, melahirkan hingga menyusui, yang disebut dengan istilah mommy tax, perempuan yang hamil dan membesarkan anak akan mau tidak mau memperlambat laju karirnya.

Hal ini menjadi kegelisahan bagi perempuan-perempuan yang sudah memiliki anak untuk tetap bekerja, karena hal yang diterima dari masyarakat bukan dukungan melainkan bully-an dianggap tidak menjadi ibu yang baik. Padahal hal seperti itu adalah hak privasi perempuan yang tidak membutuhkan validasi dari masyarakat.

Kesetaraan dan Keadilan bagi Perempuan Pekerja

Berdasarkan ragam diskriminasi terhadap perempuan di atas tentunya menjadi penghambat untuk pemberdayaan perempuan dalam dunia kerja. Sejalan dengan ini, Prof. Musdah Mulia dalam buku Muslimah Reformis menjelaskan setidaknya ada tiga hal yang menjadi penyebab utama lambatnya pemberdayaan perempuan dalam sektor ekonomi, yakni

Persoalan kultural, hal ini merupakan dampak panjang dari sistem patriarki yang mengakar di masyarakat yang menyebabkan perempuan secara budaya ditempatkan pada kerja-kerja domestik. Karena pekerjaan publik hanya ditujukan bagi laki-laki yang memiliki tanggung jawab lebih mencari nafkah untuk membiayai perempuan (istri).

Dalam konteks ini pula, pekerjaan-pekerjaan domestik dianggap sebagai pekerjaan yang tidak bernilai ekonomi. Padahal tidak dapat dipungkiri bahwa tugas perempuan tidak hanya melakukan tugas domestik saja, akan tetapi tugas reproduksi dan tugas sosial masyarakat kerap kali dibebankan kepada perempuan yang membuatnya mengalami multiple burden, yang pekerjaannya tidak memiliki nilai jual.

Persoalan struktural, perbedaan peran laki-laki dan perempuan saat berkeluarga secara struktural diatur dalam undang-undang. dalam UU perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 31 Ayat (3) menyebutkan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga. Sehingga dari bunyi pasal ini saja, terlihat jelas bahwa saat berkeluarga laki-laki memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan istrinya (menafkahi) sedangkan perempuan secara tidak langsung ‘dilabeli’sebagai ibu rumah tangga.

Hal ini membuat konstruk yang dibangun di masyarakat semakin kuat, di mana jika ada laki-laki tidak memiliki pekerjaan mapan dianggap sebagai suami yang tidak bertanggung jawab, begitu pula sebaliknya jika istri bekerja melebihi suaminya dianggap perempuan yang tidak baik.

Dua hambatan diatas kemudian diperkuat dengan hadirnya persoalaan interpretasi agama, di mana beberapa ayat Al Qur’an dimaknai secara tekstual terkait kewajiban suami untuk menafkahi dengan bekerja dan istri tidak wajib bekerja, dan jika istri harus bekerja pendapatannya bukan sebagai pendapatan utama keluarga.

Ayat yang banyak dirujuk untuk membenarkan statemen ini biasanya QS. At Thalaq  [65]: 7 dan  QS. Al Baqarah [2]:233, padahal jika dicermati lebih detail kedua ayat tersebut tidak ada yang melarang perempuan untuk bekerja. Ditambah jika melihat kondisi perekonomian saat ini yang semakin pelik, maka antara suami dan istri sudah seharusnya saling berkolaborsi untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama sehari-hari.

Tiga hambatan ini menjadi semacam pokok permasalahan timbulnya ragam diskriminasi bagi perempuan pekerja. Crenshaw menuliskan dalam Schnall (2020), bahwa jika kita gagal dalam mengidentifikasi persoalan (masalah) maka kita akan gagal mencari solusi. Sama halnya dalam menemukan solusi untuk mencapai kesetaraan dan keadilaan bagi perempuan pekerja. Dari ragam bentuk diskriminasi dan juga hambatan dalam upaya keterlibatan perempuan dalam pekerjaan formal, merupakan hal mendasar yang diperlukan untuk menemukan solusi dalam mengatasi minimnya keterlibatan perempuan dalam pekerjaan formal kedepannya.

Moment Social Justice Day seharusnya menjadi titik refleksi bersama untuk kemudian seluruh elemen masyarakat baik secara struktural maupun kultural, menguatkan kembali peran dan posisi perempuan pekerja pasca dua tahun melewati pandemi.

Tema yang cukup kuat dalam peringatan di tahun 2022 ini, cukup menjadi pemantik untuk aksi-aksi nyata dalam proses pemberdayaan perempuan pekerja. Karena tidak dapat kita pungkiri jika kesetaraan dan keadilan diperoleh oleh perempuan pekerja tentunya akan meningkatkan kesejahteraan perempuan yang otomatis memiliki dampak pada peningkatan perekonomian negara. []

Tags: GenderkeadilanKesetaraanperempuan bekerjaSocial Justice Day
Nuril Qomariyah

Nuril Qomariyah

Alumni WWC Mubadalah 2019. Saat ini beraktifitas di bidang Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak di Kabupaten Bondowoso. Menulis untuk kebermanfaatan dan keabadian

Terkait Posts

Raja Ampat

Tambang Nikel Ancam Kelestarian Alam Raja Ampat

5 Juni 2025
Kekerasan Seksual

Perspektif Heterarki: Solusi Konseptual Problem Maraknya Kasus Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan Agama  

5 Juni 2025
Ibadah Kurban

Ibadah Kurban dan Hakikat Ketaatan dalam Islam

4 Juni 2025
Mitos Israel

Mitos Israel di Atas Penderitaan Warga Palestina

4 Juni 2025
Pesan Mubadalah

Pesan Mubadalah dari Keluarga Ibrahim As

4 Juni 2025
Trans Jogja

Trans Jogja Ramah Difabel, Insya Allah!

3 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Fikih Ramah Difabel

    Menggali Fikih Ramah Difabel: Warisan Ulama Klasik yang Terlupakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perspektif Heterarki: Solusi Konseptual Problem Maraknya Kasus Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan Agama  

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menelusuri Perbedaan Pendapat Ulama tentang Batas Aurat Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mitos Israel di Atas Penderitaan Warga Palestina

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tambang Nikel Ancam Kelestarian Alam Raja Ampat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Berkurban: Latihan Kenosis Menuju Diri yang Lapang
  • Makna Wuquf di Arafah
  • Iduladha sebagai Refleksi Gender: Kritik Asma Barlas atas Ketaatan Absolut
  • Aurat Perempuan: Antara Teks Syara’ dan Konstruksi Sosial
  • Tambang Nikel Ancam Kelestarian Alam Raja Ampat

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID