Mubadalah.id – Hari raya Iduladha identik dengan pelaksanaan ibadah pokok (haji) yang kaum muslimin laksanakan, yaitu wukuf di Arafah atau yang disebut dengan “Hari Raya Haji”. Selain Hari raya Haji, Iduladha juga merupakan hari raya kurban atau “Idul kurban”, di mana Allah memberi kesempatan bagi orang muslim yang belum mampu melaksanakan ibadah haji untuk menyembelih hewan kurban.
Pada hari raya Iduladha ini, baik haji maupun kurban merupakan perwujudan kecintaan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT dan sebagai cara untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Memperingati hari raya Iduladha, kita pasti teringat histori masa lampau bagaimana perjalanan Nabi Ibrahim yang akan menyembelih putranya Nabi Ismail dan mereka yakini itu adalah perintah Allah SWT melalui mimpinya sebagai bentuk cinta dan ketakwaan pada Allah SWT.
Dari kisah wahyu yang Nabi Ibrahim terima melalui mimpinya tersebut, kita perlu tahu dan paham bahwa ada sisi nilai yang tak kalah penting untuk kita tilik. Yakni mengenai bagaimana Ibunya Ismail, Siti Hajar menjadi perempuan tangguh dan taat dalam menjalankan perintah Allah SWT.
Kisah tentang Hajar
Siti Hajar mulanya adalah budak perempuan yang Raja Mesir hadiahkan kepada Ibrahim. Sedangkan Ibrahim telah menikahi Siti Sarah. Namun kemudian Sarah mengizinkan Ibrahim menikahi Hajar agar mendapatkan keturunan. Dari pernikahan Ibrahim dan Hajar maka lahirlah Ismail. Atas perintah Allah, Ibrahim membawa Hajar dan Ismail untuk hijrah ke Mekkah dan meninggalkan mereka di sana.
Hajar dan Ismail menempati lembah yang tandus dan gersang sehingga tidak ada satu pun penghuni yang mendiami tempat tersebut. Saat bekal makanan dan air yang terbawa Hajar habis, ia harus berlari-lari kecil mencari sumber air antara bukit Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali. Dan kemudian Allah mengutus malaikat Jibril membuat mata air zamzam sehingga Hajar dan Ismail memperoleh sumber kehidupan.
Datangnya air zamzam dari kaki kecil Ismail menjadikan lembah tersebut tidak lagi gersang karena air yang datang melimpah ruah. Dari situ, lembah tersebut terkenal menjadi sebuah kota yang makmur dan banyak manusia berdatangan dari berbagai daerah yang terkenal dengan nama Makkah Al-Mukaramah.
Ibrahim berkata: “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka berpikirlah apa pendapatmu? Ismail menjawab: Wahai bapakku kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. InsyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (QS. As-saffat:102).
Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu. Demikianlah Dia menundukkannya untukmu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik (QS. Al-Hajj: 37).
Sejarah Hari Raya Iduladha
Dari dua ayat ini, kisah Hajar, Ibrahim dan Ismail menjadi penanda sejarah hari raya Iduladha. Kisah Hajar menjadi salah satu rangkaian ibadah haji yaitu Sa’i (berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwah. Sedangkan kisah Ibrahim dan Ismail menjadi penanda sejarah kurban.
Hari raya Iduladha dikenal dengan nama “Idul Nahr” juga memiliki makna yang sama yaitu hari raya penyembelihan. Yang berarti pula untuk memperingati ujian terberat yang harus Nabi Ibrahim As hadaipi. Sehingga dari ketabahan Ibrahim dalam menghadapi ujian dan cobaan, Allah memberinya sebuah kehormatan “Khalilullah” yang artinya kekasih Allah.
Perjuangan Hajar dan Ibrahim tidak berhenti di situ. Saat Ismail berumur tujuh tahun, Ibrahim bermimpi mendapat wahyu dari Allah Swt untuk menyembelih, dan mengorbankan putranya. Begitu besar ketaatan dan ketabahan Ibrahim dan Hajar. Bahkan ketika akan menyembelih putranya, Hajar lah yang mengasah pedang dengan tajam agar tidak menyakiti putranya.
Banyak sekali pelajaran yang dapat kita ambil dari konteks perjalanan munculnya hari raya kurban ini. Kita bisa melihat pengorbanan dan kerja keras Sarah dan Hajar dalam kerja reproduksi yang memungkinkan Ibrahim dan Ismail As menjadi nabi pilihan.
Pentingnya peran Hajar menjadi seorang ibu yang tangguh dalam membesarkan Ismail hingga menjadi seorang nabi begitu penting kita diskusikan pada tatanan edukasi keluarga. Begitu pula, ketaatan yang mereka yakini sebagai orang tua dalam menjalankan perintah Allah SWT menjadi pelajaran berharga dalam rangka bagaimana kita mendekatkan diri pada Allah SWT, dan saling menyadari bahwa apa yang kita pegang sekarang adalah sesungguhnya milik Allah SWT.
Peran Perempuan dalam Sejarah
Maka dari itu, peran perempuan dalam sejarah terkadang tak terlihat meski hanya permukaan. Struktur dominasi yang patriarkal menjadi figur yang berada di atas kemanusiaan. Sehingga perempuan merasa tereksploitasi dan terpinggirkan dalam sejarah yang lestari.
Apa yang Hajar rasakan dalam hidupnya, dan putranya membuat ia tersingkir dari rumah majikannya. Lalu perjuangan Hajar bertahan hidup di padang pasir yang tandus, dan ketangguhan hatinya menghadapi Ismail yang harus disembelih meski tentu saja Allah SWT menggantikannya dengan seekor domba yang kita maknai sebagai perayaan hari raya kurban. Perjuangan Hajar membesarkan Ismail dari kerasnya kehidupan di Mekkah menjadi penanda bahwa Hajar begitu tegar membesarkan Ismail seorang diri.
Perjuangan dan hidup bertahan dari jerat eksploitasi masa lalu juga masih tergambarkan oleh perempuan masa kini. Seperti buruh pabrik perempuan yang harus memenuhi tuntutan hidup keluarga sekaligus mengerjakan tugas rumah tangga, perempuan pekerja migran yang harus meninggalkan anaknya demi memenuhi kebutuhan hidup dengan bekerja mendominasi pekerjaan domestik.
Atau perempuan korban kekerasan seksual yang harus berhadapan dengan trauma dan sanksi sosial dari masyarakat. Semua ini merupakan perwujudan dari nasib, pengorbanan yang tak nampak namun tampak langgeng di ranah patriarki.
Pelajaran Penting dari Prosesi Ibadah Haji dan Berkurban
Di balik pesan yang terlupakan dari eksploitasi dan peminggiran perempuan pada zaman Nabi Ibrahim AS, lebih jauh kita dapat belajar makna kesetaraan dari pelaksanaan ibadah haji saat wukuf di Arafah. Kaum muslimin yang berhaji memakai pakaian ihram yang serba putih dan tidak berjahit.
Pakaian ini melambangkan persamaan akidah dan pandangan hidup yang sama dalam bidang kehidupan. Atribut ini mencitrakan bahwa mereka semua sama dan tidak dapat dibedakan. Mereka sama dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan bersama-sama membaca kalimat talbiyah.
Iduladha memberikan pelajaran penting kepada umat Islam bahwa tidak cukup hanya berhenti pada ibadah haji dan kurban saja kita mengerti. Kita juga harus tahu pelajaran lain di balik sejarah lampau tersebut. Tak nampaknya peran pengorbanan perempuan sering kali terbalut sempurna dengan narasi keagamaan yang membatasi ruang imaji keimanan kita dan berhenti dari cerita yang dianggap selesai.
Padahal penting bagaimana memahami perjalanan perempuan dalam berjuang bertahan hidup untuk dirinya, anak, dan keluarganya dengan kondisi yang termarginalkan menjadi salah satu ritual yang terus lestari untuk umat Islam rayakan setiap tahunnya. []