Mubadalah.id – Pernah dengar istilah Baby Shamming? Mungkin sebagian kita lebih tidak asing dengan istilah body shaming yang dalam kehidupan sering terjadi pada perempuan. Tak jauh berbeda dengan body shaming, baby shaming juga mengarah pada kondisi fisik dan pertumbuhan dari bayi yang dianggap tidak normal, atau ada hal yang dalam pandangan masyarakat dianggap berbeda dari biasanya. Stop baby shaming!
Hal ini biasa terjadi, bahkan di lingkungan terdekat kita sendiri. Jika kemudian film ‘Tilik’ yang sempat viral beberapa pekan lalu. Di Madura, juga ada tradisi ‘ Ta Telek’ suatu tradisi yang dilakukan masyarakat untuk menjenguk seseorang yang baru melahirkan, khususnya melihat Si Bayi yang baru lahir ke bumi. Disinilah Baby Shaming kerap terjadi pada Si Bayi, yang bahkan baru berumur hitungan hari.
Contoh Baby Shaming
Seperti apa sih bentuk dari baby shaming? Apa mungkin kita pernah melakukan baby shaming selama ini?
Selain secara verbal, baby shaming juga kerap dilakukan netizen di sosial media ketika orang tua memposting foto bayinya. Baby shaming lumayan beragam, bahkan melebihi body shaming dalam pandangan penulis. Pasalnya si bayi belum bisa menanggapi, dan orang tua cenderung tak menanggapi dan menganggap itu hal yang lumrah. Dibiarkan begitu saja, tanpa berfikir dampak kedepannya.
Mungkin tidak hanya di lingkungan penulis, beberapa dari kalian juga pernah berkunjung ke rumah saudara atau teman yang baru saja melahirkan. Kita juga pasti pernah menemui celetukan dan candaan yang mengarah pada kondisi bayi, “Mirip siapa ya? Kok beda sama orang tuanya?” “Hidungnya nggak ada coba tarik-tarik biar mancung” “Udah umur segini kok belum bisa berjalan?” Dan masih banyak lagi, yang kadang bisa sampai membuat orang tua bayi tadi merasa anaknya lahir dalam keadaan yang kurang sempurna.
Baby shaming ini tidak hanya terjadi ketika si bayi berusia dalam hitungan bulan saja, namun berlanjut ketika ia memasuki tahun-tahun pertama masa pertumbuhannya. Ketika si bayi berperilaku terlalu aktif dianggap hiperaktif atau dalam kata lain dikatakan nakal dalam pandangan masyarakat sekitarnya. Sebaliknya, jika ia tumbuh menjadi anak yang lugu dan pendiam dianggap mengalami gangguan mental dan fungsi otak (pikirannya).
Baby shaming memang benar tak melukai hati si bayi yang masih belum mengerti bahasa kita atau membalas komentar tentang dia yang orang utarakan. Namun tidak untuk orang tua terlebih ibu si bayi. Tak jarang beberapa ibu merasa gusar dan gelisah bahkan depresi karena harus menanggung komentar tentang anaknya dari orang lain, yang oleh kebanyakan orang itu dianggap bercandaan dan sebagian yang lain menanggap sedang memberikan informasi namun dengan cara salah yang justru menyakiti hati orang tua bayi tadi.
Mom Shaming
Sehingga tak jarang, baby shaming juga berujung pada mom shaming. Karena anggapan masyarakat, Sang ibu tak sepenuh hati merawat dan mengasuh bayinya. Padahal, dalam keluarga pola asuh anak tidak sepenuhnya dibebankan kepada ibu dalam artian perempuan, akan tetapi laki laki yang juga, yakni orang tua si bayi mempunyai kewajiban mengasuh sang anak. Kondisi ini yang kemudian membuat ibu bayi tadi menghindari pertemuan-pertemuan sosial atau menitipkan bayinya ketika akan berpergian.
Baby shaming dapat dilakukan oleh siapa saja, bahkan keluarga terdekat dari bayi tadi. Selama tingkat empati mereka rendah, menganggap orang lain kurang sempurna, dan tidak bisa mengendalikan diri dalam melontarkan omongan dengan baik sehingga setiap orang berpotensi melakukan baby shamming.
Dengan demikian baby shaming ini, menurut penulis belum tentu benar dan berupa fakta seutuhnya. Sebagai orang tua yang harus dipercaya adalah saran dan masukan yang membangun semangat kita dalam mengasuh anak, terlebih untuk keluarga baru yang belajar mengasuh anak pertama mereka. Saling dukung antar suami dan istri dalam mengoptimalkan pola pengasuhan si bayi juga penting terlebih dalam hal yang berkaitan dengan kesehatan si buah hati.
Untuk para pelaku baby shaming, stop baby shaming dengan memberikan saran dengan diimbuhi komentar negatif tentang kondisi si bayi. Karena bukan hak kita menentukan bagaimana pola asuh dan perkembangan buah hati orang lain, namun itu murni pilihan dan hasil pemikiran bersama ayah dan ibu si bayi yang memiliki peran setara untuk mengoptimalkan pola berfikir dan perkembangan si bayi. Karena pada dasarnya setiap manusia yang lahir adalah dalam kondisi yang paling sempurna. Wallahu’allam Bisshowab. []