Mubadalah.id – Tiga hari ini di layar medsosku terpenuhi gambar di bawah ini. Siapa nama lengkapnya dan apa kasusnya tidak perlu saya ungkap lagi, karena sudah trending topic sejak beberapa hari lalu, tak tahu kapan persisnya.
Tapi yang bikin miris adalah hujatan netizen yang sebenarnya tidak tahu persis kejadian hakikinya dan hanya berdasarkan ‘pengakuan’ si Pelaku keji dan horor atas korban femisida. Setiap scroll laman FB, mesti terpenuhi gambar beserta bullying terhadap korban.
Padahal, sebenarnya apa yang sesungguhnya terjadi hanya Allah, Malaikat dan kedua anak muda itu yang tahu. Bahkan kedua orang tuanya pun tidak tahu yang sebenarnya. Sungguh mereka yang membully korban femisida hanya menambah beban kedua orang tua korban.
Termasuk apa yang terjadi selama mereka bergaul di Surabaya, masayarakat luas juga tidak tahu pasti. Mungkin mereka sudah menikah ‘sirri’ (?) Sampai di titik ini, meskipun secara UU Keluarga di negara kita itu belum bisa kita pandang legal.
Tetapi secara fiqh, di masayaarakat kita masih banyak yang memandang bahwa nikah siiri atau pun nikah ‘urfi itu sah. Meskipun menurut saya secara pribadi, hal itu masih saja debatable karena menikah tanpa kehadiran orang tua atau walinya. Soal hukum menikah tanpa wali, bisa dibuka keterangan atau tulisan lama saya di sini.
Tapi sekali lagi, itu soal privacy mereka berdua, dan sama sekali kita tidak ada hak untuk ikut mencampuri urusan privat mereka. Soal privacy orang lain itu hanya urusan mereka dengan Tuhannya, karena mereka sudah dewasa. Apabila ia salah biarlah Tuhan yang menghukumnya.
Ingat, si Cewek itu korban kekejian dan sudah di alam sana!
So, stop bullying!
Teganya mereka yang melukai hati kedua orang tua korban. Toh semua hanya berdasarkan info yang digoreng setiap waktu oleh netizen. Di balik peristiwa itu, dengan apapun kasusnya, ingat ada kedua orang tua Korban yang sedih. Cukuplah mereka kehilangan putrinya, jangan lagi netizen merujaknya dengan tuduhan ini dan itu lagi. Pliiiiiisss!
——–
Saya memang tidak membaca berita perkaranya, bahkan berita lengkap dari hasil gelar penyelidikan juga tidak tahu.
Kalau boleh sedikit analisa secara psikologis. Berdasarkan pengakuan Pelaku, kalaulah benar Korban itu hidupnya hedon, seperti yang disampaikan Pelaku, mengapa si Pelaku tidak memutuskan saja hubungannya dengan Korban –atau menceraikan jika sudah menikah?
Sebagaimana umumnya orang pacaran bahkan orang yang sudah menikah pun boleh menceraikan pasangannya apabila ada sebab. Kenapa harus membunuhnya dengan sebiadab itu?
Sampai di sini ada keanehan dengan alasan sebab ‘hedon’ tersebut. Ini pasti ada alasan lain yang tersembunyi sampai setega itu Pelaku menghabisi nyawa Pasangannya dengan dimutilasi 300 lebih potongan. Astaghfirullah.
Bahkan cara membuang potongan-potongan tubuh itu juga sengaja dipisah-pisah, ini justru seakan ada rahasia di balik sayatan-sayatan daging yang harus dihilangkan. Tentu saya tidak mau memberi contoh karena ini hanyalah analisa.
Jadi, cara biadab tersebut justru seakan masih menyimpan makna tersembunyi dan lebih dari sekadar alasan ‘hedon’ itu, agar bukan saja menghilangkan jejak tetapi juga agar lebih meringankan hukumannya apabila ketahuan. Ya dia masih menyimpan ‘rahasia’ di balik potongan dan sayatan tubuh yang kecil-kecil itu.
Wallahu a’lam bi al-shawwab
Bagaimanapun peristiwa ini harus menjadi pelajaran penting bagi anak gens Z dan para orang tua, agar selalu waspada dan memberi perhatian pada pergaulan putra-putrinya. Demikian juga, kasus ini menjadi tantangan serius bagi para guru, dosen dan pemimpin agar lebih menekankan pendidikan akhlak pada anak-anak bangsa. []