Mubadalah.id – Benarkah suara perempuan itu suara Tuhan? Suatu saat, seorang perempuan, bernama Khaulah bint Tsa’labah r.a. mengadu kepada Allah Swt, atas kezaliman yang dialaminya, oleh suaminya, melalui tradisi “zihar” jahiliyah, yang sangat menyengsarakan perempuan.
Zihar adalah sumpah seorang suami, untuk tidak menggaulinya, selama dia mau. Sehingga dia tidak merasa bertanggung jawab lagi, untuk menafkahi, tetapi tidak menceraikanya, sehingga perempuan bisa bebas menikah dengan yang lain. Tradisi yang zalim dan menyakitkan.
Khaulah r.a. sedih, menangis, merasa dicampakkan, dan mengadu kepada Allah Swt. Dan Allah Swt mendengar suaranya dan menurunkan satu surat penuh, untuk Khaulah, dengan nama “Al-Mujadilah”, atau perempuan penggugat.
Allah Swt mendukung Khaulah dan menghukum suaminya, dan memaksanya kembali rujuk kepada sang istri atau melepaskannya berpisah.
Jika di Ulumul Quran, kita mengenal istilah “Muwafaqat Umar”, atau ayat-ayat yang turun karena kegelisahan yang dipikirkan Umar bin Khattab r.a., maka ini adalah satu surat untuk perempuan, bisa disebut “Muwafaqat Khaulah”.
Ada ayat-ayat lain, yang turun karena permintaan Umm Salamah r.a., Nusaibah bint Kaab r.a., Asma r.a., dan perempuan. Ada banyak preseden pada masa Nabi Saw, di mana para perempuan bersuara. Dan suara mereka didengar Allah Swt dan Nabi Muhammad Saw.
Mendengar suara perempuan, harapan mereka, pengalaman hidup, kegelisahan, perubahan kebaikan hidup mereka, adalah tindakan spiritual, diawali Allah Swt, dilakukan Nabi Saw, dan adalah Islami dan Syar’i.
Mungkin bisa dikatakan, dari inspirasi surat al-Mujadilah itu, suara perempuan adalah suara Tuhan. Memperjuangkan hak-hak hidup mereka, untuk menjadi lebih baik, adalah aktivitas ketuhanan, keagamaan, di samping sosial kemasyarakatan.[]