Mubadalah.id – Dongeng menjadi hal yang tidak lepas dari pertumbuhan seorang anak. Siapa sih yang tidak pernah dibacakan buku dongeng, diceritakan sebuah kisah legenda oleh orang tua maupun orang terdekat kita, atau menonton dongeng di siaran televisi dan kanal YouTube. Dongeng apa yang melekat dan teringat di benak kita hingga sekarang? Sangkuriang, Malin Kundang, Bawang Merah dan Bawang Putih, atau Jaka Tarub?
Terdapat berbagai macam dongeng seperti mite, legenda atau cerita rakyat, fabel, hikayat, sage, dan parabel. Cerita rakyat merupakan salah satu kekayaan yang dimiliki Indonesia yang merepresentasikan masyarakat di suatu daerah. Falsafah hidup dikembangkan menjadi sebuah cerita. Sehingga cerita rakyat erat kaitannya dengan kehidupan di masyarakat.
Selain itu, cerita rakyat diwariskan turun-temurun secara lisan dan tidak diketahui si pengarang cerita. Karya sastra ini bukan hanya berfungsi sebagai hiburan, tapi memiliki fungsi edukatif, spiritual, moral, politis, hingga etis.
Pada umumnya, cerita rakyat digambarkan dengan penokohan perempuan dan laki-laki. Namun, tidak sedikit kisah yang merendahkan figur perempuan, baik secara implisit maupun eksplisit. Sebagai contohnya, kisah Bawang Merah dan Bawang Putih yang mana Bawang Merah dan ibunya berlaku kejam dan merendahkan Bawang Putih.
Kisah tersebut menyiratkan isu internalized misogyny. Internalized merupakan proses internalisasi yang dapat membentuk mindset baru. Misogyny adalah istilah yang menggambarkan kebencian terhadap perempuan. Internalized misogyny dapat terjadi melalui dua elemen yakni, self objectification dan penerimaan pasif peran gender.
Karakter perempuan di dalam cerita digambarkan sebagai pihak yang lemah, tidak memiliki suara, dan dianggap tidak penting. Tokoh perempuan dalam kisah Lutung Kasarung, Bawang Merah dan Bawang Putih, serta Sangkuriang diceritakan melalui sudut pandang laki-laki. Sebenarnya, ideologi cerita rakyat dapat diselaraskan dengan nilai yang ingin disampaikan dengan mengubah sudat pandang dan tetap mempertahankan alur cerita.
Secara spesifik, tidak banyak ditemukan rekonstruksi cerita rakyat dari sudut pandang perempuan. Dengan mengubah sudut pandang akan memberikan ruang kepada para tokoh mengenai alasan mengapa dicitrakan sebagai seseorang yang buruk. Sehingga pembaca dapat melihat bahwa tokoh tersebut sebenarnya baik dan memiliki value.
Sebagai contohnya, citra orang tua tiri dan saudara tiri di mata anak-anak cenderung tidak baik. Pandangan tersebut salah satunya disebabkan oleh cerita Bawang Merah dan Bawang Putih. Sebenarnya cerita tersebut bisa dimulai dengan menampilkan sosok Mbok Rondo Dadapan (ibu Bawang Merah) sebagai single mother yang bekerja keras demi kebahagiaan anaknya.
Mbok Rondo bekerja di rumah seorang pedagang yang memiliki anak bernama Bawang Putih. Ia berempati terhadap Bawang Putih atas ibunya yang meninggal. Mbok Rondo menempatkan diri sebagai teman untuk bercerita. Mengenai ayah Bawang Putih yang menikahi Mbok Rondo, dapat dikisahkan dengan apabila menikahinya, sehingga Bawang Putih akan mendapatkan sosok seorang ibu.
Selain itu, Bawang Putih diberikan suara untuk memutuskan apakah Mbok Rondo pantas menjadi ibunya. Keterlibatan Bawang Putih menunjukkan bahwa tidak ada sikap diskriminatif dalam mengambil keputusan.
Begitu pula dengan kisah Sangkuriang, perilaku Dayang Sumbi dapat diceritakan dengan tidak melemahkan posisinya sebagai perempuan. Pada mulanya, Dayang Sumbi meminta Sangkuriang untuk membuat bendungan dan perahu besar di sungai Citarum. Sosok Dayang Sumbi dapat digambarkan sebagai perempuan yang cerdas. Ia memikirkan cara agar pernikahannya dengan Sangkuriang tidak pernah terjadi. Sehingga ia membuat permintaan yang sulit. Ia paham bahwa seorang ibu tidak dapat menikahi anaknya sendiri.
Para narator maupun penulis dongeng dapat merekonstruksi sudut pandang dari sebuah kisah dengan tetap mempertahankan alurnya. Relasi yang tidak setara dapat melahirkan ketidakadilan karena bermula dari sudut pandang negatif terhadap perpedaan para pihak yang memiliki relasi.
Oleh sebab itu, cerita dongeng dapat dimodifikasi dengan cara menghapuskan nilai-nilai yang merendahkan laki-laki maupun perempuan. Dengan kata lain, menggali nilai positif yang dapat disampaikan dari setiap kejadian.
Buku-buku dongeng juga diharapkan menampilkan hal baru yang dapat menanamkan nilai-nilai kesalingan yang menjunjung tinggi aspek kemanusiaan. Nilai-nilai tersembunyi dalam sebuah cerita akan melekat pada seorang anak hingga ia tumbuh dewasa. Orang tua juga harus pandai dalam memilih cerita yang akan disampaikan kepada anak. Peran serta orang tua akan memberikan dampak besar, khususnya kepada sudut pandang anak. []