Mubadalah.id – Surat ini kutulis saat usiaku genap 33 tahun. Untukmu, namun kukirimkan pada malam, kukabarkan pada angin. Biarlah rasa ini menguar kemudian menaut pada yang kekal dan abadi.
Kepadamu, perisaiku.
Hari ini kuperingati ulang tahunku yang ke-33, sebuah peringatan yang tidak pernah kau rayakan, sebab energimu telah habis untuk menyeka air mata, membalut sayatan luka, dan meniup jejak deraan yang ingin kau sembunyikan dari kami, lima bersaudara yang selalu kau posisikan sebagai anak kecilmu yang setiap langkahnya perlu kau lindungi. Ya, kendati pun rambut kami berlima telah memutih.
Tiga puluh tiga tahun yang lalu, aku lahir dari rahimmu sebagai anak bungsu, tapi di usiaku yang ke-33 tahun ini, aku baru tahu bahwa bagi bapakku, aku bukanlah yang bungsu.
Sore itu, seorang pegawai desa bertamu ke rumahku menanyakan Bapak. Setelah kujawab sudah seminggu Bapak terbaring di rumah sakit, dia menitipkan pesan bahwa besok jam 9 harus ada yang mewakili dari garis Bapak, sebab akan ada seseorang yang menjemputnya untuk menjadi wali nikah.
Aku pun terperanjat. Wali nikah? Siapa yang akan dinikahkan? Mengapa Bapakku yang menjadi wali nikah? Aku yang bungsu saja sudah menikah sejak 12 tahun yang lalu. Cucu-cucunya? Jelas tidak mungkin. Saudaraku dari Bapak juga bukan. Lalu siapa? Aku terpaku mendengarkan penjelasan pegawai desa itu.
Pengkhianatan Bapak
Dadaku berdesir pilu. Hingga tamu itu pamit, aku masih terpaku di kursi teras. Aku tak mampu berdiri, semua sendiku terasa lemas tak berdaya. Oh Tuhan, aku harus bagaimana?
Setelah sekuat tenaga menata perasaan, aku segera melangkah memasuki rumahmu yang tepat berada di samping rumahku. Kudapati engkau sedang duduk sambil melipat pakaian di depan televisi.
“Tadi Ibu masak sup ayam kesukaan Gio, sebelum kakakmu datang menjemputku ke rumah sakit. Ambillah sup untuk anakmu, lekas suapi Gio, mumpung masih hangat…”
Aku yang sedang celingukan seperti orang linglung seketika tersentak mendengarmu berbicara padaku. Jantungku semakin berdegup kencang. Aku tak kuasa menahan bulir air mata. Kusegerakan langkah ke ruang dapur. Setelah mengambil sup, aku keluar lewat pintu belakang.
“Kalau belum masak, sekalian ambil nasinya juga. Ibu masak nasi banyak, tuh!” teriakmu. Namun aku tak memperdulikan itu. Aku segera menuju rumah lewat pintu belakang rumahmu, tempat di mana aku dan keempat kakakku lahir dan tumbuh. Saksi bisu cinta dan deritamu, juga tempat yang tak pernah bersaksi kepadamu, bahwa penghianatan bapak yang kali ini tersimpan rapi dalam bual dan amarahnya.
Oh, engkau…
Perempuan yang menjadi sandaran hidupku.
Kuletakkan mangkuk sup di meja ruang tamu. Aku terduduk di bawah putraku, Gio, yang sedang diayun. Mengingat wajahmu tadi yang begitu tenang dalam kerentaan, aku semakin tersedu.
Dadamu yang membungkuk, gigimu yang ompong dengan pipi yang mencekung, tulang jemarimu yang membengkok, langkahmu yang sudah meraba tembok, kepalamu yang botak dengan sedikit rambut putih berkilatan tergelung.
Kendati demikian, engkau masih mengingat dengan jelas apa-apa yang kami sukai dan apa-apa yang kami butuhkan. Kadang kami malu, di usia kami yang masih produktif, engkaulah yang selalu memberi seluruh yang kau miliki. Bagaimana jika engkau mengetahui ini? Sungguh, tak dapat kubayangkan!
Di usia senjamu, engkau masih mendapatkan deraan penghianatan dari masa lalu yang luput dari pengetahuanmu. Tanpa sadar aku meraung. Tangisku yang tertahan membuncah. Gio menggeliat, terusik oleh isakku. Aku segera mengayunnya, mencoba meredakan tangis sambil menutup wajah dengan kain guna meredam suara yang pecah bersama punggungku yang naik turun, menyembul-nyembul menahan perih.
***
“Bapak membuatku malu, Om. Aku nggak bisa terima ini. Biarkan saja dia menikah tanpa perwakilan dari keluarga Bapak…” Kakakku yang nomor tiga berdiri di ambang pintu sambil mengepalkan tangannya.
“Kita kan belum tahu kebenarannya. Apa benar dia anak Bapak? Apa mereka menikah secara sah?… Suruh saja dia tes DNA. Jangan-jangan dia tahu kalau Bapak lagi sekarat, jadi dia mau dapat warisan.” Kata kakak laki-lakiku yang nomor empat.
Sementara aku dan kakakku yang nomor dua masih menyaksikan perdebatan mereka dengan menangis. Bang Ali, kakakku yang pertama, dia masih saja duduk sambil bersandar dengan lengan kemeja yang terlipat. Kepalanya mendongak ke atas, seolah sedang mencerna apa yang tengah kami hadapi saat ini.
“Sebetulnya, sebelum bapakmu jatuh sakit, dia sempat datang ke rumahku untuk membicarakan ini. Dia berpesan, jika aku sudah tiada, anak-anakku harus tahu bahwa mereka punya adik bungsu lain ibu…” Ucap pamanku sambil memegang bahu kakak tertua ku.
“Hanya saja, Om belum tahu kapan waktu yang tepat untuk menyampaikan ini. Om tahu pasti kalian akan kaget, sebagaimana yang Om rasakan.” lanjutnya.
“Braghghhh!”
Kakakku yang nomor tiga memukul daun pintu. Bang Ali kini menunduk. Kakak nomor dua tangisnya semakin pilu. Dan aku, mengingat Ibu, hatiku terasa dikuliti sembilu.
“Usia kalian sudah matang. Om kira, apa salahnya kita mencoba menerima permintaannya? Lagi pula, mereka cuma minta untuk perwalian nikah saja, Nak. Kasihan dia. Sama seperti halnya kalian, sebagai seorang anak, dia juga tidak dapat memilih takdir untuk lahir dari siapa, dalam kondisi rumah tangga yang bagaimana. Kenyataannya, dia lahir sebagai anak dari hasil perselingkuhan. Bukankah ini tidak cukup untuk membuatnya menderita selama hidupnya? Om minta kalian dapat berpikir lebih dalam…”
Belum selesai pamanku berbicara, kakakku yang nomor tiga menyela, “Tapi Om, aku nggak sudi menerima dia sebagai adik! Aku sanksi. Siapa tahu waktu itu Bapak dijebak untuk meniduri perempuan nggak jelas itu, sementara dia sudah hamil dengan orang lain. Namanya juga lonte…!”
“Burhan! Jaga bicaramu!”
Bang Ali, menegur.
Suasana menjadi bisu.
“Bagaimana denganmu, Intan?” Pamanku menatap memastikan.
“Aku ikut Bang Ali saja, Om. Walau bagaimanapun, kita harus melihat dia sebagai sesama manusia. Sama-sama menjadi korban perselingkuhan. Adik atau bukan, yang jelas, satu yang kuminta, jangan sampai Ibu mengetahui ini semua, cukup sudah ibu menanggung derita pengkhianatan. Kita harus memberinya ruang. Biarkan dia menjalani hari tua dengan tenang dan bahagia.”
Ucapku dengan terbata. Kami pun menangis lagi untuk yang ke sekian kalinya.
***
Duhai engkau, pelita hidupku…
Lewat celah kaca pintu kamar bapak dirawat ini, aku menyaksikan kalian saling berpegangan tangan dalam lelap.
Air mata yang belum juga habis ini, kuseka perlahan. Aku memilih kembali duduk di kursi lorong, dekat ruang jaga perawat.
Dalam hening, kupanjatkan doa dan harapan, semoga Tuhan membiarkan semua ini tetap menjadi rahasia buatmu, permata hatiku. []
Indramayu, 1 Juli 2025