Baru saja aku bicara dalam “zominar” yang diselenggarakan oleh PP. Maarif NU. PBNU”. Tema “Jalan Sufi menuju Insan Kamil”. Aku menyampaikan ini : Syeikh al-Islam Zakaria al-Anshari mendefinisikan tasawuf sebagai pengetahuan tentang cara-cara membersihkan jiwa, budi pekerti dan menghidupkan gerak lahiriyah untuk memperoleh kebahagiaan abadi.
Tasawuf adalah pengetahuan tentang cara-cara menyusuri jalan menuju Tuhan, Sang Penguasa Semesta. Membersihkan hati dari segala sifat buruk dan menghiasinya dengan perilaku utama /terpuji. Langkah pertama : pengetahuan. Langkah ke dua mengamalkan pengetahuan itu, dan ketiga adalah memeroleh anugerah.
Mengapa perlu tasawuf? Karena kita akan pulang.
Allah menyatakan :
انا لله وانا اليه راجعون
“Kita milik Allah dan kita akan kembali kepada-Nya.”
واتقوا يوما ترجعو ن فيه الى الله ثم توفى كل نفس ما كسبت وهم لا يظلمون.
“Bersiap-siaplah akan datangnya suatu hari, kalian dikembalikan kepada Allah, kemudian setiap jiwa ditunaikan/dibalas segala yang diusahakannya dan mereka tidak dizalimi.”
يوم لا ينفع مال ولا بنون الا من اتى الله بقلب سليم
“Ingatlah suatu hari saat harta dan anak-anak tak lagi berharga, kecuali orang yang datang dengan membawa hati yang bersih dan tulus”.
Imam Al-Ghazali mengingatkan kita tentang hidup ini.
إِعْلَمْ يَا سُلْطانَ العَالَم . أَنَّ الدُّنْيَا مَنْزِلَةٌ وَلَيْسَتْ بِدَارِ قَرَارٍ. وَالاِنْسَانُ مُسَافِرٌ. فَأَوَّلُ مَنَازِلِهِ بَطْنُ أُمِّهِ وَآخِرُ مَنَازِلِهِ لَحْد قَبْرِهِ. ,إِنَّمَا وَطَنُهُ وَقَرَارُهُ وَمُكْثُهُ وَاسْتِقْرَارُهُ بَعْدَهَا. فَكُلُّ سَنَةٍ تَنْقَضِى مِنَ الاِنْسَانِ فَكَالمَرْحَلَة. وَكُلُّ شَهْرٍ يَنْقَضِى مِنْهُ فَكاسْتِرَاحَةِ المُسَافِرِ فِى طَرِيقِهِ. وَكُلُّ اُسْبُوعٍ فَكَقَرْيَةٍ تَلْقَاهُ. وَكُلُّ نَفَسٍ كَخُطْوَةٍ يَخْطُوهَا وَبِقَدْرِ كُلِّ نَفَسٍ يَتَنَفَّسُهُ يَقْرُبُ مِنَ الآخِرَةِ. وهذه الدنيا قنطرة فمن عمر القنطرة واستعجل بعمارتها فني فيها زمانه، ونسى المنزلة التي هي مصيره ومكانه، وكان جاهلاً غير عاقل،
“Renungkalah, O, pemimpin dunia. Dunia ini adalah persinggahan, bukan tempat menetap. Manusia adalah pengelana/pengembara. Persinggahan pertamanya adalah di dalam perut ibunya, dan akhir persinggahan adalah liang lahat. Tanah air manusia dan tempat menetapnya adalah ruang dan waktu sesudah itu. Setiap tahun yang dilewatinya bagaikan satu tahap perjalanan. Setiap bulan yang telah dilewatinya bagaikan istirahat sang musafir di perjalanan. Setiap pekan bagaikan bertemu sebuah desa. Setiap nafas yang berhembus bagaikan langkah-langkah kaki yang terus bergerak mendekati persinggahan terakhir”.
Dunia bagai rumah di jembatan sementara. Barangsiapa yang sibuk membangun dan akan habis. Dia akan lupa tempat tinggalnya yang abadi. Dialah orang yang bodoh, yang tidak berakal”.
Siapa yang berakal? Imam Al-Ghazali menjawab :
وإنما العاقل الذي لا يشتغل في دنياه إلا لاستعداده لمعاده،
“Orang yang berpikir adalah dia yang tidak disibukkan di dunianya kecuali untuk mempersiapkan diri untuk pulang. Kembali ke asal”.
Abu al-Atahiyah, zahid penyair terkenal (w.828 M) dalam puisinya mengatakan :
وما الدنيا وان كثرت وطابت بها اللذات إلا كسراب
يمر نعيمها بعد التذاذ ويمضى ذاهبا مر السحاب
“Segala yang dikejar manusia di dunia ini, meski begitu banyak dan enak,
adalah bagai fatamorgana.
Kenikmatan yang dirasakan itu akan lewat dan pergi bagai awan yang merangkak”.
Al-Imam mengatakan :
واعلم أيها الناس أن راحة الدنيا أيام قلائل وأكثرها منغص بالتعب، مشوب بالنصب، وبسببها تفوت راحة الآخرة التي هي الدائمة الباقية والملك الذي لا نهاية له ولا فناء، فيسهل على العاقل أن يصبر في هذه الأيام القلائل لينال راحة دائمة بلا انقضاء.
“Ketahuilah, wahai manusia, bahwa kenyamanan/kenikmatan di dunia hanyalah beberapa hari saja. Lebih sering lelah, dan oleh karena itu sering kehilangan kesempatan untuk memeroleh kenyamanan kelak di akhirat yang adalah kehidupan abadi dan singgasana yang tiada akhir dan tak sirna. Maka seorang yang berakal akan bersabar menjalani hidup yang beberapa hari ini untuk meraih kenikmatan abadi.”
Adalah sangat menarik apa yang dilakukan oleh Nabi :
وعن عبدِاللَّه بنِ مَسْعُودٍ قَالَ: نَامَ رسولُ اللَّه ﷺ عَلَى حَصيرٍ، فَقَامَ وَقَدْ أَثَّرَ في جَنْبِهِ، قُلْنَا: يَا رَسُولَ الله، لوِ اتَّخَذْنَا لكَ وِطَاءً، فقال: مَا لي وَللدُّنْيَا؟ مَا أَنَا في الدُّنْيَا إِلَّا كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ، ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا رواه الترمذي وَقالَ: حديثٌ حسنٌ صحيحٌ.
Abdullah bin Mas’ud berkata: Rasulullah tidur di atas tikar kasar. Saat bangun tampak di punggungnya bekas cetakan tikar itu. Aku menawarkan kepada beliau, alas kasur yang lembut. Tetapi beliau menolak sambil mengatakan , apalah arti dunia ini. Aku (kita) di sini bagaikan pejalan, yang berteduh sesaat di bawah pohon, istirahat sebentar lalu meninggalkannya”.
ابو العتاهية :
اذا المرءُ لم يُعْتِق من المال نَفْسَهُ
تملّكه المالُ الذي هو مالِكُهْ
ألا انما مالي الذي أنا مُنِفقٌ
وليس لي المالُ الذي أنا تارِكُهْ
اذا كنتَ ذا مالٍ فبادِرْ به الذي
يحقّ والاّ استَهلكَتْهُ مهالِكُهْ
Abul Atahiyah:
Bila seseorang tidak bisa membebaskan dirinya dari ketergantungan kepada harta.
Maka harta itu akan menguasinya.
Hartaku adalah apa yang sudah aku gunakan
Harta yang ditinggalkan bukanlah milikku.
Jika kau punya harta, segeralah bagikan kepada yang berhak
Jika tidak, harta itu akan mencelakanmu
Lalu apa yang terbaik?
Pertanyaan penting kita adalah jalan manakah yang paling baik untuk kita tempuh menuju kembali kepada Allah?
Para ulama dan para bijak bestari (hukama) mengajarkan kepada kita bahwa sesungguhnya banyak jalan menuju kepada-Nya. Tetapi jalan yang terbaik, termudah dan tercepat yang dapat mengantarkan kepada tempat persinggahan terakhir kita, kembali kepada Tuhan, tempat kita berasal, dengan nyaman adalah memberikan pelayanan yang baik dan membagikan kegembiraan kepada manusia serta meniadakan atau mengurangi penderitaan mereka.
Sufi besar Abu Sa’id Ibn Abi al-Khair (w. 1049) ketika dia ditanya santrinya “Ma ‘Adad al-Thariq Min al-Khalq Ila al-Haqq” (berapa banyakkah jalan manusia menuju Tuhan?), dia menjawab:
فِى رِوَايَةٍ اَكْثَرُ مِنْ اَلْفِ طَرِيقٌ. وَفِى رِاوَايَةٍ أُخْرَى الطَّرِيقُ اِلَى الْحَقِّ بِعَدَدِ ذَرَّاتِ الّمَوْجُودَاتِ. وَلَكِنْ لَيْسَ هُنَاكَ طَرِيقٌ اَقْرَبُ وَاَفْضَلُ وَاَسْرَعُ مِنَ الْعَمَلِ عَلَى رَاحَةِ شَخْصٍ. وَقَدْ سِرْتُ فِى هَذَا الطَّرِيقِ وَاِنِّى اُوصِى الجمِيعَ بِهِ.
”Ada lebih dari seribu jalan, di tempat lain ia mengatakan jalan itu sebanyak partikel yang ada di alam semesta ini. Akan tetapi jalan yang terpendek, terbaik dan tercepat menuju Dia adalah memberi kenyamanan kepada orang lain. Aku menempuh jalan ini dan aku selalu memesankan ini kepada semua orang”. (Asrar al-Tauhid fi Maqaamaat Abi Sa’id, h. 327-327).
Jawaban Syeikh Abu Sa’id ini tampaknya diinspirasi oleh pernyataan Nabi ketika ditanya siapakah muslim itu? Beliau menjawab : “Al-Muslimu Man Salima al-Nas min Lisanihi wa Yadihi” (Seorang muslim adalah dia yang kehadirannya membuat orang lain merasa nyaman, tidak terganggu oleh kata-kata yang melukai dan tindakannya yang menyakitkan). []