Mubadalah.id – Atas dasar keadilan dan kesetaraan, semua manusia bersaudara dalam tauhid. Sejarah mencatat, kehadiran Islam meruntuhkan fanatisme kesukuan masyarakat Arab yang membuat mereka terpecah belah dan saling menumpahkan darah.
Perseteruan antara suku Aus dan Khazraj yang berlangsung turun-temurun, misalnya, luluh dan lebur bersamaan dengan masuknya tauhid di dalam hati mereka. Tidak ada lagi perasaan lebih tinggi dan lebih mulia di antara mereka.
Jika pada masa lalu kemuliaan diukur dengan kemenangan dalam persaingan dan peperangan antar suku, tauhid telah mengubah pandangan tentang arti kemuliaan itu. Kemuliaan dalam tauhid adalah kemuliaan di mata Allah dan Rasul-Nya yang bisa tercapai dengan ketakwaan.
Oleh karena itu, persaingan yang mereka lakukan bukan lagi untuk meraih kemuliaan suku, melainkan untuk meraih predikat “paling bertakwa”.
Demikianlah, mereka dipersatukan dan dipersaudarakan oleh satu tali yang jauh lebih kuat daripada tali kesukuan yang pernah mereka pegang, yakni tali Allah.
Di samping mempersaudarakan suku, tauhid juga mempersaudarakan individu. Tercatat beberapa nama dari kelompok Muhajirin yang dipersaudarakan dengan kelompok Anshar, seperti Abdurrahman bin ‘Auf dengan Sa’ad bin ar-Rabi. Persaudaraan itu berlangsung atas dasar saling menolong, menghargai, dan menghormati.
Tidak kalah penting, tauhid juga mempersaudarakan laki-laki dan perempuan ibarat saudara kandung. Mereka tidak boleh saling menyakiti dan merendahkan. Mereka harus bekerja sama, saling menolong, dan bahu-membahu demi tercapainya cita-cita bersama.
Rasulullah SAW bersabda, “Kaum perempuan adalah saudara kandung kaum laki-laki” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Saudara
Ucapan ini memiliki makna yang mendalam. Kata “saudara” mengandung arti kesetaraan, kebersamaan, kasih sayang, penghormatan atas hak, pembelaan atas orang-orang yang mengalami kezaliman, serta rasa senasib dan sepenanggungan.
Persaudaraan juga menghapuskan kata “aku”. Sehingga setiap orang yang bersaudara akan bergerak bersama dengan semangat dan jiwa “kita” demi kemaslahatan bersama. Makna mendalam dari sabda Nabi di atas merupakan semangat yang harus mendasari setiap gerak langkah masyarakat yang terdiri atas laki-laki dan perempuan.
Hal ini berarti bahwa ibarat saudara, laki-laki dan perempuan, harus bekerja sama dalam seluruh aspek kehidupan agar cita-cita masyarakat bisa tercapai dan merasakan manfaatnya oleh semua. Bahkan laki-laki tidak boleh meninggalkan atau memandang sebelah mata kepada saudaranya yang perempuan.
Demikian juga perempuan tidak boleh apatis dan asyik dengan dirinya sendiri. Sehingga tidak tahu apa yang dilakukan oleh saudaranya yang laki-laki.
Dalam semangat persaudaraan ini, laki-laki dan perempuan didorong untuk bersama-sama dan bekerja sama menciptakan tatanan masyarakat yang adil dan makmur dalam ridla Allah, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafir (QS. Saba’ (34): 15). []