Mubadalah.id – Dalam keteladanan Rasulullah Saw, keyakinan bahwa tidak ada manusia yang setara dengan Allah, tidak ada anak dan titisan Tuhan, pada gilirannya melahirkan gerakan kesetaraan manusia sebagai sesama makhluk Allah.
Termasuk tidak ada manusia nomor satu dan manusia nomor dua. Karena manusia pada hakikatnya sama. Raja bukanlah tuhan bagi rakyat, suami bukanlah tuhan bagi istri, orang kaya bukanlah tuhan bagi orang miskin.
Oleh karena mereka bukan Tuhan, maka rakyat tidak boleh mempertuhankan rajanya dan pemimpinnya, bawahan tidak boleh mempertuhankan atasannya dan istri tidak boleh mempertuhankan suaminya.
Ketakutan dan ketaatan tanpa syarat kepada raja, pemimpin, atasan atau suami yang melebihi ketaatan dan ketakutan kepada Allah merupakan pengingkaran terhadap tauhid.
Pada tataran sosial juga, kekuatan tauhid pada diri Rasulullah Saw membuatnya berani membela mereka yang direndahkan, teraniaya, dan terlemahkan secara struktural.
Termasuk terlemahkan secara sistemik (mustadh’afin), seperti kaum perempuan, budak, dan anak-anak yang diperlakukan oleh para penguasa dan pembesar masyarakat yang menutupi kezalimannya di balik nama Tuhan.
Ketauhidan dalam Islam mengantarkan pada prinsip keadilan sosial dan relasi intpersonal. Sehingga, tidak boleh ada orang yang kita posisikan secara timpang dan menjadi korban dari segala bentuk kekerasan.
Bahkan secara eksplisit, ada sejumlah teks al-Qur’an maupun hadits Nabi yang mengharuskan manusia untuk berbuat dan menegakkan keadilan dan kesetaraan. Beberapa ayat al-Qur’an di antaranya adalah:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. Dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum di antara manusia hendaknya menetapkan dengan adil. Sungguh Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.” (QS. an-Nisa’, 4: 58). []
Sumber: Buku Pertautan Teks dan Konteks dalam Muamalah karya Dr. Faqihuddin Abdul Kodir