Mubadalah.id – Pada 24 Agustus 2025, seorang teman memberikan informasi terkait pelaksanaan Temu Inklusi #6. Pertemuan akan dilakukan di Cirebon sekitar 2-4 September 2025. Segera saya mengakses link untuk mendaftar sebagai peserta. Ada pilihan menginap dan tidak menginap, saya pilih tidak menginap karena tempat kegiatannya tidak terlalu jauh dari rumah.
Temu Inklusi adalah pertemuan strategis 3 (tiga) tahunan bagi para pemangku kepentingan. Seperti organisasi masyarakat sipil, komunitas difabel, pemerintah, akademisi, dunia usaha, media serta pemangku kepentingan lainnya. Untuk berbagi pengalaman, membangun sinergi, merumuskan solusi dan rekomendasi dalam menghadapi tantangan inklusi di Indonesia.
Temu Inklusi, Wadah Berbagi Pengalaman dan Strategi
Temu inklusi ini adalah salah satu upaya mendorong implementasi pembangunan inklusif, menyadari bahwa mengurangi tingkat kemiskinan hanya bisa terwujud jika semua pihak berkontribusi untuk menciptakan peluang yang setara. Yakni untuk berbagi manfaat pembangunan dan memberikan ruang partisipasi seluas-luasnya dalam pengambilan keputusan. Seluruhnya berdasarkan pada penghormatan atas nilai dan prinsip-prinsip hak asasi manusia, partisipatif, non-diskriminatif dan akuntabel.
Strategi utama pembangunan inklusif adalah penciptaan lapangan kerja produktif dan menguntungkan. Lalu penyediaan jaring pengaman sosial yang efektif dan efisien untuk melindungi mereka yang tidak mampu bekerja atau yang terlalu sedikit mendapatkan manfaat pembangunan. Terakhir, peningkatan pelayanan publik dasar dan dukungan kebijakan publik yang memadai.
Kabupaten Cirebon menjadi tuan rumah Temu Inklusif #6 tentu bukan tanpa sebab, di antaranya adalah karena Pemerintah Kabupaten Cirebon telah memiliki peraturan daerah yang mendasari pemenuhan hak difabel melalui Perda Nomor 2 tahun 2024 tentang Pelindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.
Jaminan partisipasi difabel melalui musyawarah rencana pembangunan (Musrenbang) tematik. Penyelenggaraan unit layanan disabilitas (ULD) ketenagakerjaan yang lebih efektif menyalurkan ketenagakerjaan difabel. Tiga hal tersebut adalah bagian dari inisiatif Pemda Kabupaten Cirebon. Desa Durajaya, tempat penyelenggaraan Temu Inklusi #6 telah berproses menjadi Desa Inklusif dengan dampingan dari Forum Komunikasi Difabel Cirebon (FKDC).
Siapakah Difabel?
Saat mengisi daftar kehadiran menjadi partisipan Temu Inklusi #6, sebagaimana peserta yang lain, saya pun diminta untuk menuliskan data di daftar hadir, yang terdiri dari nama, asal daerah, nama lembaga, jenis kelamin, dan jenis disabilitas. Saya agak bingung ketika diminta menuliskan jenis disabilitas, “saya nulisnya apa?” Tanya saya ke panitia, lalu mereka menjawab, “jika Ibu bukan disabilitas, tulis saja non”, saya pun mengikuti saran panitia.
Tetapi saya juga berefleksi, apa saya tidak terlalu sombong mengatakan bahwa saya non disabilitas, saya pake kacamata, karena saya memiliki keterbatasan melihat dalam jarak jauh dan sedikit jarak dekat, bukankah saya masuk disabilitas.
Sementara itu di sisi lain, saya merasa jika saya menulis saya difabel, apakah itu tidak mengurangi hak teman-teman difabel yang lain untuk mendapatkan akses, di situlah saya bergulat dalam pertanyaan dan refleksi. Tetapi akhirnya saya berijtihad, untuk menuliskan non difabel, karena saya masih bisa menangani kebutuhan saya sendiri.
Difabel, sebagai akronim dari differently abled people, artinya orang-orang yang memiliki kemampuan berbeda. Difabel kita artikan sebagai mereka yang memiliki kemampuan berbeda dari mereka yang tidak cacat.
Menilik Konsep Disabilitas
Konsep disabilitas mengakui bahwa setiap individu mempunyai perbedaan (terlepas apakah dia difabel atau bukan) dan sebagai konsekuensi dari perbedaan itulah maka sangat penting bagi lingkungan dan masyarakat untuk merespon positif bentuk perbedaan tersebut. Konsep ini mengakui realitas dan keterbatasan fungsi (fisik atau mental) sebagai suatu realitas yang wajar. (diambil dari booklet Temu Inklusi 6)
Sementara menurut UU No. 08 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Yang dimaksud dengan penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Masyarakat sering melihat penyandang disabilitas dalam dua cara pandang. Pertama adalah cara pandang medis. Melihat disabilitas sebagai masalah individu dan penyakit yang karenanya berbagai pihak perlu melakukan upaya untuk menyembuhkan, cara pandang ini lebih fokus pada kebutuhan individu.
Cara pandang yang kedua adalah cara pandang sosial, yaitu bagaimana dukungan masyarakat (dan pemerintah tentunya) kurang memberikan akses bagi penyandang disabilitas. Banyak hambatan sosial karena kurangnya dukungan dan aksesibilitas. Dari mulai hak dasar seperti pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan.
Belajar Memastikan Aksesibilitas
Saya bukan orang yang sejak lama bergerak dan berjuang dalam gerakan mendorong masyarakat inklusi. Saya hanya orang yang suka belajar banyak hal. Salah satunya adalah tentang bagaimana cara memastikan apa yang kita lakukan, apapun itu, sudah cukup inklusif. Karena aktivitas saya sehari-hari banyak bekerja dengan masyarakat banyak. Jadi saya perlu belajar dan terus bertumbuh untuk menajamkan sensitivitas terkait penyandang disabilitas.
Dalam Temu Inklusi #6 saya banyak belajar bagaimana panitia berupaya memberikan akses yang setara kepada semua peserta yang hadir. Dalam berbagai sumber, saya mendapat informasi sekitar 500-an peserta yang hadir dari berbagai daerah di Indonesia. Antara lain, Jawa, Sumatera, NTB, NTT, Maluku, Papua, semua hadir.
Saya menyaksikan banyak ragam disabilitas, tapi yang bisa saya lihat dan pastikan adalah disabilitas fisik seperti amputasi, kehilangan salah satu atau lebih anggota tubuh. Lalu kelumpuhan kondisi orang kecil. dan ada penyandang disabilitas sensorik yaitu sahabat tuli dan disabilitas netra. Selain itu, saya tidak dapat mengidentifikasi jenis disabilitasnya.
Setiap kelas yang saya ikuti, menyediakan juru bahasa isyarat (JBI) yang berganti setiap beberapa menit (mungkin 15 menit?) Di depan kursi peserta paling depan, diberikan ruang kosong untuk tempat para peserta yang menggunakan kursi roda. Juga memastikan jalan tengah cukup lebar, cukup untuk kursi roda melintasi tempat kegiatan. Setiap pintu masuk terdapat selasar untuk pengguna kursi roda atau alat bantu jalan lainnya.
Para pembicara, baik MC, Moderator maupun narasumber mempekenalkan diri dengan menyebutkan deskripsi penampilan diri saat itu, misalnya, “Saya Alifatul memakai kacamata, menggunakan kerudung motif mega mendung warna merah, baju hitam, celana hitam.” Mungkin hal ini tersampaikan agar teman-teman netra juga dapat membayangkan.
Akses kamar mandi juga pemerintah Desa Durajaya telah memiliki dua kamar mandi yang cukup baik untuk para penyandang disabilitas. Tempatnya yang mudah terjangkau, berada di depan kantor desa dan sudah menerapkan standar bangunan yang aksesibel.
Adapun kemudahan akses itu antara lain, kemudahan (semua orang dapat mencapai semua tempat), kegunaan (setiap orang dapat mempergunakan semua tempat), keselamatan (setiap bangunan harus memperhatikan keselamatan bagi semua orang) dan kemandirian (setiap orang harus dapat mencapai, masuk, dan mempergunakan semua tepat tanpa bantuan orang lain).
Afirmasi
Para panitia dan peserta yang hadir juga terus bertumbuh dan mengasah sensitivitas selama kegiatan berlangsung. Saya ingat dalam sebuah sesi doorprize, panitia melemparkan pertanyaan dan peserta yang tersebar mengacungkan tangan lalu akan ditunjuk untuk menjawab. Jika jawabannya benar, berhak menerima dorprize.
Sesi berlangsung meriah dan peserta terlihat sangat antusias, hingga salah seorang panitia (sepertinya SC) mengingatkan, “kalau sistemnya begini, kapan temen-temen tuli bisa dapat kesempatan, sementara temen-temen tuli kan perlu waktu untuk menerima informasi dari juru bicara dulu.”
Hal tersebut segera tersadari oleh panitia, sehingga temen-temen tuli mendapatkan afirmasi, mendapatkan sesi dorprize khusus temen tuli.
Selama acara, saya banyak memperhatikan, berusaha mencerna apa yang saya lihat dan menjadi poin penting untuk kita lakukan atau tidak dilakukan, jika saya dan atau siapapun melakukan kegiatan.
Selain itu saya juga memperoleh bahan bacaan tentang bagaimana memastikan aksesibilitas yang tersusun oleh tim Sigab. Saya kira pembaca pun dapat mengaksesnya sebagai upaya refleksi bersama, sudah cukup aksesible kah kita/organisasi kita bagi penyandang disabilitas? []
*)Silakan materi bisa terakses di https://docs.google.com/forms/d/e/1FAIpQLSeE1DxvC8QrfdxC7X7qeBkcDv-FME_-F7-In3rsRD0Q_ottkQ/viewform.