Tak jarang, untuk mencapai tujuannya itu, Ibu-Ibu tersebut terjerat dalam jeratan pekerjaan informal. Menyetrika pakaian, ikut rewang di warung soto saudaranya, atau mungkin menjadi tukang momong bayi tetangganya karena absennya layanan childcare yang memadai dan mudah diakses
Mubadalah.id – Barangkali, pernah kita dengar cerita tentang seorang Ibu yang tengah terhimpit dua masalah: terpasung tanggung jawab merawat anaknya dan terpecut pedati keuangan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Belum lagi tugas mulianya sebagai Istri yang mesti melakukan kerja-kerja afeksi kepada suaminya dan segenap pekerjaan lain yang menggunung di balik irisan identitasnya sebagai wanita, Ibu, pekerja, pemeluk agama, dll.
Mereka, Ibu yang dengan malu-malu menyeka peluh di depan anaknya, dibuai baal oleh doktrin-doktrin patriariarkis par excellence—saya kira tak perlu menyebut lebih lanjut sumber apa yang masih merawat doktrin tersebut.
Kembali lagi, ini persoalan perut. Antara hidup—itu pun jauh dari kata layak—atau mati. Bagaimanapun, Ibu-Ibu itu merasa perlu untuk bekerja. “Mencari tambahan”, ucapnya.
Tak jarang, untuk mencapai tujuannya itu, Ibu-Ibu tersebut terjerat dalam jeratan pekerjaan informal. Menyetrika pakaian, ikut rewang di warung soto saudaranya, atau mungkin menjadi tukang momong bayi tetangganya karena absennya layanan childcare yang memadai dan mudah diakses. Akan tetapi, apa itu pekerjaan informal?
Tentang Pekerjaan Informal
Singkatnya, pekerjaan yang dilakukan dengan tanpa adanya payung hukum dalam operasinya. Kerja informal, secara definisional, berbeda dengan kerja rentan. Ia adalah bagian dari himpunan kerja rentan. Kerja informal sudah pasti rentan, tetapi tidak sebaliknya.
Jelas, pekerjaan informal merupakan masalah yang serius. Mengapa ia merupakan sebuah masalah? Tepat karena absennya negara dalam mengawasi dan menjembatani antara pemberi kerja dan pekerja. Ya meskipun hadirnya negara juga tak serta merta menjadikan pekerjaan itu mampu mengentaskan dirinya dari status rentan.
Jenis pekerjaan ini merupakan pekerjaan yang membingungkan. Saya yakin, Ibu-Ibu itu dan segenap pekerja informal sebenarnya juga tak mau untuk menyemplungkan dirinya untuk bekerja dalam status yang tidak jelas.
Namun, mau bagaimana lagi, nasi sudah jadi bubur. Lapangan pekerjaan formal terbatas. Apabila terbuka pun, syarat masuk kerja dan beban kerjanya selangit. Semua jalan sudah tertutup, satu-satunya yang terbuka ya masuk ke dalam sektor informal atau kerja informal ini. Yang penting esok bisa makan.
Ironi, sudah menjadi rahasia umum bahwa Ibu sedang tertimpa beban ganda. Bagaimana Ibu harus mengurusi keluarga sekaligus urusan bagaimana besok dapur tetap ngebul.
Menurut salah satu artikel jurnal, ada korelasi mengenai hubungan kerja informal seorang ibu dengan kesehatannya dan anaknya. Beberapa di antaranya adalah adanya hubungan negatif antara nutrisi anak dari seorang ibu yang bekerja secara informal.
Studi tersebut menunjukkan bahwa ibu yang bekerja secara informal cenderung memiliki anak dengan kualitas nutrisi yang rendah. Kita semua tahu bahwa nutrisi anak yang buruk adalah biang kerok utama dari masalah stunting.
Saya kira, kalau boleh berpendapat kepada calon presiden negeri ini, satu hal yang mesti menjadi dasar dari segala perumusan kebijakan adalah permudah dulu urusan kelayakan, akses, dan kesejahteraan. Kebijakan makan siang gratis tak cukup ampuh dalam memangkas angka stunting ini apabila kita membandingkannya dengan kebijakan yang orientasinya adalah justru menyejahterakan orang tua dari si anak itu.
“Pemerintah Tak Pernah Becus Mengurusi Hal Ini”
Banyak dari kita yang tergesa-gesa menyalahkan sana-sini, tak terkecuali menyalahkan pemerintah. Namun, izinkan saya untuk menyela, apakah “memaki-maki” kepada pemerintah dengan tanpa menelisik lebih jauh masalahnya adalah tindakan yang produktif? Apakah dengan mengumpat sudah dapat mengentaskan masalah tersebut? Saya kira hal tersebut justru kontraproduktif.
Sebab tanggapan seperti itu hanya berujung pada sentimen-sentimen moral semata. Tak kurang dan tak lebih. Tak lebih hanya menghasilkan retorika dan bila berhasil, hanya akan menjadi terapi kejut sesaat.
Saya kira, kita perlu dengan tangan dingin mengurusi hal ini. Kita mesti move on dari perspektif moral dalam memandang persoalan kerja informal bagi ibu ini. Menurut saya, tak perlu untuk mengasihani ataupun mengirimi doa yang dipanjatkan dengan tangisan kepada ibu-ibu tersebut.
Ibu-Ibu itu hanya perlu alat-alat kehidupan yang layak dan aksesibel bagi anak-anaknya. Tentu, alat-alat kehidupan itu tidak datang dari surga, melainkan muncul dari bumi material manusia.
Sebagaimana ilmu alam mengatasi problem-problem material, kita mesti bergerak ke arah yang sama. Mencoba mengilmiahkan tujuan kita seperti bagaimana ide tentang kesejahteraan ibu yang bekerja. Pun menerjemahkan secara ilmiah ibu secara luas sehingga sehingga realisasi atas target tersebut terukur.
Sebagai contoh, kita dapat menerjemahkan problem kerja informal ibu rumah tangga sebagai problem penyerapan tenaga kerja—baik dari sisi penyedia kerja dan fasilitatornya maupun dari sisi kualitas pekerja—juga sebagai problem akses pendidikan, kesehatan, dan berbagai kebutuhan dasar lainnya, dan penerjemahan dari berbagai bidang lain. Setelah hal ini clear, baru kita dapat mengidentifikasi solusi atasnya dan target turunan untuk realisasi konkrit atasnya. []