Mubadalah.id – Ini kisah tentang kesetiaan. Kita bisa belajar dari Sahabat Khalid bin Walid, yang pernah dicopot jabatannya sebagai komandan perang, saat Khalifah Umar bin Khattab menjadi pemimpin menggantikan Abu Bakar. Syahdan, kekecewaan muncul di wajah beberapa sahabat Rasulullah. Apa kata Khalid saat itu?
“Tak mengapa. Saya berperang bukan karena Umar.” Sungguh, Gaes membaca kisah ini membuatku mencari di tumpukan nama-nama besar dalam sejarah, masih banyakkah kesetiaan yang demikian. Kesetiaan yang enggak sedikitpun luntur walau sudah berganti pemimpin tempatnya mengucap sumpah setia.
Kita tahu, Men. Bahwa Rasulullah memberikan julukan kepada para sahabatnya ternyata memiliki andil besar dalam kehidupan mereka. Pedang Allah yang disematkan kepada Khalid bin Walid mampu menjadikan beliau memberikan kesetiaan kepada Rasulullah dan demi keridhoan Allah semata. Kalau sudah demikian maka tak mengapa dong sekalipun enggak lagi diberi jabatan penting dalam pemerintahan Khalid tetap ikut berperang demi agama Allah meskipun hanya sebagai tentara biasa saja.
Itu kesetiaan sebagai anggota, Mamen. Beda lagi kesetiaan Rasulullah sebagai pemimpin. Rasulullah memberikan kesetiaan beliau kepada sahabat dengan menautkan hatinya kepada mereka. Satu dengan lainnya dibaca Rasulullah karakternya kemudian menyematkan julukan terbaik sesuai karakter mereka.
Buya Hamka menceritakan dalam bukunya, bahwa Rasulullah mengatakan kepada sahabat Usman bin Affan, “jikalau aku memiliki satu putri lagi, maka itu akan menjadi istrimu Usman.” Kepada Abu Bakar lain lagi. Rasulullah mengatakan, “Wanita yang paling kucintai adalah Aisyah. Sedangkan laki-laki yang paling kucintai adalah bapak perempuan itu.”
Lihat, Rasulullah sangat pandai menyentuh hati sahabatnya.
“Aku adalah kota Ilmu, sedangkan kau, Ali. Adalah pintunya yang mampu memasuki kota ilmuku.” Itu kata Rasulullah kepada sahabat Ali. Bukan hanya kalangan yang dianggap besar saja Rasulullah memuji. Kepada Salman Al Farisi Rasulullah memuji, “Jika bintang kemajuan terletak di atas angkasa, maka hanya satu orang Persia inilah yang mampu menaklukkannya.”
Daebak, Jempol seribu kali lebih sejuta kali buat Baginda Rasulullah. Beliau setia kepada sahabatnya dengan caranya sendiri, dengan memuji mereka sesuai kemampuan. Tak ayal, semua merasa puas, semua merasa tersentuh karena ketulusan hingga semua bersumpah setia walau bagaimanapun jua.
Nah, kalau zaman now? Haduh. Kesetiaan itu langka. Ada yang setia karena harta, ada yang setia karena tahta, ada yang setia karena barang incarannya, posisi sosialnya, kedudukannya belum tercapai seutuhnya. Ntar, kalau yang diikuti sudah ambruk mereka lari tunggang langgang, babay.
Ada yang aneh lagi. Komen enggak dibalas dibilang pilih kasih, inbox enggak dibaca katanya sombong, WA enggak dibalas katanya kita lupa ama dia. Men, jangan cetek banget punya isi kepala. Masak hal demikian aja bikin elo baper terus mutung dan bersikap enggak lagi mau setia. Dih, melempem amat kita kayak kerupuk. Kerupuk aja awet kalau ditaruh di toples tapi yang namanya kesetiaan itu jangan diukur dengan hal-hal yang demikian.
Jikalau ternyata engkau dicueki sama mereka yang sudah femes, yah, doain aja. Moga teman kita yang femes makin subur, makmur, jaya. Kan, mendoakan yang baik-baik enggak bakal rugi bandar, Mamen. Siapa tahu malah baliknya lebih cepat ke arah kita daripada ke arah mereka.
So, stop baper hanya karena perkara beginian. Dia kagak inbox, enggak masalah. Doi dekat sama si Dodot, enggak ngaruh keles, dekat ama Dodit, No problemo. Dekat sama Ma’ruf, ya Alhamdulillah, bisa makin mengarah ke kebaikan. Intinya, kesetiaan jangan diukur hanya dengan takaran yang begini. Karena, sesungguhnya kawan setia dilihat saat kalian sedang susah, itu kata sahabat Ali.
Beda lagi dengan kata pujangga. Mereka berkata, tidak ada yang paling setia kepadamu selain kematian.
Maka, tetap hepi, stay health, tetap sumringah, makan pecel sambil senyum, makan tahu sambil mesam-mesem tapi jangan sampai makannya di luar terus setiap ketemu orang yang lewat kalian setia tertawa-tawa, bahkan terbahak-bahak menertawakan entah apa. Salam setia, Mamen. []