• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Tentang Perempuan dan Trauma Pernikahan

Menikah seolah menjadi pencapaian tertinggi dalam kehidupan perempuan. Perempuan yang tidak menikah mendapat cap sebagai perempuan yang tidak laku, kurang iman karena tidak menjalankan sunah rasul

Anita Maria Supriyanti Anita Maria Supriyanti
22/08/2023
in Personal
0
Trauma Pernikahan

Trauma Pernikahan

1.1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

“bagaimana sudah ada calon?, jangan lama-lama nanti jadi perawan tua loh, lagian toh kamu juga sudah lulus kuliah mau ngejar apa lagi toh nduk, kalau laki-laki semakin dewasa pilihannya semakin banyak”. Ujar Ibu Risma yang mungkin kehabisan topik pembicaraan dan canggung dengan putrinya. Mendengar pembicaraan ibu dan anak ini, aku juga sedikit tergelitik dengan pertanyaan tersebut.

Mubadalah.id – Kalimat semacam ini sudah pasti sering terdengar oleh perempuan yang mulai menginjak kepala dua. Seperti perempuan kebanyakan, Risma juga cukup tertekan dengan pertanyaan ini “aku ingin menikah pada iwaktu yang kuinginkan, mungkin umur di 28, 29 atau 30” ketusnya dengan raut yang sedikit kesal dan menjengkelkan.

Risma lahir dan hidup dengan keluarga yang cukup berantakan, kata kerennya alias broken home. Setelah perceraian orang tuanya, juga perceraian yang pernah terjadi antara kakek nenek serta pamannya. Bahkan perceraian juga terjadi pada tetangga yang tinggal tepat depan rumahnya.

Baginya, ada trauma pernikahan yang mungkin cukup mengerikan. Apalagi sejak kecil Risma tak hidup bersama orang tuanya, melainkan dengan orang tua dari ibunya alias kakek neneknya. Mungkin Ibunya cukup mengerti bagaimana kondisi rumah yang Risma tempati.

Trauma Pernikahan

Cara didik yang penuh kekerasan, menjadikan pernikahan sebagai solusi yang ditawarkan untuk keluar dari jerat kekerasan yang ia alami, hingga meninggalkan jejak trauma pernikahan. Tapi Ia tak habis pikir bagaimana mungkin Ibu dan keluarga memintanya segara menikah sedangkan selama ini ia sendiri hidup dalam keluarga yang pernikahannya tidak baik-baik saja.

Apa Ibu tidak merasa khawatir anaknya akan mengalami nasib yang sama dengan Ibunya. Apa menurut mereka hanya menikah yang bisa merasakan bahagia?

Baca Juga:

Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

Selain pola asuh, apa yang mereka khawatirkan jika Risma memilih menunda pernikahan atau mungkin tidak menikah sama sekali. Sebagai anak pertama dan anak perempuan satu-satunya keluarga pasti menginginkan yang terbaik bagi anaknya, salah satunya dengan pernikahan.

Kiai Faqih dalam Qira’ah Mubadalah mengatakan bahwa rumah adalah madrasah pertama bagi anak, anak akan melihat bagaimana hubungan orang tua atau keluarga satu terhadap lainnya dalam menjalin relasi, sikap dan perilaku. Di mana kemudian ini terinternalisasi ke alam bawah sadar anak. Jadi apa suatu kesalahan bagi Risma jika dia sangat menghawatirkan pernikahan?

“Perceraian Ibu dan ayah karena perjodohan toh nduk, sejak dulu Ibu tidak cinta sama ayahmu” ucap Ibunya dengan ekspresi datar tanpa beban. Bagaimana mungkin bisa tidak cinta, toh sudah ada empat anak masih saja bilang tidak cinta.

Terlepas dari hukum pernikahan, secara budaya menikah menjadi keharusan yang tidak boleh tertunda bagi kaum perempuan. Kata lainnya, semakin cepat perempuan menikah maka akan semakin baik bagi perempuan. Anggapan kebanyakan orang pernikahan sebagai alternatif untuk mencapai kebahagiaan, dengan kata lain orang yang menikah jauh lebih bahagia ketimbang yang tidak menikah.

Tak jarang pelabelan perawan tua dilekatkan bagi mereka yang belum menikah. Sedangkan sangat jarang kita mendengar bujang atau perjaka tua. Ini bukan perihal membanding-bandingkan antara perempuan dan laki-laki dari cara pandang sosial. Tapi jelas ini sangat merugikan perempuan secara sosial.

Konstruksi Menikah Adalah Pencapaian Tertinggi Perempuan

Menikah seolah menjadi pencapaian tertinggi dalam kehidupan perempuan. Perempuan yang tidak menikah mendapat cap sebagai perempuan yang tidak laku, kurang iman karena tidak menjalankan sunah rasul. Terkadang perempuan juga dianggap ada kelainan dan berbagai pelabelan lainnya yang menimbulkan citra buruk perempuan.

Saat membuka platfrom media massa atau sosial, kita akan sangat mudah menemukan berita yang mengekspos mengenai artis yang lebih memilih karir ketimbang menikah. Salah satunya pada platfrom tribun kaltim 2018 “lebih memilih karir, selebriti cantik ini belum juga menikah di usia 30an”.

Meski sekarang kenyataannya beberapa yang sudah menikah, tapi poinnya adalah bagaimana media menggambarkan perempuan sebagai objek yang memilih karir dari pada menikah.

Padahal jika ditelisik lebih jauh para selebriti tersebut memiliki prestasi yang luar biasa. Mengapa yang menjadi sorotan media soal status  kelajangannya, mengapa tidak membahas prestasi gemilang mereka. Apa pencapaian perempuan tidak sepenting itu dibandingkan pencapaian soal pernikahan?

Semakin lama menikah, perempuan akan semakin sulit mendapatkan jodoh, konstruksi sosial ini tidak hanya pesan bahwa perempuan tidak boleh menunda pernikahan, melainkan juga pesan yang menyiratkan bahwa usia akan mempengaruhi sistem reproduksi perempuan yang semakin lama semakin melemah. Jika sudah seperti ini berarti kita menyepakati bahwa perempuan berperan sebagai objek seksual dan reproduksi.

Sehingga dapat dipahami bahwa konstruksi sosial yang dibangun selama ini bahwa pernikahan adalah ajang untuk melanjutkan regenerasi. Alias perempuan sebagai pabrik reproduksi makanya jangan terlambat menikah.

Pengalaman Khas Perempuan

Mengamati dari sisi biologis dan pengalaman perempuan, proses reproduksi seksual yang terjadi pada perempuan berbeda jauh dari laki-laki. Dalam perjalanannya, perempuan lebih banyak mengalami rasa sakit selama menjalani tahapan biologis reproduksinya. Mulai dari nyeri saat menstruasi, bahkan rasa sakit bertahun yang terjadi setelah menikah dan melewati fase kehamilan hingga menyusui.

Dogma selama ini yang tertanamkan adalah sakit tersebut menjadi ladang pahala bagi perempuan. Sehingga banyak perempuan yang pasrah atas tubuhnya untuk menjadi mesin reproduksi tanpa konsen yang tulus. Pahala sih pahala, kalo sakit ya wong tetap sakit mau gimana lagi, padahalkan kita bisa memilih mencari pahala lawat jalur lain yang kita inginkan toh.

Dalam konsep relasi kesalingan, pernikahan bukan menjadikan perempuan sebagai objek seksual dan reproduksi. Melain mewujudkan kemaslahatan untuk mencapai kebahagiaan bersama sesuai ajaran islam. Tujuan dari pernikahan itu sendiri untuk hidup bersama dalam rangka memperoleh ketenteraman bersama pasangan.

Dengan kata lain mewujudkan sakinah, kenyamanan (mawaddah) dan cinta kasih (rahmah). Namun untuk memperoleh itu semua, menikah tidak hanya butuh uang untuk resepsi, apalagi cinta untuk alasan bersama, tetapi juga kesiapan mental, spiritual, ekonomi dan masih banyak lagi.

Tujuan Pernikahan

Merujuk dari tujuan pernikahan, seharusnya tidak masalah perempuan atau laki-laki ingin menikah sesuai kesiapannya. Tak perlu berpatokan dengan konstruksi sosial harus menikah usia berapa bagi perempuan dan harus kerja apa bagi laki-laki.

Yang terpenting memang kesadaran untuk tidak ikut tren menikah sesuai konstruksi masyarakat selama ini. Tapi khusus bagi anak yang lahir dan hidup dari keluarga broken home tentu memiliki trauma tersendiri dalam memandang pernikahan. Akibat perceraian yang ia saksikan, tentu butuh perjuangan yang lebih terjal untuk mengubah keyakinannya soal pernikahan.

Setelah berkali-kali aku meyakinkannya soal pernikahan, meski kehidupanku tak jauh berbeda dengannya. Namun aku masih memiliki pemikiran positif untuk menikah. Aku terus meyakinkan Risma bahwa kehidupan pasca pernikahan tidak semengerikan itu jika kita punya ilmunya. Meski aku sendiri belum menikah.

Setidaknya pengalam teman-temanku yang sudah menikah sejauh ini baik-baik saja. bahkan ia sering memotivasi teman-teman lainnya untuk segera menikah.

Akhirnya setelah diskusi panjangku bersama Risma selesai, Risma yang selama ini ku kira memiliki trauma pernikahan, tak kunjung mempersiapkan calon. Ternyata belum bisa move on dari mantannya. Katanya mantan terakhir ini mantan terindah.

“aku bukanya tidak mau menikah, memang calonnya saja yang belum ada, orang yang aku mau entah mengapa tidak mau bersamaku, tapi ada yang mau denganku entah kenapa rasanya tidak cocok.” Ujarnya tanpa dosa. []

Tags: CintaJodohkeluargaperempuanpernikahanstigmatrauma
Anita Maria Supriyanti

Anita Maria Supriyanti

Seorang penulis pemula, mula-mula nulis akhirnya cuma draft aja

Terkait Posts

Inspirational Porn

Stop Inspirational Porn kepada Disabilitas!

19 Mei 2025
Kehamilan Tak Diinginkan

Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial

18 Mei 2025
Noble Silence

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

17 Mei 2025
Suami Pengangguran

Suami Pengangguran, Istri dan 11 Anak Jadi Korban

16 Mei 2025
Keadilan Semu

Membuka Tabir Keadilan Semu: Seruan Islam untuk Menegakkan Keadilan

15 Mei 2025
Memahami Disabilitas

Memahami Disabilitas: Lebih Dari Sekadar Tubuh

14 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Alasan KUPI Jadikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version