Mubadalah.id- Dalam sebuah relasi percintaan, tentu saja setiap pasangan menginginkan goals untuk saling bahagia dan membahagiakan. Namun bagaimana jika sebuah relasi yang harusnya saling membahagiakan justru menjadi tempat tumbuhnya toxic relationship?
Dalam hal ini perempuan masih berada di posisi rentan. Komnas perempuan pada tahun 2022 mengungkapkan bahwa, data kekerasan ranah personal yang dalam konteks relasi pacaran mencapai 713 kasus. Menurut data riset, korban kekerasan dalam pacaran pada umumya dengan rentang usia 16-24 tahun.
Merujuk pada data tersebut, menujukkan bahwa korban kekerasan personal dalam relasi pacaran kebanyakan adalah anak milenial.
Berbagai ragam tindakan kekerasan dalam relasi pacaran anak millenial di antaranya:
Pertama, Kekerasan fisik dalam relasi pacaran anak milenial tentu berarti kekerasan ini adalah perlakukan kekerasan dengan adanya serangan fisik. Seperti memukul, mencekik, menampar, menendang.
Kedua, Kekerasan non fisik, yaitu serangan kekerasan yang mengakibatkan korban mengalami kerugian secara psikologis. Hal ini bisa berwujud kata-kata kasar, merendahkan dan me-manipulasi. Kekerasan non fisik dapat menyebabkan korban merasa tidak berharga atas dirinya.
Ketiga, Kekerasan Seksual. Kekerasan seksual dalam relasi pacaran anak milenial berupa pemaksakan aktifitas seksual. Seperti pemorkosaan, KBGO, menyentuh area tubuh privat tanpa persetujuan.
Kempat, Kekerasan ekonomi. Yaitu suatu hubungan yang terdapat unsur pemaksaan pemenuhan kebutuhan pasangan, baik primer mapun sekunder. Tidak sedikit pasangan relasi toxic yang menjadikan pasangannya sebagai sumber keuntungan unuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Korban toxic relationship tentu mengalami kerugian yang amat besar. Kerugian tersebut antara lain: kerugian fisik, non fisik dankerugian secara ekonomi.
Respon Korban Kekerasan Relasi Pacaran Anak Milenial
Perempuan korban dari toxic relationship ini mengalami dinamika psikologis yang tidak stabil. Kondisi psikologis akibat tindakan kekerasan dalam relasi tentu akan menyebabkan gangguan psikologis, seperti stress, cemas hingga trauma.
Korban yang terjerat, membutuhkan proses pemulihan yang relatif lama. Bahkan tidak jarang, korban memerlukan pendamping psikologis, seperti psikolog, konselor dan psikiater.
Namun dalam beberapa kasus, proses perempuan untuk merujuk kepada profesional pendamping mental saja, membutuhkan kesadaran dan kesiapan mental. Korban cenderung membutuhkan waktu untuk menyadari kondisi “bahwa ia adalah korban” dalam relasi pacaran tersebut.
Hegemoni Maskulinitas Laki-laki
Selanjutnya, pertanyaannya, jika perempuan identik dengan korban, mengapa laki-laki kita labeli sebagai pelaku?
Budaya patriarki telah mengkontruksi sistem sosial dari segi penyifatan antara perempuan dan laki-laki. Jika perempuan identik dengan sosok yang lebut, penyayang, lemah, telaten, maka laki-laki lebih identik dengan sosok pemimpin, bijak, tegas, rasional.
Dari segi penyifatan tersebut, memiliki kemelekatan yang membawa pada life style dan cara pandang. Hal ini dapat membentuk kontruksi sosial masyarakat, lalu menjadi belief system dan sikap standar sosial masyarakat.
Berbicara mengenai kehidupan laki-laki dewasa, terdapat hierarki kelelakian, di mana hal tersebut adalah standar kualitas diri seorang laki-laki dalam pandangan masyarakat patriarki. Indikator standar kualitas diri laki-laki dapat ditentukan dari seberapa banyak ia dapat menghasilkan uang dan seberapa besar pengaruhnya dalam membangun relasi (publik atau privat).
Hegemoni maskulinatas tersebut secara terang-terangan membentuk citra diri laki-laki. Kondisi ini bukan saja melahirkan dominasi atau superioritas pada laki-laki. Namun juga membuat laki-laki terjebak pada tekanan psikologis sistem patriarki.
Sehingga hal ini mengakibatkan sikap toxic masculinity seorang laki-laki dalam menjalin sebuah relasi asmara. Laki-laki merasa memiliki kendali secara penuh dalam suatu hubungan, sedangkan perempuan tidak cukup berdaya atas kuasa atau kepemimpinan laki-laki tersebut.
Relasi Sehat dan Bahagia
Untuk itu, sebelum melangkah lebih jauh dalam membangun relasi, alangkah baiknya anak milenial menyadari bahwa yang lebih di perlukan adalah mempersiapkan diri dalam menjalin sebuah relasi.
Mengenal diri sendiri dengan baik menjadi alternatif persiapan dalam menjalin sebuah relasi. Dengan mengenal diri sendiri, maka kita dapat menentukan standar kualitas pasangan dengan baik. Sikap tersebut tentu dapat meminimalisir dari jebakan toxic relationship.
Karena ketika kita memahami “apa yang kita butuhkanan” dalam konteks pasangan, maka kita tidak akan asal memilih pasangan.
Selanjutnya, persiapan mental dan ilmu dalam membangun relasi yang sehat dan setara juga perlu dikembangkan bagi setiap individu. Self improvment tersebut berguna untuk membangun konsep diri secara positif.
Benar kata kata Soekarno dalam bukunya Sarinah, menegaskan bahwa “Laki-laki dan Perempuan adalah seperti dua sayap dari seekor burung.”
Yang memiliki makna bahwa, baik laki-laki dan perempuan jika menginginkan kebahagiaan dan tercapainya cita-cita, maka harus bekerjasama antara satu sama lain. Jika keduanya meninggalkan dan memilih untuk terbang sendiri, maka, cita-cita dan kebahagian dalam hubungan tidak akan mampu terwujud. Sayap tersebut akan patah, dan burung tidak akan bisa terbang.
Dengan demikian, menurut hemat saya, sudah selayaknya relasi hadir untuk saling membahagiakan dan bertumbuh bersama. Jika sebuah relasi terjalin malah menjadi tempat bersarangnya “kekerasan” maka alangkah baiknya kita memaknai ulang apa yang disebut relasi percintaan. []