Mubadalah.id – Setelah berpuasa Ramadan selama satu bulan, umat muslim menyambut hari raya Idulfitri, kemudian satu minggu setelahnya ada sebagian umat muslim yang merayakaan hari raya ketupat atau orang Jawa biasanya menyebut kupatan.
Kupatan yang selama ini kita kenal sebagai tradisi Islam adalah hasil dari akulturasi budaya. Kupatan sudah ada sejak zaman Hindu-Bundha pada tahun 1600an di Jawa, yang dipopulerkan oleh Sunan Kali Jaga. Oleh sebab itu, kupatan sangat erat kaitannya dengan tradisi Jawa.
Jumat lalu, Gusdurian Gresik bersama Gereja Kristen Jawi Wetan Jemaat Gresik mengadakan kupatan bersama pemuda lintas agama. Banyak sekali yang berkomentar “Tradisi dan agama adalah dua hal yang berbeda, jangan dicampur-adukkan!” Bahkan ada yang mengatakan kegiatan ini sesat atau kafir karena dilakukan di gereja. Apa benar begitu? Yuk, kita bahas!
Pribumisasi Islam
Melihat kejadian ini, saya jadi ingat dengan Pribumisasi Islam yang digagas oleh K.H Abdul Rahman Wahid (Gus Dur) ketika belajar di kelas Pribumisasi Islam bersama Kiai Zeki. Menurut Gus Dur, Islam dan budaya adalah dua hal yang berbeda, tapi keduanya saling terhubung.
Agama Islam yang bersumber dari wahyu Allah lewat Rasulullah SAW, memiliki aturan tersendiri. Namun hal ini jelas berbeda dengan budaya manusia yang sangat dinamis. Menurut Gus Dur, yang dipribumisasikan adalah manifestasi Islam, bukan ajaran yang berkaitan dengan akidah atau ibadah wajib lainnya. Seperti mengubah bacaan salat dengan bahasa Jawa atau Sunda. Hal tersebut tentu bukan tujuan pribumisasi Islam.
Kiai Zeki membahas mengenai islamisasi dan arabisasi. Apakah sebagai umat muslim kita wajib menerapkan tradisi arab? Atau sebeneranya kita bisa membawa Islam dalam budaya kita sendiri? Tentu yang menjadi kewajiban adalah menerapkan ajaran Islam yang kulliyah, namun kita bisa membawa ajaran islam dalam budaya masyarakat yang beragam. Nggak perlu kearab-araban untuk jadi muslim. Yang perlu adalah keimanan kepada Allah SWT.
Kiai Zeki memberi contoh: ketika menyapa atau memberi salam, ada berbagai cara yang bisa kita lakukan, seperti mengucap Assalamualaikum, selamat malam, hai… Beragam bukan? Tapi semua ulama berpendapat sama bahwa salam pada salat adalah bagian rukun yang tidak bisa kita ubah yang bunyinya “Assalamualaikum warahmatullah” dengan menoleh ke arah kanan dan kiri.
Islam Nusantara
Kemudian tentang aurat, banyak bersliweran tanggapan negatif mengenai perempuan yang melepas jilbab di sosial media. Bagaimana ulama memaknainya? Tentu bermacam-macam dan pendapat pada ulama tentang batasan aurat tentu berbeda-beda.
Contoh lain, ketika muslim memasuki rumah ibadah agama lain. Menurut mahzab Hanafi hukumnya makruh, menurut mahzab Maliki, Hanbali, dan sebagian ulama mahdzab Syafi’i hukumnya boleh, sedangkan menurut sebagian ulama lain dari mahzab syafi’I hukumnya tidak boleh kecuali ada izin dari mereka. Berbeda-beda kan?
Namun perihal salat, semua ulama sepakat. Perihal Rukun Islam dan iman, semua sepakat. Namun di luar itu, para ulama beragam pendapatnya.
Lahirnnya Islam memiliki tujuan menghapus ketidak-manusiawian, bukan menyingkirkan kebudayaan. Seperti masuknya Islam Nusantara, khususnya di Jawa. Oleh sebeb itu, tidak bisa kita pertentangkan antara budaya dan agama, selama tidak bertentangan dengan akidah Islam.
Dakwah Islam di Nusantara pertama kali lebih mementingkan keamanan dan kenyamanan rakyat daripada langsung menyebarkan agama. Dalam sejarah dakwah di Nusantara yang harus didahulukan adalah memenuhi kebutuhan dasar manusia daripada langsung mengajarkan Islam. (Sofwan, 2004: 32).
Islam dan tradisi sama sekali tidak memiliki maksud menyembah selain Allah SWT. Di sini letak ketauhidan yang menjadi pilar utama pribumisasi Islam.
Kupatan Simbol Solideritas Umat Beragama
Kata kupat berasal dari akronim bahasa Jawa, ngaku lepat yang artinya mengaku salah. Kemudian juga kita maknai dari kata dasar Khufadz yang memiliki arti menjaga.
Pada zaman sunan Kali Jaga, kupatan diadakan untuk memperingati Hari Raya Galungan bagi umat Hindu dan Idulfitri bagi umat Islam. Di sinilah asimilasi terjadi. Kupat merupakan hidangan khas Idulfitri bagi umat Islam, sedangkan Patan adalah hidangan khas Galungan bagi umat Hindu.
Kupat merupakan makanan berbahan dasar Ketupat dan Patan merupakan makanan berbahan dasar jagung. Perayaan Kupatan diawali dengan persiapan bersama antara masyarakat Hindu dan Islam. Masyarakat bekerja sama mempersiapkan perayaan, dari memasak hingga bersih-bersih.
Semangat gotong royong dan persatuan melebur dalam tradisi ini. Salah satu inti tradisi Kupatan adalah makan bersama untuk membagun solideritas sosial. Umat Hindu dan Muslim berkumpul di satu tempat untuk menikmati makanan lezat yang disiapkan bersama.
Tradisi Kupatan Lebih dari Sekadar Perayaan
Terlepas dari perbedaan agama, masyarakat duduk bersama di atas tikar, menikmati makanan lezat, bercerita, dan tertawa. Kupatan bukan sekedar tradisi, tapi juga wujud nyata toleransi dan persatuan antar umat beragama di Indonesia.
Melalui perayaan tradisi kupatan ini, masyarakat Hindu dan Islam menunjukkan bahwa meski berbeda agama, namun tetap satu dalam persaudaraan dan persatuan. Kupatan lebih dari sekadar perayaan, tapi juga simbol keberagaman yang menjadi kekuatan bangsa Indonesia.
Tradisi kupatan kemudian menjadi acara tahunan Gusdurian Gresik bersama Gereja Kristen Jawi Wetan Jemaat Gresik untuk merawat solideritas antar umat beragama lewat tradisi Nusantara.
Menjadi orang jawa memiliki esensi toleran, tepo sliro, dan suka menolong, ini berbanding lurus dengan ajaran islam yang menomor satukan ketauhidan. Meskipun terkadang ada perbedaan dalam memaknai tradisi dan budaya, namun hal yang pasti dapat kita yakini adalah menghidupkan Islam yang rahmatan lil alamin, menjadi kasih bagi seluruh alam. []