• Login
  • Register
Kamis, 3 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Tradisi Kupatan: Meramu Solidaritas Sosial Antar Umat Beragama

Kupatan sudah ada sejak zaman Hindu-Bundha pada tahun 1600an di Jawa, yang dipopulerkan oleh Sunan Kali Jaga

Fatwa Amalia Fatwa Amalia
27/04/2024
in Pernak-pernik, Rekomendasi
0
Tradisi Kupatan

Tradisi Kupatan

970
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Setelah berpuasa Ramadan selama satu bulan, umat muslim menyambut hari raya Idulfitri, kemudian satu minggu setelahnya ada sebagian umat muslim yang merayakaan hari raya ketupat atau orang Jawa biasanya menyebut kupatan.

Kupatan yang selama ini kita kenal sebagai tradisi Islam adalah hasil dari akulturasi budaya. Kupatan sudah ada sejak zaman Hindu-Bundha pada tahun 1600an di Jawa, yang dipopulerkan oleh Sunan Kali Jaga. Oleh sebab itu, kupatan sangat erat kaitannya dengan tradisi Jawa.

Jumat lalu, Gusdurian Gresik bersama Gereja Kristen Jawi Wetan Jemaat Gresik mengadakan kupatan bersama pemuda lintas agama. Banyak sekali yang berkomentar “Tradisi dan agama adalah dua hal yang berbeda, jangan dicampur-adukkan!” Bahkan ada yang mengatakan kegiatan ini sesat atau kafir karena dilakukan di gereja. Apa benar begitu? Yuk, kita bahas!

Pribumisasi Islam

Melihat kejadian ini, saya jadi ingat dengan Pribumisasi Islam yang digagas oleh K.H Abdul Rahman Wahid (Gus Dur) ketika belajar di kelas Pribumisasi Islam bersama Kiai Zeki. Menurut Gus Dur, Islam dan budaya adalah dua hal yang berbeda, tapi keduanya saling terhubung.

Agama Islam yang bersumber dari wahyu Allah lewat Rasulullah SAW, memiliki aturan tersendiri. Namun hal ini jelas berbeda dengan budaya manusia yang sangat dinamis. Menurut Gus Dur, yang dipribumisasikan adalah manifestasi Islam, bukan ajaran yang berkaitan dengan akidah atau ibadah wajib lainnya. Seperti mengubah bacaan salat dengan bahasa Jawa atau Sunda. Hal tersebut tentu bukan tujuan pribumisasi Islam.

Baca Juga:

Menilik Masjid Ramah Musafir: Buka 24 Jam!

Tradisi Syawalan di Pekalongan, Meningkatkan Ukhuwah dan Perekonomian Masyarakat

Hari Kemenangan dan 11 Bulan Kemudian

Refleksi Setelah Idulfitri: Mari Merawat Spirit Ramadan Sepanjang Tahun

Kiai Zeki membahas mengenai islamisasi dan arabisasi. Apakah sebagai umat muslim kita wajib menerapkan tradisi arab? Atau sebeneranya kita bisa membawa Islam dalam budaya kita sendiri? Tentu yang menjadi kewajiban adalah menerapkan ajaran Islam yang kulliyah, namun kita bisa membawa ajaran islam dalam budaya masyarakat yang beragam. Nggak perlu kearab-araban untuk jadi muslim. Yang perlu adalah keimanan kepada Allah SWT.

Kiai Zeki memberi contoh: ketika menyapa atau memberi salam, ada berbagai cara yang bisa kita lakukan, seperti mengucap Assalamualaikum, selamat malam, hai… Beragam bukan? Tapi semua ulama berpendapat sama bahwa salam pada salat adalah bagian rukun yang tidak bisa kita ubah yang bunyinya “Assalamualaikum warahmatullah” dengan menoleh ke arah kanan dan kiri.

Islam Nusantara

Kemudian tentang aurat, banyak bersliweran tanggapan negatif mengenai perempuan yang melepas jilbab di sosial media. Bagaimana ulama memaknainya? Tentu bermacam-macam dan pendapat pada ulama tentang batasan aurat tentu berbeda-beda.

Contoh lain, ketika muslim memasuki rumah ibadah agama lain.  Menurut mahzab Hanafi hukumnya makruh, menurut mahzab Maliki, Hanbali, dan sebagian ulama mahdzab Syafi’i hukumnya boleh, sedangkan menurut sebagian ulama lain dari mahzab syafi’I hukumnya tidak boleh kecuali ada izin dari mereka. Berbeda-beda kan?

Namun perihal salat, semua ulama sepakat. Perihal Rukun Islam dan iman, semua sepakat. Namun di luar itu, para ulama beragam pendapatnya.

Lahirnnya Islam memiliki tujuan menghapus ketidak-manusiawian, bukan menyingkirkan kebudayaan. Seperti masuknya Islam Nusantara, khususnya di Jawa. Oleh sebeb itu, tidak bisa kita pertentangkan antara budaya dan agama, selama tidak bertentangan dengan akidah Islam.

Dakwah Islam di Nusantara pertama kali lebih mementingkan keamanan dan kenyamanan rakyat daripada langsung menyebarkan agama. Dalam sejarah dakwah di Nusantara yang harus didahulukan adalah memenuhi kebutuhan dasar manusia daripada langsung mengajarkan Islam. (Sofwan, 2004: 32).

Islam dan tradisi sama sekali tidak memiliki maksud menyembah selain Allah SWT. Di sini letak ketauhidan yang menjadi pilar utama pribumisasi Islam.

Kupatan Simbol Solideritas Umat Beragama

Kata kupat berasal dari akronim bahasa Jawa, ngaku lepat yang artinya mengaku salah. Kemudian juga kita maknai dari kata dasar Khufadz yang memiliki arti menjaga.

Pada zaman sunan Kali Jaga, kupatan diadakan untuk memperingati Hari Raya Galungan bagi umat Hindu dan Idulfitri bagi umat Islam. Di sinilah asimilasi terjadi. Kupat merupakan hidangan khas Idulfitri bagi umat Islam, sedangkan Patan adalah hidangan khas Galungan bagi umat Hindu.

Kupat merupakan makanan berbahan dasar Ketupat dan Patan merupakan makanan berbahan dasar jagung. Perayaan Kupatan diawali dengan persiapan bersama antara masyarakat Hindu dan Islam. Masyarakat bekerja sama mempersiapkan perayaan, dari memasak  hingga bersih-bersih.

Semangat gotong royong dan persatuan melebur dalam tradisi ini. Salah satu inti tradisi Kupatan adalah  makan bersama untuk membagun solideritas sosial. Umat Hindu dan Muslim berkumpul di satu tempat untuk menikmati makanan lezat yang  disiapkan bersama.

Tradisi Kupatan Lebih dari Sekadar Perayaan

Terlepas dari perbedaan agama, masyarakat duduk bersama di atas tikar, menikmati makanan lezat, bercerita, dan tertawa. Kupatan bukan  sekedar tradisi, tapi juga  wujud nyata  toleransi dan persatuan antar umat beragama di Indonesia.

Melalui perayaan tradisi kupatan ini, masyarakat Hindu dan Islam menunjukkan bahwa meski berbeda agama, namun tetap satu dalam persaudaraan dan persatuan. Kupatan lebih dari sekadar perayaan, tapi juga simbol  keberagaman yang menjadi kekuatan bangsa Indonesia.

Tradisi kupatan kemudian menjadi acara tahunan Gusdurian Gresik bersama Gereja Kristen Jawi Wetan Jemaat Gresik untuk merawat solideritas antar umat beragama lewat tradisi Nusantara.

Menjadi orang jawa memiliki esensi toleran, tepo sliro, dan suka menolong, ini berbanding lurus dengan ajaran islam yang menomor satukan ketauhidan. Meskipun terkadang ada perbedaan dalam memaknai tradisi dan budaya, namun hal yang pasti dapat kita yakini adalah menghidupkan Islam yang rahmatan lil alamin, menjadi kasih bagi seluruh alam. []

 

Tags: GresikgusdurianHari Raya Idulfitri 1445 HIslam NusantaralebaranPribumisasi IslamTradisi Kupatan
Fatwa Amalia

Fatwa Amalia

Fatwa Amalia, pengajar juga perempuan seniman asal Gresik Jawa Timur. Karya-karyanya banyak dituangkan dalam komik dan ilustrasi digital dengan fokus isu-isu perempuan dan anak @komikperempuan. Aktif di sosial media instagram: @fatwaamalia_r. Mencintai buku dan anak-anak seperti mencintai Ibu.

Terkait Posts

Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Laki-laki dan Perempuan dalam fikih

Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?

3 Juli 2025
Perceraian untuk

Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

2 Juli 2025
Boys Don’t Cry

Boys Don’t Cry: Membongkar Kesalingan, Menyadari Laki-laki Juga Manusia

2 Juli 2025
Kebencian Berbasis Agama

Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

2 Juli 2025
Perceraian dalam

Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan

1 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Konten Kesedihan

    Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim
  • Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama
  • Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama
  • Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID