• Login
  • Register
Rabu, 2 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Untuk Sebuah Nama, yang Kini telah Tiada

Rumah yang ia rindukan sebagai ruang aman, tak lagi memberikan kenyamanan. Namun justru membuatnya semakin ketakutan. Ia enggan pulang, cinta orang tua tak lagi mampu ia kenang.

Zahra Amin Zahra Amin
07/08/2021
in Personal
0
Sebuah Nama

Sebuah Nama

249
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Gundukan tanah merah itu masih basah. Papan kayu yang tertulis namanya, masih jelas terbaca. Gadis kecil itu telah tiada. Namun tidak dengan kisah pilu, dan kesedihan yang bertahun-tahun dibekapnya dalam kesunyian yang panjang, sebagai korban kekerasan seksual yang dengan tega dilakukan oleh ayahnya sendiri. Sungguh biadab dan tak bermoral!

Untuk sebuah nama, yang kini telah tiada, aku tuliskan kisahnya. Ia hanya gadis kecil, sama seperti anak-anak lainnya yang masih suka bermain, dan ingin menghabiskan banyak waktu bersama teman-temannya. Tetapi kekerasan seksual telah merenggut masa depan gadis kecil itu dengan paksa. Rumah yang ia rindukan sebagai ruang aman, tak lagi memberikan kenyamanan. Namun justru membuatnya semakin ketakutan. Ia enggan pulang, cinta orang tua tak lagi mampu ia kenang.

Untuk sebuah nama, yang kini telah tiada, aku ingin memastikan kisahnya takkan lagi terulang. Memberikan rasa keadilan bagi korban dengan seberat-beratnya hukuman untuk pelaku, meski itu orang terdekatnya sendiri. Kedua, memberikan perlindungan dan pemulihan serta kepastian masa depan bagi para korban-korban kekerasan seksual lainnya. Karena akhir kisah yang bahagia, tak hanya tertulis dalam cerita-cerita novel atau drama korea, tetapi juga menjadi hak setiap orang yang harus diperjuangkan dengan sungguh-sungguh.

Ketika dalam kondisi tak berdaya itu, orang-orang disekitarnya-lah yang harus bertanggungjawab untuk memastikan bahwa, siapapun ia yang pernah mengalami kekerasan, berhak atas rasa damai dan kebahagiaan yang pernah direnggut paksa dari hidupnya. Dan negara, melalui RUU PKS, wajib hadir untuk memberikan kepastian hukum itu.

Hal itu bukan tanpa alasan. KH Husein Muhammad dalam buku “Islam Agama Ramah Perempuan” menyampaikan satu pertanyaan penting, yang juga menjadi kegelisahan kami, para pendamping korban kekerasan seksual selama ini. Mengapa terjadi kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak? Dan bagaimana sikap Islam terhadapnya?

Buya Husein menjelaskan bahwa ada asumsi yang selama ini berkembang di publik. Asumsi pertama mengarahkan kesalahan pada perempuan, dengan kata lain, perempuan disalahkan karena memamerkan bagian-bagian tubuhnya yang terlarang (aurat) di ruang publik. Perempuan dianggap sebagai sumber fitnah, menggoda dan memicu hasrat seksual laki-laki.

Baca Juga:

Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan

Fikih yang Kerap Merugikan Perempuan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

Tetapi fakta yang terjadi tidak demikian. Dalam banyak kasus kekerasan terhadap perempuan, terutama pemerkosaan yang terjadi bukan hanya terhadap perempuan muda dan cantik, melainkan juga terjadi pada perempuan balita, anak-anak, dan manula. Hal tersebut bisa juga terjadi terhadap istrinya (marital rape) atau terhadap darah dagingnya sendiri (incest).

Sedangkan asumsi kedua yang menyalahkan pelaku dengan basis moralitas atau agama. Pandangan ini mengatakan bahwa kekerasan seksual terjadi karena moralitas pelakunya yang rendah atau tak bermoral, atau kurang pengetahuan agamanya. Sebenarnya pandangan tersebut boleh jadi betul dari satu sisi, tetapi jika melihat sisi lain ketika dalam sejumlah kasus pelecehan, pencabulan, kekerasan seksual pelakunya merupakan orang-orang yang terhormat, atau dianggap terhormat dan bermoral tinggi, bagaimana kita bisa menjelaskan ini?

Tentu masih hangat dalam ingatan kita, ketika media ramai memberitakan seorang pengasuh pesantren di daerah Jawa Timur yang ditangkap polisi karena mencabuli santrinya. Fakta ini, menurut Buya Husein menggugurkan argumentasi terkait moralitas tersebut. Sehingga dengan demikian kekerasan seksual terhadap perempuan terjadi akibat adanya ketimpangan relasi kuasa berbasis gender yang mengakar lama dalam masyarakat. Yakni sebuah sistem patriarki, yang telah melegitimasi laki-laki sebagai pemegang otoritas dan superioritas, menguasai, kuat, pintar dan sebagainya.

Sebab dunia ini dibangun dengan cara berpikir untuk kepentingan laki-laki, hingga melahirkan keyakinan bahwa perempuan secara kodrat adalah makhluk yang lembut, lemah, posisinya di bawah laki-laki, inferior, melayani hasrat seksual laki-laki, dan sebagainya. Dengan kondisi tersebut, semakin menegaskan penempatan perempuan seakan-akan sah untuk ditaklukkan dan diperlakukan secara tidak adil, termasuk dengan cara-cara kekerasan.

Ketimpangan relasi kuasa berbasis gender ini diperparah ketika satu pihak (pelaku) memiliki kendali lebih besar terhadap korban, baik secara ekonomi, pengetahuan, status sosial, dan lain-lain. Kendali muncul dalam bentuk relasi orang tua-anak, guru-murid, majikan-buruh, dan sebagainya.

Pesan Nabi untuk Memuliakan Perempuan

Untuk sebuah nama, yang kini telah tiada, agar jiwamu tenang di alam sana, aku tuliskan kembali pesan Nabi Muhammad SAW untuk memuliakan perempuan. Pesan itu Nabi sampaikan dalam pidato Haji Perpisahan di Arafah. Nabi menyatakan:

“Ingatlah, bahwa jiwamu, hartamu, dan kehormatanmu adalah suci seperti sucinya hari ini.” (HR. Bukhari)

“Camkan benar-benar! Perlakukanlah perempuan dengan sebaik-baiknya, karena mereka dalam tradisi kalian dianggap sebagai layaknya tawanan. Kalian tidak berhak atas mereka kecuali memperlakukan mereka secara baik.” (HR Bukhari).

Terakhir, untuk sebuah nama, yang kini telah tiada. Pesan Nabi tersebut menginspirasi sebagian laki-laki yang kini juga berjuang bersama kami, melakukan pembelaan terhadap kasus yang sedang kamu hadapi. Meski tanpa orang tua yang telah tega memperlakukanmu dengan semena-mena, percaya dan yakinlah bahwa masih banyak orang yang menyayangi dan mencintaimu. Tersenyum, dan berbahagialah. Karena kamu berhak menentukan atas takdir dan masa depanmu sendiri. []

 

 

 

 

Tags: Cegah Kekerasan SeksualGenderkeadilanKesetaraanperempuanPerlindungan KorbanRUU PungkasSahkan RUU PKS
Zahra Amin

Zahra Amin

Zahra Amin Perempuan penyuka senja, penikmat kopi, pembaca buku, dan menggemari sastra, isu perempuan serta keluarga. Kini, bekerja di Media Mubadalah dan tinggal di Indramayu.

Terkait Posts

Vasektomi

Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

2 Juli 2025
Narasi Pernikahan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Second Choice

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

30 Juni 2025
Tradisi Ngamplop

Tradisi Ngamplop dalam Pernikahan: Jangan Sampai Menjadi Beban Sosial

29 Juni 2025
Humor Seksis

Tawa yang Menyakiti; Diskriminasi Gender Di Balik Humor Seksis

26 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Anak Difabel

    Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?
  • Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan
  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?
  • Fikih yang Kerap Merugikan Perempuan
  • Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID