Mubadalah.id – Ada kemiripan susunan frasa dalam istilah bahasa Sunda dengan judul tulisan ini. Dalam kebahasaan Sunda masyhur kita mendengar akronim uniko yakni usaha nipu kolot (artinya: usaha menipu orang tua). Nah, karena uniko bertendensi negatif, judul tulisan ini, “Usaha Mereset Hidup”, insyaallah sedikit positif.
Dalam kesempatan mengikuti Ngaji Filsafat episode 481 (27/08/2025) di Masjid Jendral Sudirman Colombo Yogyakarta, saya mendapat beberapa lembar pesan yang saya catat dengan saksama. Malam itu, ngaji yang terasuh oleh Dr. Fahruddin Faiz, M.Ag. bakal mendaraskan tema “Menua dengan Bahagia”. Akan tetapi, di pengantar awal, beliau menekankan bagaimana kita seharusnya kembali memaknai hidup secara harfiah.
Beliau membahasakan dengan “mereset hidup”. Laiknya alat-alat elektronik, macam ponsel, hidup kita kalau mengalami ketidakberesan mesti direset. Mengeset ulang tatanan kehidupan yang selama ini kita jalani. Barang kali (memang) ada pola dan struktur yang keliru, sehingga (bisa jadi) hal itu yang menjadikan hidup kita hampa. Begini-begini saja. Dan, jauh dari kasih sayang Tuhan.
Ada beberapa tawaran yang Dr. Fahruddin Faiz tawarkan untuk bagaimana mereset hidup ini. Di antaranya; pertama, berhenti sejenak (pause). Maksudnya berhenti sejenak untuk berdiam dari rutinitas amat melelahkan.
Dalam artian, kita—dengan sadar—memberi ruang kosong agar hati dan pikiran mampu melihat kembali apa yang penting dan tidak dalam lawatan hidup ini. Kadang kala, berhenti sejenak dalam menghadapi badai perjalanan adalah jalan menempuh keselamatan, alih-alih terus melaju menerabasnya.
Arah Diri dan Beban Kecil
Kedua, evaluasi diri. Bertanya kepada diri sendiri dalam rangka evaluasi itu amat boleh. Misalnya bertanya: “Apa yang membuat saya merasa hampa?”. Dengan bertanya diri kita lekas-lekas merenung untuk—setidaknya—berusaha menjawab.
Kalau pun mentok, kita bisa mengingat-ingat kembali apa-apa saja yang pernah terlakukan. Barang kali karena hal itu kita merasa hampa, terhambat, dan stagnan. Dr. Fahruddin Faiz menyarankan untuk menulis daftar hal-hal yang ingin kita tinggalkan dan ha-hal yang ingin kita pertahankan.
Ketiga, lepaskan beban lama. Setiap hari hidup ini terus mencetak sejarah. Detik ke menit ke jam ke hari ke pekan ke bulan ke tahun itu mencipta peristiwa yang pernah terlalu. Peristiwa tak sepenuhnya baik dan kita inginkan, ada pula yang menjadi noktah negatif sehingga menjadi beban yang mestinya kita tinggalkan. Untuk melepaskan beban-beban ini kita tak boleh takut dan mesti dengan totalitas. Misalnya melepaskan hubungan atau lingkungan toksik, kebiasaan buruk, dan masih banyak beban lainnya.
Keempat, tentukan ulang arah. Mereset berarti menata ulang. Begitu juga hidup yang—sempat—kehilangan kendali mesti kembali menentukan arah labuhan baru yang bakal dituju. Mengarah pada hal-hal yang positif tentunya, untuk apa mereset hidup kalau masih berbelok arah ke hal-hal negatif? Dengan itu, hidup tanpa arah (biasanya) sulit untuk mengubahnya.
Kelima, mulai dari kebiasaan kecil. Melakukan aktivitas kecil tapi manfaat itu memunculkan karakter pribadi. Agar menjadi sistem yang baik, perlu dibarengi dengan istikamah. Sebagaimana Imam Muslim meriwayatkan hadis: ahabbul a’maal ila allahi adwamuha wa in qolla artinya amal (kebaikan) yang paling Allah cintai adalah yang istikamah meski sedikit.
Keenam, bangun lingkungan baru. Kita mesti terus berusaha mencari lingkungan yang cocok sebagai ruang kita bertumbuh dan belajar. Kalau memang mentok tak menemukan. Kitalah yang mesti membangunnya. Mau tak mau.
Berbenah Kesadaran
Dan terakhir, ketujuh, mereset spiritual. Atau boleh juga menyebutnya tobat. Sesuatu yang jelek-jelek, menurut Dr. Fahruddin Faiz, harus direset (harus ditobati). Tentu agar kita bisa memulai hal baru dengan lebih ringan. Tujuh tawaran tersebut memang tak implisit terjelaskan beliau untuk apakah mesti mengerjakan seluruhnya (murottab) atau hanya memilih (mukhoyyar).
Perkara murattab atau mukhayyar tawaran mereset hidup ini tak perlu dipersoalkan. Bagi saya, jika memang seseorang—untuk beberapa saat—hanya mampu mengerjakan sebagian atau salah dua-tiga tawaran tersebut tak menjadi soal. Atau ingin sepenuhnya tertib melaksanakan sepenuhnya itu lebih bagus. Poin utama dalam mereset hidup adalah sesegera mungkin lelaku itu kita laksanakan. Lakukan sebisanya, lakukan sesuai versi kita masing-masing. Dr. Fahruddin Faiz hanya menawarkan, kita yang melakukan.
Maka dalam beragama, pemaknaan kita sering kali belum menyeluruh. Perjalanan hidup itu memiliki banyak fase, tetapi jika ia bersanding dengan agama maka kira-kira ada dua fase secara umum: fase ingin tahu dan fase kesadaran. Amat beruntung bagi mereka (umat beriman) yang bisa atau sampai pada fase kedua ini. Sebab tidak semua orang sanggup dan sampai pada beragama di fase kesadaran. Mereka masih bergelut dan berkutat di fase ingin tahu.
Jika sudah tercebur dalam fase kedua (kesadaran), berarti kita beragama dengan sadar. Melakukan ritme agama, perintahnya, larangannya, dengan tulus-kesadaran. Bukan lagi melulu menuntaskan kewajiban, takut mendapat azab, dan sebagainya.
Dengan perlahan mereset hidup, sejatinya kita tengah berusaha memaknai kembali makna hidup ini. Tiap orang mesti memiliki masalah. Amat beragama, dan kadang-kadang berat. Namun, hidup tidak sebuntu itu. Jangan-jangan kehampaan hidup kita tercipta dari acuh kita terhadap pemaknaan hidup yang sebenar-benarnya. []