Mubadalah.id – “Cinta” satu kata yang selalu dibicarakan oleh banyak kalangan. Satu kata yang tak pernah tuntas untuk dikupas. Satu kata yang tak pernah selesai maknanya untuk didefinisikan kecuali hanya bisa dirasakan. Ya, cinta itu soal rasa dan perasaan. Membahas cinta, yang perlu kita tahu bahwa menurut guru kami, Ny. Hj. Awanilah Amva cinta itu ada 3, yaitu: cinta retorik, cinta platonik, & cinta to khaliq.
Cinta retorik adalah ungkapan cinta seseorang berupa “gombalan” kata semata. Biasanya, ini adalah “cinta monyet” yang dialami oleh orang-orang yang baru mengenal cinta. Cinta yang masih memandang hanya sebatas fisik itulah cinta retorik.
Cinta platonik adalah cinta kemanusiaan. Cinta ini yang dilambangkan oleh orang-orang pejuang kemanusiaan. Misalkan, Gus Dur, Mahatma Gandhi, Plato, dan lain-lain. Nama terakhir yang kemudian diambil sebagai istilah untuk “cinta platonik”, cinta atas nama kemanusiaan. Cinta bagi para pejuang kemanusiaan, keadilan, dan kasih sayang.
Cinta to khaliq adalah cintanya para nabi, para wali, dan para kekasih Allah (al-khaliq, sang pencipta). Inilah tingkatan cinta tertinggi karena mereka akan merasa berdosa jika sedetik saja tidak mengingat Allah. Berbeda jauh dengan kita, yang bahkan saat sholat pun kita justru masih sempet-sempetnya mengingat hal lain. Astaghfirullah.
Lantas, pada level mana kebanyakan cinta kita itu?
Ya, betul. Mungkin masih cinta retorik. Walaupun sudah bukan “cinta monyet” lagi. Tapi tetap saja, sulit untuk sampai pada cinta platonik, apalagi cinta to kholiq. Pertanyaan selanjutnya adalah, pada tataran cinta retorik saja kita masih sulit. Jatuh cinta atau bangun cinta?
Jatuh artinya sakit. Begitupun kalau kita jatuh cinta maka berarti kita harus siap untuk sakit, kecewa, atau bahkan menerima kenyataan kalau kita jatuh cinta, sementara yang dicinta malah tetap membiarkan kita terjatuh. Cinta bertepuk sebelah tangan istilah yagh sudah popular sekarang.
Orang yang jatuh cinta akan menjadi hamba pada siapa atau apa yang dicintainya. Ia akan menuruti keinginan apa yang dicinta sampai ia tidak sadar kalau selama ini ia sudah tidak ada, yang ada hanya keinginan sang kekasih yang dicinta. Singkatnya, orang yang jatuh cinta akan siap berkorban demi apa yang dicintainya hingga tidak melihat dirinya sendiri tapi dia melihat dirinya pada kekasih yang dicinta “kau adalah aku yang lain”, istilahnya.
Demikian pula, berlaku pada ketiga level cinta di atas. Seorang yang telah jatuh dalam cinta retorik hendaknya terus belajar untuk meningkatkan levelnya menjadi cinta platonik. Ia yang sebelumnya hanya memikirkan kekasihnya semata atau rela berjuang dan berkorban demi sang kekasih maka seorang pecinta platonik akan berkorban dan berjuang untuk kemanusiaan.
Seterusnya sang pecinta itu akan berupaya menaikkan levelnya lagi hingga ke puncak cinta to khaliq. Kondisi pecinta yang merasa dirinya sudah menyatu dengan Allah “wahdatul wujud” atau karena begitu asyiknya pecinta itu mabuk bercinta dengan Allah hingga ia merasa sudah hanyut (Fana’).
Wa allahu a’lam.
Begitulah, kalau jatuh cinta. Tetapi, berbeda dengan bangun cinta.
Bangun artinya bergerak untuk bangkit. Bangun juga berarti suatu kerjasama antara korban dan penolong untuk sama-sama bangkit dan lebih baik. Bangun cinta berarti kerjasama antara dua orang agar tetap memupuk, menumbuhkan, dan merawat cinta agar tetap langgeng, kuat, dan harmonis.
Bagaimana bangun cinta itu? Tentunya yang paling awal adalah kita kenali diri kita terlebih dahulu. Kenali kemampuan dan kekurangan kita. Setelah itu, kenali pasangan kita. Karakter, sifat, kemampuan dan kekurangannya. Yang terakhir adalah saling memahami, dan menerima karakter, sifat, kemampuan, dan kekurangan pasangan masing-masing. Selebihnya adalah tentang bagimana membangun komunikasi yang harmonis sebagai bentuk merawat cinta itu. Demikian seterusnya.
Terakhir, bangun cinta itu juga bisa berlaku pada 3 level cinta di atas. Orang dengan level cinta retorik akan membangun cinta dengan saling mengenal, menjaga komunikasi, dan memberi apresiasi.
Orang dengen level cinta platonik akan membangun cinta dengan mencoba memahami orang lain, menumbuhkan rasa peduli, toleransi, dan simpati juga ia tidak akan melakukan sesuatu kepada orang lain yang ia sendiri tidak akan suka diperlakukan seperti itu. Istilahnya “ngaji rasa” dengan orang lain.
Orang dengan level cinta to khaliq akan membangun cinta dengan berperilaku “ihsan” yakni “أَن تعبد الله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك”, muraqabah (selalu merasa diawasi Allah), dan terus istiqomah dalam beribadah. Wa Allahu A’lam.
Singkatnya, jatuh cinta itu sepihak, kalau bangun cinta itu kesalingan (mubadalah).
Jadi, mau jatuh atau bangun cinta? []