Mubadalah.id – Sudah sekitar 1.389 tahun berlalu sejak Nabi Muhammad SAW wafat, Islam hadir sebagai peradaban dan kebudayaan ke seantero dunia. Dalam rentang waktu panjang ini terbentuk warisan tradisi yang begitu kaya dan kompleks.
Warisan ini mencerminkan bagaimana kedua sumber utama Islam, al-Qur’an dan Hadits, hidup dirujuk, dibaca, dipahami, dan ditafsirkan dalam menjawab realitas kehidupan manusia yang terus berkembang dan membesar, jauh melebihi jumlah huruf, kata, maupun kalimat dalam dua sumber tersebut.
Sebagai sebuah teks yang berhenti pada saat kewafatan Nabi SAW, kedua sumber tersebut terbatas (mutanahiyah). Sementara realitas-realitas baru terus terbentuk, berubah, dan bertransformasi (ghairu mutanahiyah).
Interaksi umat, terutama para ulama, dengan kedua sumber tersebut melahirkan berbagai pilihan yang kaya, pengetahuan yang dalam dan kompleks, serta metodologi yang banyak dan beragam.
Warisan Tradisi
Inilah warisan tradisi dan khazanah peradaban Islam. Kita mewarisi ilmu tafsir, kumpulan Hadits dengan berbagai versinya dan ilmu-ilmu terkait dengannya, ushul fiqh, dan fiqh. Kemudian filsafat dengan berbagai cabangnya, tasawuf, sejarah, sastra dan berbagai jenis seni yang lain, dan masih banyak lagi.
Interaksi ini, secara umum, sering disederhanakan beberapa ulama sebagai upaya ijtihad dalam menjawab realitas yang terus berubah dan berkembang tanpa batas, dengan merujuk pada sumber-sumber otoritas tekstual yang terbatas.
Dalam konteks pandangan keagamaan, melalui warisan tradisi ini, kita mengenal berbagai sumber yang berkembang dalam rahim peradaban. Selain al-Qur’an dan Hadits.
Seperti konsensus (ijma’), pandangan Sahabat (madzhab shahabi), adat kebiasaan masyarakat (‘adah wa ‘urf an-nas), hukum dan aturan yang berlaku sebelum Islam (syar’u man qablana). Dan pandangan atau keputusan yang lahir dari metode-metode tertentu yang banyak orang bahas dalam ushul fiqh.
Ada pandangan yang dilahirkan melalui akal murni (aql), metode analogi (qiyas), mendalami unsur kebaikan (istihsan), dan mendalami unsur kemanfaatan (istishlah). Serta merujuk pada hukum atau kesepakatan sebelumnya (istishhab).
Kemudian, menutup tujuan yang salah (sadd adz-dzara’i), dan banyak lagi yang kemudian berkembang menjadi kaidah-kaidah hukum (qawa’id fiqhiyyah). Serta tujuan-tujuan hukum (maqashid asy-syari’ah). []