Mubadalah.id – Kasus kekerasan seksual yang terjadi di lembaga pendidikan keagamaan berasrama bagai fenomena gunung es. Seperti halnya Pondok Pesantren, yang akhir-akhir ini banyak sekali kasus yang terungkap. Kenyataan ini bukan untuk membuka aib, atau ketakmampuan kita menjaga nama baik pesantren. Namun, meminjam kalimat Ibu Nyai Badriyah Fayumi, bahwa ini adalah jihad dalam menjaga marwah pesantren, yakni dengan mewujudkan pesantren ramah anak.
Gagasan tersebut mengemuka pekan kemarin tepatnya pada Minggu-Selasa, 14 s/d 16 Agustus 2022. Ketika saya dan beberapa sahabat dari Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) menghadiri acara dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA). Kegiatan tersebut bekerjasama dengan UNFPA yang menggelar acara bertajuk “Musyawarah Ulama Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Perspektif Pesantren.” Di Kota Bogor Jawa Barat.
Dalam kesempatan ini Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga mengatakan bahwa Lembaga Pendidikan Berbasis Asrama yang merupakan lembaga pengasuhan alternatif atau bisa dikatakan sebagai “rumah kedua” bagi anak, sudah seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk anak-anak dapat tumbuh dan berkembang serta terlindung dari segala bentuk kekerasan.
Program Pesantren Ramah Anak
Menteri PPPA mengungkapkan harapannya agar anak-anak dapat memperoleh pendidikan yang terbaik dalam lingkungan yang aman dan nyaman, apalagi berada dalam pendidikan berasrama yang berbasis agama. Namun, berbagai pemberitaan mengenai kasus kekerasan yang menimpa anak di lembaga pendidikan berasrama berbasis agama, dinilai sangat mengkhawatirkan.
“Kami beserta Kementerian/Lembaga lainnya juga telah berkolaborasi dalam menyusun Pedoman Lembaga Pendidikan Berasrama yang Ramah Anak serta memperkuat program Pesantren Ramah Anak,” ujar Menteri PPPA.
Berdasarkan data kekerasan seksual di lingkungan Pendidikan dan pengaduan ke Komnas Perempuan pada tahun 2015-2021, Pondok pesantren menempati urutan tertinggi kedua setelah Perguruan Tinggi. Kasus-kasus kekerasan yang terjadi di satuan pendidikan berasrama termasuk pesantren bisa kita cegah. Antara lain dengan memperkuat peran wali asrama/musyrif dan peran anak sebagai sebaya pelopor dan pelapor. Selain itu juga termasuk pengurus pesantren.
Kondisinya, pada banyak kasus, wali asrama/musyrif selaku pengurus belum begitu memegang peran karena berbagai faktor. Seperti SDM yang kurang, belum menjadi tugas pokok, jumlah wali asrama/musyrif yang tidak seimbang dengan jumlah siswa yang diawasi dan lain-lain. Padahal, semua Lembaga Pendidikan, termasuk pesantren, harus menjadi tempat yang ramah dan aman bagi para santrinya untuk menimba ilmu.
Semua anak ingin meraih pendidikan terbaik. Oleh karena itu harus kita dukung dan wujudkan bersama melalui implementasi sistem perlindungan anak yang terpadu dalam pengasuhan pesantren ramah anak. Hal-hal tersebut perlu menjadi perhatian bersama oleh semua pihak. Baik pengelola/pengasuh pesantren, pemerintah pusat dan daerah, masyarakat maupun orang tua/wali santri. Pengelola/pengasuh seyogyanya juga menerapkan dan menegakkan prinsip dan aturan satuan Pendidikan ramah anak yang telah ditetapkan Pemerintah Indonesia.
Anak-anak yang mengenyam pendidikan di satuan Pendidikan Pesantren adalah anak-anak yang masuk dalam sistem lembaga pengasuhan alternatif. Di mana sejatinya anak-anak berhak kita lindungi dan kita asuh secara layak sebagaimana peran orangtua pengganti di asrama.
Pengasuhan Berbasis Hak Anak
Pengasuhan berbasis hak anak tercantum di dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. Di mana dalam aturan itu mengatur tentang apa saja yang harus terpenuhi agar anak mendapatkan hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta terlindungi dari kekerasan. Pola asuh dengan mengedepankan hak anak sangat penting untuk kita pahami, dan terapkan oleh pengasuh pengganti/wali di pondok pesantren. Selain itu juga didukung oleh keluarga dan lingkungan.
Sekolah asrama khususnya pesantren seyogianya juga memiliki aturan terkait pencegahan kekerasan di pesantren. Di mana semua pihak bisa melakukannya, baik siswa, pengawas, pengurus hingga pengasuh Pesantren.
Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 B (2). Bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas Perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
Maka saya sependapat dengan Ibu Nyai Badriyah Fayumi, bahwa mewujudkan pesantren ramah anak merupakan jihad kita bersama. Karena masa depan anak-anak, adalah masa depan bangsa ini di berpuluh-puluh tahun kemudian. Di tangan merekalah nasib negeri ini akan tergenggam. []