Mubadalah.id – Sebutan ulama dalam banyak komunitas muslim selama ini hanya ditujukan kepada kaum laki-laki dan tidak untuk perempuan.
Untuk menyebut perempuan sebagai ulama harus ditambahkan “perempuan”, menjadi “ulama perempuan” atau “perempuan ulama”.
Kenyataan ini jelas memperlihatkan bahwa kaum perempuan tidak ada yang layak mereka sebut ulama. Dengan kata lain, mereka tidak memiliki kapasitas intelektual, keilmuan, moral dan keahlian yang lain.
Hal ini adalah fakta peradaban patriarkis yang telah berlangsung berabad-abad lamanya. Perempuan dalam peradaban ini sangat jarang, kalau tidak mereka katakan terlarang, untuk berada pada posisi pengambil keputusan, mengelaborasi dan mengimplementasikan hukum-hukum agama.
Penciptaan konstruksi sejarah ini sungguh-sungguh bertentangan dengan perintah-perintah agama. Pembatasan atau pengucilan terhadap mereka telah mengabaikan perintah Tuhan dan Nabi Muhammad.
Betapa banyak ayat al-Qur’an yang menyerukan kepada manusia untuk memahami berbagai ilmu pengetahuan. Beberapa di antaranya adalah QS. al-‘Alaq: 1-5, QS. al-Mujadilah: 11, QS. at-Taubah: 71, dan lain-lain.
Kita tidak tahu siapa yang mengkhususkan perintah Tuhan ini hanya kepada laki-laki? Siapa yang mengecualikan perempuan dari ketentuan ayat-ayat Tuhan ini?
Lebih dari itu, siapa sesungguhnya yang “menggelapkan” sejarah keulamaan perempuan? Padahal, terlalu banyak para ahli hadis yang mengambil riwayat dari kaum perempuan. Mereka sepakat bahwa riwayat perempuan dapat terpercaya.
Al-Dzahabi, seorang kritikus hadis terkemuka mengatakan, “Tidak pernah terdengar bahwa riwayat seorang perempuan adalah dusta.”
Kemudian, kaum muslimin di dunia mengetahui dengan pasti sabda Nabi bahwa Aisyah adalah perempuan paling cerdas dan ulama terkemuka: “Kanat ‘Aisyah a’lam al-nas wa-afqah wa-ahsan al-nas ra’yan fi al-‘ammah.”
Al-Dzahabi juga menginformasikan bahwa lebih dari 160 ulama laki-laki terkemuka berguru kepada Siti Aisyah. Mereka antara lain Urwah bin Zubair, Ibrahim al-Taimi, Thawus, Al-Sya’bi, Sa’id bin al-Musayyab, Sulaiman bin Yasar, Ikrimah, dan lain-lain.
Urwah bin Zubair adalah sarjana besar. Dia dikagumi banyak orang. Ketika dia ditanya tentang ilmunya, dia mengatakan bahwa dirinya belum apa-apa dibanding dengan gurunya, Aisyah. []