Mubadalah.id – Sejak kemarin, viral pemberitaan tentang Lesti Kejora, seorang aktris berprestasi melaporkan kekerasan dalam rumah tangga yang suaminya lakukan. Ia menjadi korban KDRT tersebut terjadi karena sang suami ketahuan berselingkuh. Artis multitalenta ini lantas pelaku banting dan cekik. Netizen pun ramai membincangkan hal ini.
Syukurnya, mayoritas mendukung tindakan cerdas dan berani yang Lesti lakukan dengan melapor kepada pihak berwajib. Meski sebagian yang masih berpikiran picik, justru menjadikan peristiwa ini sebagai bahan cacian, olok-olok hingga candaan.
Dari peristiwa ini, muncul pertanyaan: bagaimana Islam memandang tindakan KDRT? Bagaimana tuntunan hadis tentang perilaku ini? Serta bagaimana penanganan korban KDRT pada zaman Nabi saw? Berikut penulis berikan rangkuman 4 hadis yang kita harapkan bisa menjadi bekal bagi para perempuan korban KDRT.
Semoga, tulisan ini bisa menjadi bagian dari arus perlawanan terhadap kekerasan kepada perempuan. Dan tergabung menjadi bagian dari gerakan menolak diskriminasi terhadap perempuan manapun. Entah dia publik figur atau rakyat jelata sekalipun.
Memukul Pasangan, Bolehkah dalam Islam?
Dalam sunan Abi Daud, tepatnya pada hadis ke- 2146 terdapat sebuah hadis tentang hukum memukul pasangan (baca: istri). Hadis ini secara eksplisit rentan untuk dibaca dari dua sudut pandang yang berbeda. Mereka yang misoginis, dengan seenaknya mengklaim bahwa hadis ini adalah dalil legalitas memukul perempuan. Padahal, dari sudut pandang lain, hadis ini justru mengecam para pelaku KDRT. Berikut bunyi hadisnya:
“Janganlah kalian pukul para hamba Allah yang perempuan!” lalu Sahabat Umar datang dan berkata: “banyak perempuan yang membangkang pada suaminya!” lalu Rasulullah saw. memberikan keringanan untuk boleh memukul perempuan (yang membangkang). Tak lama berselang, banyak perempuan yang berkumpul di sekitar Ummahatul Mukminin untuk mengadukan perilaku suami mereka yang sembarangan memukul perempuan. Rasulullah saw. pun bersabda: “sudah banyak perempuan yang mengadu kepada para Ummahatul Mukminin tentang suami mereka (yang sembarangan memukul). Mereka itu bukanlah laki-laki baik di antara kalian!”.
Andai kita cermat membaca hadis di atas, kita dapat menarik sejumlah pemahaman. Pertama, sabda pertama dari Nabi justru melarang memukul. Bukan menyuruh memukul. Kedua, memukul boleh untuk mereka yang membangkang (rincian hal ini dalam tulisan lain: Insya Allah). Ketiga, mereka yang memukul bahkan dengan alasan benar sekalipun, bukanlah laki-laki yang baik. Jelas bukan laki-laki pilihan!
Perlindungan Penuh Terhadap Korban
Menjadi korban sebuah kekerasan, tentu tak mudah. Apalagi perempuan yang mengalaminya. Ada trauma yang harus dia hadapi. Belum lagi sjumlah stigma negatif yang mungkin diberikan lingkungan sekitar bahkan meski perempuan tersebut menjadi korban sekalipun. Apakah Islam tidak ada perlindungan khusus untuk korban? Oh, tentu saja ada. Bahkan, Islam dengan sangat ramah memosisikan diri berada di pihak perempuan korban KDRT.
Hadis nomor 1304 dalam Musnad Ahmad di bawah ini buktinya.
Diriwayatkan dari Sahabat Ali, bahwa istri Walid bin Uqbah mendatangi Nabi saw. dan mengadu bahwa Walid memukul dirinya. Lalu Rasulullah saw. bersabda: “katakanlah! Nabi Muhammad saw. sudah melindungiku”. Tak berselang lama, perempuan itu kembali lagi sembari berkata: “Walid makin menjadi-jadi (dalam memukul)!” Nabi saw. menjawab lagi: “katakan padanya: Rasulullah telah melindungiku!”. Tak lama, kejadikan tersebut terulang lagi. Lalu Rasulullah saw. mengangkat kedua tangannya dan berdoa: “Ya Allah, aku serahkan Walid kepada-Mu. Dia telah berdosa dua kali kepadaku”. Nauzubillah.
Jangan Takut untuk Speak Up!
Apakah melaporkan tindak KDRT suami adalah sebuah tindakan tidak tahu malu? Apakah ini berarti bahwa perempuan tersebut tidak pandai menjaga aib keluarga? Jawabannya adalah tidak! Bahkan pada zaman Rasulullah, 1400 th silam, sudah ada perempuan yang dengan berani melaporkan kekerasan yang dialaminya untuk mendapatkan keadilan dan kenyamanan dalam hidupnya.
Dia adalah Habibah binti Sahl. Seorang perempuan pemberani yang Tsabit bin Qais bin Syammas nikahi. Berdasarkan pengakuannya, dulunya Habibah yang merupakan tetangga Nabi saw. ini pernah hendak beliau nikahi Kisah keberanian Habibah melaporkan KDRT terdapat dalam Sunan Darimi hadis no. 2171.
Suatu ketika Tsabit memukulnya. Tepat pada waktu fajar ketika gelap masih pekat, dia berada di depan pintu Rasulullah saw. Ketika Rasulullah keluar, beliau bertanya: “Siapakah ini?” Habibah menjawab: “Aku Habibah binti Sahl”. Beliau bersabda: “Apa keperluanmu? ” Habibah berkata: “Tidak mungkin aku dan Tsabit berkumpul.” Kemudian Tsabit datang kepada Rasulullah. Lalu Rasulullah bersabda: “Ambillah dari isterimu (mahar yang telah kamu berikan) dan lepaskanlah dia”. Habibah berkata: “Wahai Rasulullah, segala yang ia berikan, ada padaku”. Kemudian Tsabit mengambil darinya, dan Habibah tinggal bersama keluarganya”.
Apakah yang Habibah lakukan adalah sebuah cela? Tidak! Justru, Habibah sedang memperjuangkan hak dirinya untuk dihormati, dihargai dan diperlakukan secara manusiawi. Terlebih dia berada pada posisi benar dan menjadi korban. Dengan demikian, mari kita hentikan stigma dan klaim negatif pada perempuan yang berani angkat suara melaporkan kekerasan yang dilakukan oleh pasangannya. Dia tidak sedang membuka aib. Dia hanya tidak rela ditindas dan diperlakukan semena-mena.
Perempuan Berhak Menggugat Cerai
Benar, bahwa ucapan cerai adalah hak suami. Namun tidak berarti perempuan tidak memiliki peluang untuk melepaskan diri dari hubungan toxic yang mengikatnya. Dalam fikih tindakan ini kita sebut dengan khuluk. Yaitu gugatan cerai seorang perempuan melalui hakim daerah setempat (saat ini: pengadilan agama) dengan membayar sejumlah harta.
Dalam sirah Nabi saw., perempuan yang terkenal dengan keberaniannya untuk menggugat cerai suaminya melalui Nabi saw. adalah istri seorang laki-laki yang bernama Tsabit bin Qais. Kisahnya tersebutkan dalam Shahih Bukhari hadis nomor 5273.
Dia berkata: “wahai Rasulullah, aku tidak mencela dia (Tsabit) dalam hal perilaku maupun agama. Namun aku tidak senang melakukan kekufuran dalam Islam (kufur yang dimaksud adalah antonim syukur). Dia tidak mau kehilangan rasa syukur dengan terus bertahan dengan Tsabit. Nabi saw. menjawab: “apakah engkau rela mengembalikan kebun (mahar) dari Tsabit?” dia menjawab: “iya!” Rasulullah lalu bersabda kepada Tsabit: “terimalah kebun itu dan ceraikanlah dia satu kali”.
Dalam Irsyadus Sari karya Al-Qasthalani, terdapat sebuah riwayat dari Imam Nasa’i bahwa sebenarnya perempuan tersebut dipatahkan tangannya oleh Tsabit. Namun dengan kesabarannya, dia menyembunyikan kejadian tersebut dan hanya ingin berpisah dari Tsabit. Kisah ini juga menunjukkan bahwa perempuan bahkan dalam kondisi menjadi korban sekalipun, tetap bisa bersabar dengan tidak mengungkap keburukan pasangannya dan hanya menuntut untuk bercerai baik-baik. Luar biasa. Allahu A’lam. []