Mubadalah.id – Tindakan kekerasan dalam suatu hubungan ternyata tidak hanya terjadi di antara pasangan yang sudah menikah saja, atau Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Namun, dewasa ini, baik perempuan maupun laki-laki, tidak sedikit yang menjadi korban tindak kekerasan oleh pacar mereka. Tindakan kekerasan dalam pacaran tidak melulu berupa kekerasan fisik, tapi bisa juga melalui sikap memaksa, mengontrol pasangan berlebihan, hingga pemerasan.
Komisi Nasional Hak Asasi Perempuan (Komnas Perempuan) dalam Catatan Tahunan (CATAHU) 2022 mengungkapkan bahwa tercatat 1.685 kasus Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) sepanjang tahun 2021. Jumlah tersebut terdiri dari aduan ke lembaga layanan sebanyak 1.222 kasus dan ke Komnas Perempuan sebanyak 463 kasus.
Komnas Perempuan juga mengungkapkan bahwa kasus KDP terjadi secara berlapis dan berulang, berbentuk kekerasan fisik, psikis, seksual dan ekonomi. Dominasi, agresi dan superioritas pelaku dilakukan dengan cara memanfaatkan cinta korban terhadap pelaku, mengumbar janji manis pernikahan ketika kekerasan termasuk kekerasan seksual terjadi dan berulang, atau janji akan bertanggung-jawab ketika korban hamil.
Masih ada Anggapan KDP Tidak Berbahaya
Kasus KDP masih terasa asing di masyarakat kita. Berbeda dengan KDRT yang hampir sering muncul di media. Terjadinya kasus KDP masih sangat minim kita artikan dan anggapannya hal itu merupakan bagian dari kekerasan. Bahkan, acapkali ada anggapan KDP sebagai bentuk ekspresi perasaan cinta dari pasangannya. Hal ini terjadi karena korban sebagian besar belum memahami bentuk kekerasan yang ia alami dalam relasi berpacaran, sehingga mereka tidak menyadari jika telah menjadi korban oleh pacar mereka.
Intan Permata Sari (2018), dalam penelitiannya yang berjudul: “Kekerasan dalam hubungan pacaran di kalangan mahasiswa: Studi refleksi pengalaman perempuan”, menjelaskan bahwa kebanyakan korban KDP baru menyadari bahwa dia telah menjadi korban pada saat hubungan tersebut mengalami masalah. Sebelum hal itu terjadi, korban tidak menyadari bahwa tindakan dari pacarnya merupakan salah satu bentuk kekerasan.
Selain itu, korban kasus KDP juga sering menganggap bahwa kekerasan yang ia alami merupakan bentuk ekspresi kasih sayang, cinta, dan berbagai perasaan orang ketika sedang jatuh cinta. Menurut Ni’mah Rahmawati (2014), dalam penelitiannya yang berjudul: “Kekerasan dalam pacaran dan gejala depresi pada remaja”, menjelaskan bahwa ketika korban sudah menyadari bahwa tindakan dari pacarnya adalah salah satu bentuk kekerasan, biasanya pelaku (pacarnya tersebut) kemudian melakukan tindakan intimidasi, ancaman, dan berbagai pembungkaman lainnya.
Apabila sudah begini, maka perlu pemahaman terkait bentuk-bentuk KDP yang bisa saja terjadi di lingkungan kita. Hal ini menjadi penting mengingat masih minimnya anggapan masyarakat, termasuk kalangan remaja, mengenai bahaya dari KDP itu sendiri. Selain itu, korban juga diharapkan agar berani melawan, bukan dalam arti melawan secara fisik saja, tetapi juga berani untuk bercerita kepada orang tua atau orang terdekat yang dianggap representatif. Jangan menutup diri apabila memang KDP itu terjadi pada diri anda.
5 Pasal yang Dapat Menjerat Pelaku KDP
KDP merupakan perbuatan melanggar hukum yang patut kita pidana, atau kita proses secara hukum yang sesuai. Lalu, kita berikan pengarahan hingga bimbingan psikis. Bentuk-bentuk KDP bisa bermacam-macam, bisa dalam bentuk verbal dengan mengata-ngatai pacar dengan kata binatang, bodoh, dan lainnya. KDP juga bisa dalam bentuk kekerasan fisik, seperti kena tamparan, tendangan, disundut rokok dan lainnya.
Perlu kita ketahui, apabila pelaku masih berusia di bawah 18 tahun, maka ia masuk dalam kategori anak, yang mana pidana penjara yang dapat kita jatuhkan kepada anak paling lama 1/2 (seperdua) dari maksimal ancaman pidana penjara bagi orang dewasa (18 tahun ke atas). Pasal yang dapat kita gunakan bagi pelaku adalah Pasal 76C jo, Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi:
“Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak” (Pasal 76C UU 35/2014).
“Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah)” (Pasal 80 ayat 1 UU 35/2014).
Sanksi Tegas bagi Pelaku KDP
Kemudian, jika usia pelaku adalah 18 tahun atau lebih, maka korban dapat melakukan tuntutan atas dasar penganiayaan. Pengaturan hal tersebut ada dalam Bab XX Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam Bab XX KUHP menjelaskan bahwa terdapat 3 macam penganiayaan. Yaitu penganiayaan biasa (Pasal 351), penganiayaan ringan (Pasal 352), dan penganiayaan berat (Pasal 354).
Pasal 351 KUHP berbunyi:
“(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah terancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. (3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana”.
- Soesilo (1995), dalam bukunya yang berjudul: “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)”, menjelaskan bahwa Undang-Undang tidak memberi pengertian terkait ‘penganiayaan’. Namun, menurut yurisprudensi, ‘penganiayaan’ dapat kita artikan sebagai perbuatan dengan sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka. Dalam alinea 4 Pasal 351, pengertian penganiayaan ialah ‘sengaja merusak kesehatan orang’. Meski masuk dalam kategori ‘penganiayaan biasa’, sanksi dalam Pasal 351 KUHP dapat menjadi lebih berat jika ‘penganiayaan biasa’ ini berakibat luka berat atau mati (dengan tidak ada maksud dari pelaku).
Memahami Pasal-pasal KUHP
Pasal 352 KUHP berbunyi:
“(1) Kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya. (2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana”.
Pasal ini menjelaskan bahwa jika perbuatan KDP tidak menimbulkan sakit atau halangan bagi korban untuk melakukan pekerjaan/aktivitas. Maka pelaku KDP dapat terpidana sebagai ‘penganiayaan ringan’.
Pasal 354 KUHP berbunyi:
“(1) Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian. yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun”.
Pasal ini merupakan Pasal yang melengkapi Pasal 351. Yaitu penganiayaan yang berakibat luka berat atau mati dengan adanya maksud dari pelaku termasuk dalam kategori ‘penganiayaan berat’.
Bagaimana Agar Ketentuan Hukum ini Bekerja?
Itulah 5 Pasal yang dapat menjerat pelaku KDP. Lantas, bagaimana supaya Pasal-Pasal tersebut bekerja? Sebenarnya, tidak ada ketentuan yang mewajibkan korban melapor jika kasus KDP yang ia alami mau terproses. Namun, supaya lebih membantu dan memudahkan proses hukum, serta berkaca dari beberapa kasus yang seolah-olah harus menunggu viral terlebih dulu baru terproses, maka sebaiknya korban segera melapor.
Melakukan pelaporan tersebut bisa melalui polisi terdekat, ataupun Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tentang pemberdayaan perempuan, ataupun Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Kemudian, supaya bisa segera terproses, maka lebih baik jika korban sudah mengantongi bukti.
Relasi pacaran semestinya tidak menjadikan seseorang kehilangan kontrol atas tubuh dan birahinya, termasuk kebebasan atas hidupnya. Relasi pacaran hanya sekedar komitmen perasaan, tidak lebih. Kasus KDP merupakan isu yang sangat penting untuk kita berantas dan cegah dengan segera, karena menyangkut masa depan seseorang.
Saya tidak bermaksud membuat argumen bahwa pacaran adalah hal yang salah. Namun, selama dalam batas kewajaran, saling support dalam karya dan produktivitas. Lalu, membawa dampak kebaikan maka pacaran tidak pantas kita salahkan. Begitu pun dalam kasus KDP, yang salah bukan aktivitas pacarannya, namun individu yang belum mampu menciptakan ruang aman dalam relasi pacaran. []