Mubadalah.id – Tahun ini Indonesia merayakan kemerdekaannya yang ke 76. Sebagai warga Indonesia, saya bahagia dan merasa bangga dengan pencapaian-pencapaian negeri ini selama 76 tahun dari kemerdekaannya. Saya bangga dengan perjuangan bangsa ini yang sempat terseok-seok untuk mempertahankan kemerdekaan.
Tetapi sayangnya di antara rasa bangga itu, ada beberapa oknum netizen yang bangganya kelewatan. Sampai negara-negara lain disuruh ikutan banggain negeri kita. Mereka menjadi over proud atas negeri kita. Bangga yang kelewatan ini terkadang terlihat norak di mata negara lain. Ada orang asing mencoba soto aja langsung kegirangan mengatakan keseluruh dunia “Hey orang negara asing ada yang suka banget sama soto”. Ada artis luar negeri yang dulu pernah tinggal di Indonesia langsung jadi headline di berbagai media sehingga laris di pasaran.
Para pembuat konten Youtube, tiktok dan media sosial paling laku di Indonesia ini membaca gelagat over proud bangsa ini. Dengan sigap memanfaatkannya untuk mendulang dukungan dan cuan secara cuma-cuma. Bermodalkan video berjudul “Reaksi orang negara maju terhadap makanan orang di negara berkembang” bisa mendapat ribuan views secara cepat. Lama kelamaan konten seperti ini menjamur, semakin banyak orang luar negeri yang alih profesi menjadi reviewer segala sesuatu yang berbau Indonesia.
Bak dimanja, netizen Indonesia semakin menyukainya. Merasa bangga bahwa ada orang asing yang mencintai budaya Indonesia. Sebagai negara yang masih berkembang dan jarang ada konflik besar yang menghebohkan jagat internasional, Indonesia memang tidak terlalu dikenal oleh bangsa asing. Banyak dari orang asing yang tahu Indonesia hanya sebatas Bali bahkan tidak tahu kalau Bali itu di Indonesia. Wajar saja kita merasa senang ketika orang asing akhirnya mengenal Indonesia. Namun jika terlalu bangga, alih-alih bisa mengenalkan ke dunia Indonesia merupakan negara kaya, kita justru terlihat norak dan menjadi lebih inferior.
Manusia dalam hidup memerlukan validasi, tidak salah kalaupun kita senang karena budaya kita divalidasi negara lain. Namun apakah ini tidak berlebihan? Analogikan kalau cewek pertama kali nge-date sama gebetan, dia akan menanyakan ke teman kosnya “Aduh gincuku ini too much ga ya? Bajuku cocok ga ya?”. Pertanyaan itu diajukan tidak lain untuk meningkatkan kepercayaan diri. Ketika standar yang telah kita buat divalidasi oleh orang lain, kepercayaan diri kita akan meningkat.
Namun jika dari bentuk poni sampai warna cat kuku kaki ditanyakan ke teman apakah cocok atau tidak, pertanyaan itu bukan lagi untuk meningkatkan kepercayaan diri. Justru menghilangkan standar yang telah ia buat sehingga semua yang ia kenakan sesuai dengan standar kawannya.
Tidak percaya diri atas standar yang telah kita buat ini merupakan salah satu bentuk inferiority complex. Sikap merasa lebih rendah sehingga merasa tidak mampu bersaing dengan negara lain. Inferiotity complex dalam kehidupan berbangsa adalah salah satu dampak mental dari penjajahan yang dilakukan pada zaman dahulu.
Pada masa kolonialisme Belanda, mereka membagi penduduk menjadi tiga golongan, golongan Eropa, Timur Asing, dan Pribumi. Penduduk asli negeri ini ditempatkan pada golongan ketiga. Tidak heran, jika para pribumi mendapatkan penindasan dan diskriminasi yang berat dari asing. Akibat dari penggolongan tersebut, Belanda dan Bangsa Asing Timur semakin menunjukkan dominasinya terhadap pribumi. Sikap dominasi ditanamkan secara perlahan dalam psikis penduduk pribumi. Sehingga menjadi salah satu karakter bangsa jajahan untuk minder, merasa lebih rendah dari penjajahnya. Karakter ini sering dikenal dengan sebutan minderwaardegheid complex.
Penduduk asli negeri ini mulai menanamkan standar barat sebagai standar idealnya. Sesuatu akan dianggap layak ketika telah sesuai dengan standar bangsa asing. Pribumi mulai kehilangan jati diri dan kebanggaan atas negaranya sendiri. Sehingga untuk merasa bangga terhadap kemampuan bangsanya sendiri, Indonesia membutuhkan pengakuan dari bangsa asing.
Setelah kemerdekaan Indonesia, pahlawan terdahulu berusaha untuk menghilangkan karakter buruk tersebut, agar kita sebagai negara jajahan merasa bangga terhadap negerinya sendiri sesuai dengan standar bangsa kita sendiri. Kita pun merasa menjadi tuan rumah atas negeri kita sendiri. Namun nyatanya sangat susah menghilangkan karakter tersebut. Bahkan setelah 76 tahun kemerdekaan bangsa ini, kita masih saja menemui rekan senegara kita yang memiliki mental bangsa terjajah.
Karakter inferior ini seolah sudah mendarah daging dari generasi ke generasi. Sikap ini membuat kita takut untuk bersaing. Melihat negara lain yang lebih baik saja sudah minder apalagi berani menghadapinya. Untuk bangkit dari dampak psikologis penjajahan ini, kita sebagai warga negara harus merasa setara dengan negara maju lain. Jangan merasa bahwa kita ini rendah dan ditindas. Di zaman sekarang tidak ada lagi penjajah yang mendiskriminasi dan menindas kita, lantas mengapa kita merasa lebih rendah dari mereka?
Bukan kita yang bangga ketika ada orang asing mengenakan batik, tetapi seharusnya merekalah yang bangga karena menggunakan salah satu warisan kebudayaan Indonesia yang indah. Bukan kita yang bangga ketika ada orang asing menikmati rendang khas Indonesia, tapi merekalah yang bangga karena bisa menikmati makanan khas nusantara yang begitu lezat.
Kita perlu sedikit menyombongkan diri, agar mampu membenahi kekurangan negeri ini. Dirgahayu NKRI yang ke 76, semoga bangsa ini bisa terlepas dari mental bangsa jajahan sehingga benar-benar merdeka dan menjadi tuan rumah atas tanah airnya sendiri.
Demikian sekilas terkait 76 Tahun Indonesia Merdeka, sudahkah move on dari karakter bangsa jajahan? Semoga bermanfaat. [Baca juga: Kolonialisme Belanda, Sirkulasi Pengetahuan Agama dan Langgengnya Patriarki di Indonesia]