• Login
  • Register
Rabu, 30 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Spiritualitas Baru dan Kesadaran Ekologi

Hadirnya spiritualitas baru mendorong agama bersikap lebih realistis dalam menghadapi modernitas.

Rizka Umami Rizka Umami
12/01/2021
in Kolom, Publik
0
Spiritualitas

Spiritualitas

285
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Modernisasi seolah-olah ditakdirkan hadir sebagai pisau, yang membawa kemajuan sekaligus krisis. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi secara tidak langsung telah membawa persoalan lain, berupa krisis kemanusiaan dan krisis ekologi.

Kehadiran sains yang bebas nilai turut mengantarkan manusia pada sebuah keadaan yang gamang, kehilangan jati diri atau krisis eksistensi, sehingga kemudian membawa pada kesenjangan, keterbelakangan dan konflik sosial. Keadaan tersebut ikut diperparah dengan ketidakmampuan manusia untuk hadir secara penuh menyelamatkan lingkungan dari dampak modernitas.

Deta–mengutip pandangan filsuf Prancis, Bruno Latour–dalam tulisannya Bruno Latour: Sains, Modernitas, Dan Ekologi menyebutkan bahwa dampak dari hadirnya modernitas adalah memisahkan manusia dengan alam. Masyarakat modern memiliki pandangan bahwa alam sama sekali terpisah dengan manusia.

Cara pandang semacam ini hadir sejak abad ke-17, di mana masyarakat yang mengklaim diri sebagai konstitusi modern mulai berpikir secara terkotak-kotak atau melakukan kategorisasi pada setiap aspek yang ada di sekelilingnya, termasuk memisahkan diri dari nature.

Ketika masyarakat modern merasa dirinya bukan bagian dari alam, maka libido untuk menguasai sumber daya alam guna kepentingan ekonomi kian gencar dilakukan. Pandangan yang relate dengan antroposentrisme ini juga menegaskan bahwa manusia ingin menjadi entitas tunggal yang mendominasi alam semesta. Alam kemudian hanya hadir menjadi objek pemuas kebutuhan manusia. keberadaan sumber daya alam sekadar untuk memenuhi hasrat dan hajat hidup manusia.

Baca Juga:

Ajaran tentang Cinta Lingkungan dalam Lintas Iman

Tubuh, Cinta, dan Kebebasan: Membaca Simone de Beauvoir Bersama Rumi dan al-Hallaj

Mazmur dan Suara Alam: Ketika Bumi Menjadi Mitra dalam Memuji Tuhan

Low Maintenance Friendship: Seni Bersahabat dengan Sehat, Bahagia, dan Setara

Jika Bruno Latour berpandangan bahwa konstruksi modernitas mesti diubah dengan ekologisasi, yang memandang alam sebagai entitas yang memiliki personality, maka hal yang sama juga terdapat dalam pandangan beberapa sarjana yang menawarkan adanya kebaruan dalam cara pandang masyarakat.

Tawaran tersebut hadir dalam bentuk spiritualitas baru, yang menekankan kembali peran agama sebagai pondasi dalam tata hidup masyarakat. Seyyed Hossein Nasr misalnya,  memberi tawaran sekaligus tantangan pada agama-agama dalam konteksnya yang religius, untuk bisa mengembalikan kesakralan alam.

Spiritualitas sendiri sebenarnya bisa dimaknai sebagai sebuah kesadaran berketuhanan, di mana manusia senantiasa merasa dekat dengan Tuhan di setiap lembar kehidupannya. Sementara spiritualitas baru menghendaki adanya implementasi dari kesadaran tersebut dalam bentuk upaya menghadapi persoalan kemanusiaan yang timbul di era modern ini, seperti kemiskinan, ketidakadilan, kebodohan, penindasan, bahkan sampai persoalan lingkungan.

Yuono dalam tulisannya, Melawan Etika Lingkungan Antroposentris Melalui Interpretasi Teologi Penciptaan Sebagai Landasan Bagi Pengelolaan-Pelestarian Lingkungan menegaskan bahwa manusia bersama dengan alam membangun solidaritas, berdiri di dalam relasi yang saling bergantung dan saling membutuhkan satu sama lain (2019: 193).

Sementara itu Elga Sarapung dalam tulisannya Spiritualitas Baru dan Persoalan Keadilan menekankan pemahaman tentang alam, sebagai ‘rumah bersama’ yang mana manusia tidak bisa lepas dari lingkaran ekosistem meski meniadakan peran entitas lain, seperti hewan dan tumbuhan.

Hadirnya spiritualitas baru mendorong agama bersikap lebih realistis dalam menghadapi modernitas. Aktualisasinya tidak dengan membentengi tindakan manusia sebagai masyarakat yang maju secara Iptek, kemudian kembali menjadi masyarakat primitif, akan tetapi dengan membangun standar kemanusiaan yang universal, membuka diri dan memenuhi hak-hak sesama manusia, serta mendorong tindakan-tindakan penyelamatan lingkungan menuju keadilan ekologis.

Dengan terpenuhinya keadilan ekologis, menjadi tanda bahwa antara sistem alam dan sosial masyarakat memang memiliki relasi yang saling terhubung satu dengan yang lain dan hybrids. Tidak ada superioritas dan dominasi manusia atas alam, sebab telah tumbuh kesadaran bahwa manusia juga bagian tak terpisahkan dari alam. Dan sebagai subjek yang memiliki agensi, alam juga menghendaki adanya etika lingkungan yang harus dipenuhi oleh manusia, agar dapat terjaga kelestariannya.

Idealnya, masyarakat yang masih terjebak dalam persoalan modernitas juga tidak memerlukan simbol-simbol agama yang sacred untuk meningkatkan spiritualitasnya. Sebab spiritualitas baru justru dihadirkan lewat semangat lokalitas dari para pemeluknya.

Hal ini bisa dicontohkan lewat kesadaran yang dibangun oleh masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dan masyarakat Samin di Kendeng. Di mana spiritualitas mereka mewujud dalam kesalingan hubungan mereka dengan lingkungannya masing-masing.

Pada intinya, masyarakat dengan berbagai latar belakang agama dan kepercayaan di era ini perlu melakukan re-interpretasi terhadap makna spiritualitas, yang tidak sekadar diartikan sebagai dorongan untuk melakukan sesuatu, akan tetapi mewujud dalam tindak laku penyelesaian problem kemanusiaan dan lingkungan. Di sini hadirnya konsep spiritualitas baru menjadi penting, untuk mendorong masyarakat memecahkan persoalan-persoalan kontemporer di hadapannya. []

Tags: Alam SemestaEkologiKeadilan EkologisKesalinganmanusiaspiritualitas
Rizka Umami

Rizka Umami

Alumni Pascasarjana, Konsentrasi Islam dan Kajian Gender.

Terkait Posts

Menjaga Bumi

Perempuan Tidak Bercerita; Jihad Sunyi Menjaga Bumi

30 Juli 2025
Percaya pada Kesetaraan

Jika Aku Percaya pada Kesetaraan, Harus Bagaimana Aku Bersikap?

30 Juli 2025
Emansipasi Perempuan

Emansipasi Perempuan Menurut Al-Ghazali: Telaah atas Kitab Ihya’ Ulum al-Din

30 Juli 2025
Lintas Iman

Ajaran tentang Cinta Lingkungan dalam Lintas Iman

30 Juli 2025
S-Line

S-Line dan Pubertas Digital: Saat Tren Media Sosial Menjadi Cermin Krisis Literasi Seksual

29 Juli 2025
Politik inklusif

Mengapa Politik Inklusif bagi Disabilitas Penting? 

29 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Menjaga Bumi

    Perempuan Tidak Bercerita; Jihad Sunyi Menjaga Bumi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jika Aku Percaya pada Kesetaraan, Harus Bagaimana Aku Bersikap?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memahami Hukum Menikah secara Kontekstual

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menikah Tak Selalu Sunnah: Bisa Jadi Wajib, Makruh, atau Bahkan Haram

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ajaran tentang Cinta Lingkungan dalam Lintas Iman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Memahami Hukum Menikah secara Kontekstual
  • Perempuan Tidak Bercerita; Jihad Sunyi Menjaga Bumi
  • Menikah Tak Selalu Sunnah: Bisa Jadi Wajib, Makruh, atau Bahkan Haram
  • Jika Aku Percaya pada Kesetaraan, Harus Bagaimana Aku Bersikap?
  • Pernikahan sebagai Kontrak Kesepakatan

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID