• Login
  • Register
Senin, 19 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Narasi Domestikasi sebagai Barometer Kesalehan Perempuan

Al-Quran secara tegas menolak pandangan domestikasi perempuan. Laki-laki dan perempuan memiliki hak sama dalam perannya.

Lutfiana Dwi Mayasari Lutfiana Dwi Mayasari
29/03/2021
in Keluarga
0
Buruh

Buruh

300
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Diskursus mengenai wanita karir VS ibu rumah tangga bukanlah hal yang baru. Stereotipe ibu rumah tangga sebagai wanita pengangguran, dan wanita karir sebagai perempuan yang menomorduakan keluarga melekat di masyarakat kita. Pun perdebatan mengenai mana yang lebih baik antar keduanya juga tak terlihat ujungnya. Narasi domestikasi mulai mengemuka dan menjadi pembahasan tanpa ujung.

Seiring dengan meningkatnya religious sentimen di Indonesia, peran perempuan di ranah publik-domestik inipun terdikotomi oleh pemahaman agama yang konservatif. Hal ini berdampak pada munculnya paham domestifikasi perempuan. Paham tersebut menempatkan perempuan sebagai makhluk yang hanya berperan dalam urusan kerumahtanggaan saja.

Lebih jauh, narasi domestikasi yang dibalut dengan kajian fikih literalis ini dijadikan barometer kesalehan perempuan. Perempuan yang baik dicitrakan sebagai perempuan yang tidak keluar rumah, patuh, diam, dan merawat keluarga. Ketika perempuan sudah menjalanakan kewajibannya sebagai konco wingking yang handal, maka disitulah perempuan berada dalam keshalehan tertingginya.

Selain pemahaman agama yang konservatif, barometer kesalehan perempuan ini diperkuat pula oleh argumen pembenaran distingsi struktur biologis laki-laki dan perempuan. Dalam sebuah rumah tangga terdapat sebuah hierarki, laki-laki memiliki kekuasaan mutlak dalam rumah tangga, Maka patuhnya perempuan terhadap laki-laki juga dianggap sebagai salah satu indikator kesalehannya.

Perempuan yang dianggap sebagai jenis kelamin kelas dua (the second sex) selalu berada di bawah bayang-bayang laki-laki, dan wajib tunduk dan patuh terhadap kebijakan laki-laki. Semakin tunduk dan patuh, semakin sholehlah perempuan tersebut. Menjadi ibu rumah tangga adalah ranah aktualisasi seorang perempuan dengan kekuatan dedikasi dan rasa tanggung jawab maksimal serta keikhlasan pengabdian sempurna.

Baca Juga:

Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

Narasi domestikasi perempuan juga banyak kita jumpai pada beberapa iklan bisnis di sosial media Instagram. Iklan tersebut banyak membangun narasi tentang perempuan harus kembali ke kodratnya. Banyak kampanye yang menyampaikan lebih baik berjualan online dari rumah, sambil mengurus rumah dan anak. Perempuan harus menjadi full time mother, dan menghabiskan waktunya selama 24 jam untuk mengurus rumah tangga.

Perempuan wajib melayani kepala rumah tangga dengan baik. Ia juga memiliki tangung jawab untuk menciptakan kenyamanan seluruh anggota keluarga di rumah bagaimanapun kondisinya, karena disitulah surganya perempuan. Semakin ia berdiam diri di rumah, semakin terbuka pintu surga baginya. Banyak pula yang akhirnya memilih resign dari pekerjaannya demi menjadi perempuan yang “dianggap” salehah tersebut.

Hal ini tentunya berdampak besar bagi kiprah perempuan di bidang publik. Para perempuan yang memutuskan beraktivitas di luar rumah dinilai menyalahi kodratnya. Mereka dianggap menghancurkan nilai-nilai agama dan merusak tatanan masyarakat yang Islami. Seorang perempuan dianggap tidak salehah hanya karena ia mandiri dan tidak tergantung kepada laki-laki.

Keberhasilan kiprah perempuan di bidang publik ini dianggap bertentangan dengan kodrat ketimuran yang terganti oleh budaya barat. Kodrat perempuan ketimuran adalah harus mampu menjalankan 3 M (masak, macak, manak). Ketika perempuan sibuk dengan aktifitas di luar rumah, maka kewajiban 3 M tersebut akan terbengkalai.

Fenomena keberhasilan perempuan di ruang publik ini diletakkan dan dianggap sebagai wujud demoralisasi kalangan perempuan yang menyebabkan kemerosotan spiritualitas dan religiusitas tatanan masyarakat, bahkan sampai pada tuduhan meninggalkan ajaran agama. Kemandirian perempuan dianggap sebagai ajaran barat yang bertentangan dengan nilai-nilai ajaran agama Islam.

Menurut Sulaiman Ibrahim (2013), interpretasi dalil agama atau doktrin teologis merupakan penyebab utama (primacausa) kemunculan narasi domestikasi. Ayat-ayat yang berkaitan dengan perempuan di dalam rumah diinterpretasi sedemikian rupa. Padahal dalil agama yang bersumber dari Allah SWT tidak mungkin menuntun manusia pada ketidakadilan dan ketimpangan sosial hanya karena perbedaan jenis kelamin. Bagaimanapun interpretasi adalah proses kerja akal manusia yang kebenarannya bersifat relatif.

Maka mengukur kesalehan perempuan hanya dengan melihat si A ibu rumah tangga atau si B bekerja di luar rumah tentunya bukan sesuatu yang layak untuk dilakukan. Kesalehan adalah salah satu perantara untuk menjadikan seseorang dekat dengan Tuhannya tanpa mengenal perbedaan jenis kelamin. Baik laki-laki maupun perempuan harus senantiasaa berbuat kebaikan baik ketika ia di dalam maupun di luar rumah.

Peran perempuan yang seringkali disebut “kodrat” juga harus dikaji secara seksama. Seringkali kita temui pencampuradukan antara budaya dan syariat. Hal-hal yang termasuk dalam kodrat perempuan secara syariat adalah mengandung, melahirkan, menyusui, menstruasi, dan nifas. Ketika perempuan sedang tidak mengalami hal-hal kodrati di atas, maka ia memiliki hak yang sama di ranah publik dan domestik.

Sedangkan mewajibkan perempuan harus berdiam diri di rumah, mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga adalah budaya. Pada dasarnya urusan domestik seperti mencuci piring, mengasuh anak, menyiapkan seluruh kebutuhan rumah, tidak mengenal batas jenis kelamin. Maka mensyariatkan budaya yang seringkali dianggap kodrat perempuan tersebut merupakan pandangan yang tidak qurani.

Al-Quran secara tegas menolak pandangan bahwa hanya perempuan yang mempunyai kewajiban untuk itu. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama untuk menentukan pilihannya dan memainkan perannya masing-masing selama masih berada dalam koridor yang ditetapkan Allah demi mencapai kualitas moral al-Qur’an.

Jika diamnya perempuan di rumah dijadikan barometer kesalehannya, lantas bagaimana dengan Aisyah istri tercinta baginda Rasulullah? Bukankah beliau salah satu pemimpin pasukan perang jamal dan ikut dalam deretan pasukan berkuda saat perang? Bagaimana pula dengan Qilat Ummi bani Anmar, dan Sayyidah Khadijah yang bekerja sebagai pengusaha? Pantaskah kemudian kita meragukan kesalehahan Sayyidah Aisyah dan Khadijah hanya karena beliau mengambil peran di ranah publik dan menjadi perempuan mandiri dan tangguh? []

 

Tags: Ibu Bekerjaibu rumah tanggakeluargaKesalinganPeran Perempuanperempuanperkawinan
Lutfiana Dwi Mayasari

Lutfiana Dwi Mayasari

Dosen IAIN Ponorogo. Berminat di Kajian Hukum, Gender dan Perdamaian

Terkait Posts

Kekerasan Seksual Sedarah

Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

19 Mei 2025
Keberhasilan Anak

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

17 Mei 2025
Pendidikan Seks

Pendidikan Seks bagi Remaja adalah Niscaya, Bagaimana Mubadalah Bicara?

14 Mei 2025
Mengirim Anak ke Barak Militer

Mengirim Anak ke Barak Militer, Efektifkah?

10 Mei 2025
Menjaga Kehamilan

Menguatkan Peran Suami dalam Menjaga Kesehatan Kehamilan Istri

8 Mei 2025
Ibu Hamil

Perhatian Islam kepada Ibu Hamil dan Menyusui

2 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version