Mubadalah.id – Bagi saya, dan mungkin sebagian dari kita, Pilkada DKI Jakarta adalah mimpi buruk yang terus menghantui sampai kini. Bahkan banyak pengamat politik dan demokrasi menobatkan Pilkada Jakarta sebagai pesta demokrasi yang paling sarat praktik politik identitas, baik agama dan ethnik.
Politik identitas secara sederhana bisa dimaknai sebagai strategi politik yang memfokuskan pada pembedaan sebagai kategori utamanya (Agnes Heller). Menurutnya politik identitas dapat memunculkan toleransi dan kebebasan, namun di lain pihak,politik identitas juga akan memunculkan pola-pola intoleransi, kekerasan, dan pertentangan etnis.
Karena intensnya penggunaan narasi kebencian dan eksklusivisme, seperti “kafir”, “Cina”, “hijrah”, “jihad” dan sebagainya, membuat perpecahan di akar rumput, sulit untuk direkonsiliasi, utuh seperti semula. Tampaknya, penggunaan politik identitas dalam Pilpres 2019 disinyalir akan menjadi replika dari Pilkada DKI 2017.
Belum tampak kedua capres dan pendukungnya mengarahkan dialektika di dunia maya, kepada program-program, malah lebih mempertontonkan “kenyinyiran” yang terus memainkan narasi kebencian satu dengan yang lain.
Sangat dikhawatirkan kalau semakin mendekati Pilpres 2019, semakin tajam dan intensif kedua kubu menggunakan narasi-narasi yang memperteguh politik identitas. Akankah penggunaan politik identitas segera berakhir dengan munculnya “sindiran” untuk mengadu kedua Capres dengan kemampuan baca Quran atau menjadi imam sholat? Siapa sebenarnya yang diuntungkan dalam penggunaan politik identitas?
Diskusi pagi ini, 30 Desember 2018, di Kedai Kendal, Menteng, saya berharap menjadi babak kebangkitan suara-suara masyarakat sipil untuk lebih aktif lagi melakukan kritik dan menawarkan arah politik baru Indonesia, agar kedua kubu yang sedang berkontestasi sesegera mungkin mengakhiri babak “benci membenci” dan memulai sebuah fase baru yang penuh dengan harapan.
Diskusi dihadiri oleh empat nara sumber yaitu Dr. Ali Munhanif (Dosen UIN Syarifhidayatullah Ciputat), Ruby Kholifah (Asian Muslim Action Network/ AMAN), Bonar Tigor Naipospos (Setara Institute), dan Arif Susanto (Exposit Strategic). Diskusi ini diselenggarakan oleh Lingkar Madani Indonesia, dibawah komando Ray Rangkuti.
Politik identitas; menguat atau memudar?
Melihat dari jejak-jejak politik identitas di Indonesia, dan perkembangan perolehan suara kedua pasangan Capres-Cawapres yang cenderung stagnan, dimana Jokowi-Makruf konsisten di angka 53-58%, dan Prabowo-Sandi juga tetap di angka 42-46%, maka bisa dipastikan penggunaan politik identitas akan semakin menguat menjelang 17 April 2019. Ke-empat nara sumber secara tidak langsung menunjukkan persetujuan tentang eskalasi politik identitas ini. Berikut beberapa alasan yang diringkas dari diskusi 2 jam.
Pertama, Politik Identitas adalah cara yang paling murah dan mudah untuk melakukan mobilisasi memenangkan pertarungan politik di Pilpres 2019 nanti. Dr. Ali Munhanif dari UIN Syarifhidayatullah menegaskan bahwa strategi politisasi agama dan ethnik telah sukses mengkriminalisasi Ahok dan sekaligus memobilisasi suara basis yang ketakutan karena ancanam “neraka” atau “tidak disholatkan”. Meski murah ongkos politiknya, tapi mahal dalam pemulihannya, yang kemungkinan sampai sekarang “luka” akibat Pilkada Jakarta 2017, belum sembuh apalagi pulih.
Kedua, Politik Identitas bisa saja tidak terlalu berefek pada suara, meski akan tetap dipakai karena ingin membuat replika sukses setelah Jakarta (Ari Susanto). Stagnansi angka perolehan suara melalui media survey, menunjukkan militansi pemilih kedua pasangan, dan kemungkinan tidak begitu mudah digoyahkan. Tapi tampaknya jurus ofenisf tim Jokowi kepada lawan-lawannya membuat permainan politik identitas berlanjut dengan menggeser locus pertarungan saja. Jika dulu kita bermain pada locus “lebih islam mana Prabowo dan Jokowi’?. Kini locusnya bergeser ke “siapa dari keduanya yang lebih bagus baca Quran dan mengimami sholat?”.
Ketiga, Politik Identitas dengan berbagai dinamikanya telah menciptakan momentum kebangkitan bagi Islam formalis maupun Islam tradisional (Bonar Tigor). Kita semua tahu pada tahun 2012, FPI sudah mulai meredup dan limbung, tetapi momen Pilkada DKI Jakarta, membuatnya bangkit kembali setelah angin segar dihembuskan oleh Gerindra. Bahkan FPI mulai menyusupkan kepentingan untuk mendaulat Habib Rizieq menjadi imam besar. “Imam Besar”? Bagi kelompok Islam tradisional seperti NU, tentu isu ini membangkitkan identitas mereka sebagai ormas bagian dari pendiri bangsa ini.
Keempat, Politik Identitas masih terus terpakai selama daya kritis masyarakat rendah dan semburan kebohongan berhasil menciptakan keraguan (Ruby Kholifah). Menurut the World’s Most Literate Nations (WMLN), lembaga yang merilis daftar panjang negara-negara dengan peringkat literasi di dunia, menempatkan Indonesia di peringkat kedua dari bawah. Penelitian yang dilakukan ole Jhon W. Miller, Presiden Central Connecticut State University, New Britain di 61 negara, menempatkan Finlandia sebagai negara paling literat. Indikasi rendahnya tingkat literasi kita tampaknya ada hubungannya dengan suburnya informasi-informasi dan berita-berita fitnah atau hoax, yang terus disyiarkan oleh berbagai media, sehingga membuat keraguan pada banyak orang. Ini memang tujuan dari Firehose of Falsehood (FOF), adalah menciptakan keraguan. Keraguan akan memperbesar penerimaan.
Dalam konteks politik identitas, Ruby juga menyinggung narasi gender yang dijadikan komoditas kelompok-kelompok islam radikal, kuat dipakai untuk mengukuhkan identitas keislaman. Narasi-narasi gender seperti “istri sholeha”, “wanita sholeha”, “hijrah”, “cadar” , “poligami” juga secara genjar dilancarkan oleh kelompok-kelompok Islam formalis, yang menemukan afiliasi politiknya dengan salah satu pasangan. Narasi-narasi gender tersebut juga ikut mengukuhkan discourse rebutan “islami” yang sejak masuk fase kampanye sudah dihembuskan oleh paslon tertentu.
Siapa untung, siapa buntung?
Sejatinya, keuntungan “kecil” permainan politik identitas ini ada pada segelintir orang yang menikmati kekuasaan. Tapi, secara jangka panjang semua pihak akan mendapatkan kerugian yang sangat besar. Baik pihak yang menang maupun pihak yang kalah dalam Pemilu.
Pihak yang menang mungkin akan menikmati kekuasaan dan bagi-bagi kursi. Pihak yang kalah sudah pasti akan terpinggir. Tapi sebenarnya kerugian besar mengancam masyarakat dan bangsa, diantaranya adalah:
Pertama, pragmatisme politik akan semakin mengaburkan posisi agama dan negara dalam konteks demokrasi di Indonesia. Mungkin baik dari pihak Prabowo-Sandi atau Jokowi-Makruf tidak akan menerima proposal “mengganti negara Pancasila”. Ray Rangkuti sangat yakin meskipun kini kelompok-kelompok seperti FPI, HTI dan kelompok islam garis keras lain yang berasosiasi pada kubu Prabowo, seolah optimis dengan pengukuhan negara Islam, tapi sulit bagi mereka melawan arus deras yang tetap menghendaki Indonesia tetap menjadi negara Pancasila. Terbukti saat ini, negosiasi politik untuk “pemutihan Habib Riziq dan Adopsi Syariah Islam” tidak dikabulkan oleh kubu Prabowo maupun, apalagi kubu Jokowi.
Ketidakjelasan pemimpin negeri ini dalam bersikap tegas pemisahan negara dan agama, dikhawatirkan akan melanggenggkan posisi “kabur” hubungan negara dan agama. Agama akan dilibatkan dipakai untuk kepentingan politik jika dimungkinkan. Begitu pula negara akan dipakai untuk misi agama jika mendapatkan kesempatan.
Kedua, mengamini politik identitas memberikan ruang pada gerakan islam tekstual, dimana tradisi tafsir terbuka menjadi tidak populer. Sebaliknya tafsir tektual dianggap lebih instan bisa memperkuat identitas kelompok. Khususnya bagi para “pencari Tuhan” yang ingin secara instan belajar Islam tapi tidak mau melalui guru yang benar. Jika berlangsung, maka saya khawatir tafsir terbuka akan tenggelam. Dampaknya bagi perempuan khususnya akan sangat terasa dalam hal pengukuhan budaya patriarki.
Ketiga, tindakan-tindakan intoleransi akan semakin mengeras dan persekusi di wilayah publik akan semakin luas. Ditunjang dengan budaya kritis yang rendah, dan penegakan hukum yang lebih, bisa dibayangkan kasus-kasus intoleransi akan semakin banyak.
Keempat, perpecahan di masyarakat yang tidak pernah disiapkan solusinya pasca Pilpres akan menjadi residu yang tidak pernah terurai. Masyarakat akan tetap memiliki memory terhadap kekerasan yang dipicu oleh pengerasan politik identitas. Ruang publik yang sehat dan bebas semakin kecil karena ketakutan menyebar akut di masyarakat.
Kelima, jika terjadi deadlock politik karena margin yang kecil, maka kemungkinan menyulut pada konflik sosial akan lebih besar. Keputusan apapun yang dianggap fair selalu akan memungkinkan untuk salah satu kubu berbuat diluar konstitusi. Semoga ini tidak terjadi.
Dari politik kebencian ke politik harapan
Mungkinkah usulan dari Aceh untuk tes baca Al-Quran dan adu kelihaian menjadi Imam Sholat, sebenarnya puncak berakhirnya politik identitas? Semua nara sumber bersepakat untuk menghentikan poltik identitas dengan tidak membalasnya dengan hal yang sama.
Menggeser dari politik kebencian menjadi politik harapan. Ini yang diyakini oleh Arief Susanto akan secara dramatis menghentikan berbagai macam bentuk politik identitas. Politik harapan yang dimaksud adalah mulai mengarahkan pada adu gagasan untuk kemajuan Indonesia. Dr. Ali Munhanif menyarankan bagi Petahana untuk bisa mempromosikan lebih banyak lagi keberhasilan-keberhasilan kerja selama 4 tahun terakhir, dan membanjiri berita media dengan optimisme.
Mengembalikan ruang publik yang sehat baik online maupun offline, dirasa oleh Ruby Kholifah sebagai jalan keluar untuk menghentikan politik identitas. Ini adalah mulai menanamkan critical thinking, dan menyadari kemampuan cara bekerja ketiga bagian otak kita (otak primitif, otak emosional dan otak human), agar bekerja cepat untuk hal-hal yang sifatnya membangun optimisme dan positif.
Lebih besar lagi, kepentingan sebagai bangsa yang beradap adalah mulai mencari moment of truth di mana perjalanan Indonesia setelah reformasi 1998, yang hampir mengalami Pemilu yang kelima, Arief mengingatkan bahwa inilah momentum untuk menemukan arah demokrasi kita yang lebih mantap dan dewasa. Apalagi menjelang 2024 nanti, dimana banyak aktor elit politik sudah mundur dari perpolitikan dan digantikan oleh aktor-aktor baru, maka perlu sebuah arahakan yang jelas bagaiaman mempersiapkan budaya politik baru yang lebih modern dan beradap.[]