“Jika istrimu ingin seperti Sayyida Khadijah, maka Muhammadkanlah dirimu”. Sebuah ungkapan dari moderator sebelum memulai kajian siang ini.
Mubadalah.id – Siang ini tepat tanggal 21 April 2021. Hari dimana semangat dan jejak langkah perjuangan RA. Kartini di peringati. Tak lupa, hari ini juga ada kajian “Kitab Manba’us Sa’adah” tentang Nikah Sebagai Akad Kerjasama dan Kesalingan.
Pernikahan adalah janji suci yang mengikat antara dua insan untuk mengarungi bahtera kehidupan. Pernikahan sebagai akad kesalingan dan kerjasama merupakan hal yang perlu diingat dan diyakini bersama agar keduanya tunduk dan patuh pada prinsip pergaulan mulia (husn al-mu’asyarah) yang telah ditunjukkan oleh al-Qur’an dan diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Bu Nyai Awanillah Amva mengatakan ketika kita ingin membangun rumah tangga kita harus tahu tujuannya, yakni taqwa kepada Allah SWT, sebagai media untuk ibadah, mengikuti sunah Rasul, menghasilkan keturunan. Sebelum mencapai hal di atas, tentunya kita harus melalui hal yang dinamakan akad nikah. Dalam pernikahan, akad nikah itu wajib karena merupakan salah satu rukun nikah. Akad nikah itu berbeda dengan akad transaksi yang lain seperti jual beli barang, gadai, dan akad yang lain.
Mengenai hal ini, para fuqoha berbeda pendapat tentang masalah akad nikah, apakah termasuk ibahah ataupun tamlik. Ada yang mengatakan sebagai kepemilikan barang, ada yang mengatakan kepemilikan manfaat dan kepemilikan intifaq. Dan yang masyhur menurut ulama-ulama syafi’i yaitu ibahah bukan tamlik.
Ibahah yaitu pemberian yang paling lemah, dalam kepemilikan. Dalam ibahah tidak mengandung hak milik dan hanya sebatas pemberian saja. Sehingga tidak boleh menjual, menyewakan dan bahkan tidak boleh mewariskannya. Misal kita bertamu, kemudian si tuan rumah mengeluarkan hidangannya semua untuk kita, tuan rumah memberikan izin atas makanan yang ada dan tamu hanya memiliki izin menikmati untuk dirinya saja.
Dalam kitab I’anatut Thalibin, Sayyid Bakri mengatakan. Nikah adalah akad kebolehan untuk melakukan hubungan seksual, bukan tamlik, dan juga bukan kepemilikan manfaat. Mengenai tamlik, dalam hal ini di bagi menjadi tamlik ‘ain, tamlik manfaat, dan tamlik intifaq.
Tamlikul ‘ain yakni pemilik boleh menjual mewariskan, meminjakan kepada orang lain. Tamlikul manfaat yakni pemilik mempunyai hak untuk memakai atau mengambil manfaat dengan segala akibatnya seperti memakai atau meminjamkan ke orang lain. Tamlikul intifaq yakni pemilik mempunyai suatu benda hanya untuk diri sendiri tidak boleh menjual meminjamkan kepada orang lain.
Adanya mahar yang diberikan suami ke istri itu bukan sebagai mahar untuk menukar dengan farji perempuan. Mahar itu pemberian dari suami secara suka rela bukan untuk menukar dengan farji.
Diceritakan dalam sebuah hadits, “Dari Sahl bin Sa’id As-Sai’di, ia berkata: Sesungguhnya aku berada pada suatu kaum di sisi Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam tiba-tiba berdirilah seorang wanita seraya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya dia telah menghibahkan dirinya untukmu, perhatikanlah dia, bagaimana menurutmu.”
Beliau pun diam dan tidak menjawab sesuatupun. Kemudian berdirilah wanita itu dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya dia telah menghibahkan dirinya untukmu, perhatikanlah dia, bagaimana menurutmu.” Beliau pun diam dan tidak menjawab sesuatu pun.
Kemudian ia pun berdiri untuk yang ketiga kalinya dan berkata, “Sesungguhnya ia telah menghibahkan dirinya untukmu, perhatikan dia, bagaimana menurutmu.” Kemudian berdirilah seorang laki-laki dan berkata, “Ya Rasulullah, nikahkanlah saya dengannya.” Beliau pun menjawab, “Apakah kamu memiliki sesuatu?” Ia berkata, “Tidak.”
Kemudian beliau pun berkata, “Pergilah dan carilah (mahar) walaupun cincin dari besi.” Kemudian ia pun mencarinya dan datang kembali kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam sambil berkata, “Saya tidak mendapatkan sesuatupun walaupun cincin dari besi.”
Maka Rasulullah bersabda,”Apakah ada bersamamu (hafalan) dari Al-Qur’an?” Ia berkata, “Ada, saya hafal surat ini dan itu.” Kemudian Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Pergilah, telah aku nikahkan engkau dengan dia dengan mahar berupa Al-Qur’an yang ada padamu. (HR. Al Bukhori)
Ada sebuah riwayat dari Imam Abu Dawud. Beliau mengatakan Sebaik-baiknya pernikahan ialah yang paling mudah. Di riwayat lain dikatakan, pernikahan yang paling besar keberkahannya ialah yang paling mudah maharnya. Oleh karenanya, pernikahan haruslah dipersiapkan dengan matang, dengan penuh perhitungan dan tentunya harus diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Alloh dan mengikuti Sunah Rasul, serta diniatkan untuk mendapatkan keturunan yang kelak bermanfaat bagi diri kita khususnya. []