Mubadalah.id – Sering kita temui keluh kesah seorang perempuan yang merasa tidak puas atau tidak bisa mencapai klimaks ketika melakukan hubungan seksual dengan pasangannya. Hal ini tentunya terjadi karena beberapa faktor. Berikutnya penulis akan menyebut onani dan atau masturbasi dengan istilah istimna’.
Istimna’ berasal dari kata isim yaitu (air mani) yang kemudian dialihkan menjadi fi’il yang secara bahasa berarti (mengeluarkan air mani). Dalam kamus Al-Fiqh Lughatan wa Istilah, istimna’ secara istilah adalah mengeluarkan air mani dengan cara selain dari jima’.
Suatu hal yang pasti diinginkan oleh kedua belah pihak, baik perempuan maupun laki-laki saat melakukan hubungan seksual yakni mencapai pada titik rasa kepuasan atau yang sering dikenal dengan istilah klimaks atau orgasme. Mitosnya, laki-laki adalah makhluk yang lebih mudah mendapati rasa klimaks daripada perempuan. Penyebabnya adalah bisa jadi karena faktor psikologis atau bahkan karena kondisi medis sehingga tidak mampu mengontrol ejakulasinya.
Karena laki-laki lebih dulu mendapati klimaks daripada perempuan saat berhubungan seksual, problem yang sering terjadi adalah tak jarang perempuan yang saat berhubungan seksual merasa tidak terpenuhi hasrat seksualnya secara utuh karena pihak laki-laki lebih dulu merasakan kepuasan yang kemudian memutuskan untuk menghentikan aktivitas seksualnya tersebut. Walhasil, banyak perempuan yang akhirnya memilih untuk melakukan istimna’ demi agar terpenuhi kepuasan hasrat seksualnya tersebut.
Begitupun istimna’ juga dapat terjadi pada laki-laki dan perempuan yang belum memiliki pasangan. Hasrat seksual yang menggebu namun tidak bisa disalurkan dengan asal, menjadi alasan seseorang melakukan istimna’. Mencari kepuasan dengan menggunakan tangan sendiri atau bahkan memakai bantuan alat.
Lalu bagaimana Islam menyoal hal tersebut?
Terdapat beberapa pendapat para ulama’ dalam menyoal hukum istimna’. Ulama’ Syafi’iyah menghukumi haram melakukan istimna’, karena istimna’ sama halnya seperti mengosongkan hingga memutuskan keturunan –karena membuang sperma yang sebenarnya jika sperma tersebut berhasil menembus sel telur maka dapat terjadi pembuahan dan berproses menjadi janin. Proses kehidupan manusia baru.– Istimna’ dimaknai membuang “bibit manusia”.
Sementara Ulama Hanafiyah berpendapat istimna’ hukumnya haram apabila ia bertujuan untuk memancing syahwatnya. Maka adapun apabila syahwatnya bergejolak sedangkan ia tidak memiliki pasangan maka ia boleh melakukan istimna’ dengan tujuan untuk menenangkannya. Di sisi lain ulama Hanafiyah mewajibkan istimna’ bagi orang yang memuncak nafsu seksnya, ia melakukan istimna’ tersebut demi menyelamatkan dirinya dari perbuatan zina yang jauh lebih bahayanya daripada istimna’ itu sendiri.
Namun hal tersebut di atas akan berbeda konteksnya ketika pelaku istimna’ adalah sepasang suami-istri. Hal tersebut akan menjadi halal apabila dilakukan oleh pasangan suami istri. Tidak hanya istri saja yang harus memenuhi hasrat seks suami. Keduanya haruslah saling memenuhi. Maka, suamipun berkewajiban pula untuk memenuhi hasrat seksual istri. Apabila dirasa istri belum mencapai kepuasannya, maka suami dapat membantu istri melakukan istimna’ dengan menggunakan bantuan tangannya.
Islam berupaya menunjukkan sisi adil dan beretika dalam hal ini. Bagi yang belum menikah, walhasil Islam menganjurkan agar ia melakukan puasa dengan tujuan puasa tidak hanya dimaknai sebagai menahan makan dan minum dari terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari. Akan tetapi puasa dimaknai pula sebagai menahan nafsu yang dapat merugikan diri sendiri bahkan merugikan orang lain.
Rasulullah SAW bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda, barangiapa yang sudah sanggup menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu menikah, maka berpuasalah karena puasa itu obat pengekang nafsunya.”
Menikah ataupun tidak itu adalah pilihan setiap orang. Bisa jadi orang memang memilih untuk tidak menikah. Akan tetapi, dalam hal ini Islam bermaksud memperkenalkan etika. Menjaga kemaluan diartikan sebagai menjaga kesehatan organ reproduksi sekaligus menjalankan etika. Karena akibat melampiaskan hasrat seksual secara asal akan menyebabkan rusaknya kemaslahatan mata rantai keturunan, kesehatan alat vital serta dapat mendatangkan permusuhan dan kebencian yang besar di kalangan manusia. []