Mubadalah.id – Beberapa hari ini saya melihat di media sosial mulai dari halaman Facebook sampai grup WhatsApp ramai membincangkan petisi penolakan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS). Benarkah RUU penghapusan kekerasan seksual tidak islami?
Di sisi lain, para aktivis perempuan terus mendesak pemerintah untuk segera mengesahkannya. KH Marzuki Wahid dalam poster yang beredar mengutarakan setidaknya ada lima alasan mengapa RUU P-KS harus segera disahkan.
Pertama, dar’u al-mafaasid yaitu menolak kemafsadatan atau kerusakan. Saat ini kekerasan seksual masih terus terjadi baik terhadap perempuan dan juga laki-laki.
Bahkan menurut Komnas Perempuan, jumlah kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan dan anak, setiap tahunnya terus meningkat. Salah satu penyebabnya ialah tidak ada hukum yang secara khusus menangani kasus tersebut. Dengan pertimbangan kemaslahatan, RUU P-KS memang perlu segera disahkan.
Sebab hal ini sangat sejalan dengan semangat Islam, bahwa setiap kerusakan harus ditiadakan. Seorang muslim tidak diperintahkan untuk menzalimi orang lain dan juga dirinya sendiri. Seperti yang terdapat dalam sebuah hadits, Rasululah SAW bersabda, “sesama muslim ialah saudara, tidak boleh saling menzalimi, mencibir, atau bahkan merendahkan. Ketakwaan sesungguhnya di sini.” Sambil menunjuk dada dan diucapkannya tiga kali.
Kemudian Rasul melanjutkan, “seseorang cukup jahat ketika ia sudah menghina sesama saudara muslim. Setiap muslim adalah haram dinodai jiwa, harta, dan kehormatannya. (Sahih Muslim).
KH Faqihuddin Abdul Qodir dalam buku 60 Hadist Hak-hak Perempuan dalam Islam mengatakan bahwa hadits mengajarkan prinsip kemanusiaan melalui ajaran persaudaraan. Yaitu manusia dengan manusia lain ialah bersaudara sehingga tidak boleh saling menyakiti, merendahkan apalagi sampai merusak. Karena itu termasuk sebuah kejahatan.
Kedua, jalbu al-mashaalih, menarik kemaslahatan. Hampir setiap korban kekerasan sampai saat ini tidak terlindungi dan tidak mendapatkan penanganan secara baik. Dengan adanya payung hukum yang komprehensif, diharapkan para penyintas kekerasan mendapatkan perlindungan dan pendampingan yang optimal. Sehingga setiap korban bisa mendapatkan keadilan.
Bukankah Islam hadir untuk kebaikan bagi semua manusia baik perempuan maupun laki-laki. Untuk itu tindakan kejahatan, pelecehan, kekerasan dan juga perendahan terhadap siapa pun sama sekali tidak direstui oleh Allah. Karena hak dasar setiap manusia ialah untuk hidup, untuk dihormati dan berhak menjaga hartanya dari rampasan orang lain.
Ketiga, nahyu al-munkar, menolak kemunkaran. Kekerasan seksual apapun bentuknya, kepada siapapun itu termasuk kemunkaran yang wajib kita cegah bersama, dan pelakunya mesti diberi sanksi yang berat.
Dalam hal ini KH Husein Muhammad juga mengatakan bahwa kekerasan dan perkosaan terhadap perempuan dan makhluk Allah yang lain, merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, sehingga pelakunya harus dihukum secara adil.
KH Husein atau biasa disapa Buya Husein, dalam membahas kejahatan di atas melihatnya dari perspektif fiqh. Seperti yang terdapat dalam buku Fiqh Perempuan. Bahwa syari’at Islam mengenal tiga jenis kejahatan yaitu, qishash, hudud, dan ta’zir.
Qishash ialah pembalasan setimpal terhadap kejahatan pembunuhan, pelukaan, atau penganiayaan dengan sengaja. Hudud adalah kejahatan-kejahatan yang sejenis pelanggaran dan hukumannya ditentukan langsung oleh wahyu Allah. Seperti kejatahan perzinahan, menuduh zina, mencuri, hirabah dan pemberontakan. Sementara ta’zir ialah hukuman terhadap suatu kejahatan tertentu yang bentuk dan jenisnya diserahkan pada hasil pertimbangan hakim.
Melihat ketiga kategori kejahatan tersebut, kasus perkosaan masuk pada hirabah, merusak kehormatan seseorang, yang jelas-jelas Islam telah melarangnya. Maka, setiap manusia yang melakukan kerusakan di muka bumi ini harus dihukum.
Keempat, hifdzu al-‘irdl yaitu pelindungan martabat. Allah telah menciptakan perempuan dan laki-laki lengkap dengan hak dan kewajibannya masing-masing. Dan yang paling mulia di sisinya ialah orang yang paling bertakwa, bukan dilihat dari jenis kelaminnya.
Pendapat terakhir mengapa RUU P-KS wajib disahkan adalah hifdz an-nasl yaitu perlindungan keturunan. Keturunan dan kesehatan reproduksi harus dilindungi dari sesuatu yang dapat merusaknya, salah satunya yaitu tindakan perkosaan.
Beberapa dari mereka yang menolak RUU P-KS ini ialah adanya anggapan bahwa dalam UU tersebut berpotensi menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang dihalalkan agama. Seperti ketika seseorang melakukan hubungan badan di luar pernikahan dengan sukarela maka tidak termasuk kejahatan, sedangkan seseorang yang merasa dipaksa berhubungan badan dalam ikatan pernikahan itu termasuk kejahatan.
Saya pikir cara pandang tersebut keliru, mengingat dalam UU tersebut bertujuan untuk melindungi korban kekerasan, supaya pelakunya dapat diproses sesuai hukum yang ada.
Dengan begitu dapat diambil kesimpulan bahwa RUU P-KS tersebut jelas sangat Islami. Semangatnya memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dan meperjuangkan mertabat setiap manusia. dengan tidak saling merendahkan, menodai dan juga merusak kehormatan orang lain.[]