Mubadalah.Id– Artikel ini akan membahas tentang Qira’ah Mubadalah di mata seorang feminis. Vina Adriany, M.Ed., Ph.D adalah dosen Ilmu Pendidikan di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) di Bandung. Perempuan yang akrab disapa Mba Vina sejak tahun 2013 sudah meraih gelar Ph.D. dari Lancaster University di Kota Lancaster, Inggris. Studinya dimulai dari Jurusan Psikologi di International Islamic University Malaysia dari tahun 1995-2000. Lalu melanjutkan studi S2-nya di universitas yang sama dengan jurusan Educational Psychology dan selesai tahun 2000-2002.
Selain sebagai dosen, Mba Vina juga dikenal sebagai seorang aktivis, feminis, peneliti, penulis dan akademisi. Di tahun 2013 Bu Vina telah menerbitkan jurnal di London/United Kingdom dengan judul Gender Power-Relations within Child-Centred Discourse: An Ethnographic Approach in an Indonesia Kindergarten. Dan di tahun 2017 kemarin baru menerbitkan juga jurnalnya yang berudul Gender Flexible Pedagogy in Early Childhood Education.
Selain itu, beliau juga aktif menjadi pembicara dalam forum-forum diskusi, halaqoh-halaqoh tentang isu-isu feminis, gender, dan anak.
Dalam Majelis Mubaadalah #9 yang diselenggarakan di Menara Kadin Jabar Lt.6 Jl. Sukabumi No.42 Bandung, Kamis, 21 Februari 2019, Mba Vina bersedia diwawancara Mubadalahnews.com Inilah hasil wawancara dengan beliau terkait Qira’ah Mubadalah di matanya.
Apa padangan Anda tekait buku Qira’ah Mubadalah?
Ada beberapa poin yang saya catat sebagai kelebihan utama dari buku ini. Ada beberapa masukan juga, tapi kebanyakan sih sisi posisitifnya. Dan ada beberapa hal juga yang saya pikir menjadi kekuatan dari buku ini.
Namun sebelumnya, saya adalah seorang perempuan, muslim dan saya juga seorang feminis. Kenapa saya katakan sebagai seorang feminis karena seorang feminis itu bergerak dengan isu-isu perempuan salah satunya.
Untuk bisa mengatakan saya seorang muslim dan saya seorang feminis bukan sebuah proses yang mudah karena sering kali ada tradisi yang seolah-olah Islam dan feminisme sebagai sesuatu yang bertolak belakang.
Saya pernah menulis artikel yang mencoba menceritakan pengalaman saya belajar feminisme sebagai seorang perempuan muslim di Inggirs. Jadi perasaan terjebak di antara dua dunia yang masing-masing memiliki dunia yang tidak bisa disatukan sepertinya itu.
Saya garis bawahi ketika saya belajar awal feminisme seorang teman mengatakan memang kamu sudah siap menjadi seorang feminis? Nanti kamu harus buka jilbab, apakah kamu siap? Jawaban dari teman saya ini menujukan seolah-olah hanya ada satu definisi feminis dan hanya ada satu definisi menjadi seorang muslimah.
Kemudian hal yang sama juga ketika saya berdiskusi dengan beberapa teman mereka harus mengulang pertanyaan apakah kamu yakin menjadi seorang feminis? Jawaban ini menjadikan interpretasi ada dunia sepertinya tidak bisa bertemu.
Artinya di kalangan muslim barangkali ada asumsi yang dianggap saya terlalu liberal tapi barangkali beberapa komunitas pun saya terlalu dianggap konservatif. Sehingga ini menimbulkan pertanyaan besar bagi saya seorang perempuan apakah memang Islam dan feminis tidak bisa bersatu?
Ditambah lagi dengan apa yang dikatakan kalau kita melihat penafsiran mainstream-mainstream. Penafsiran yang dominan di masyarakat sepertinya ada satu masa saya harus mengakui Islam adalah agama yang tidak ramah terhadap perempuan.
Sehingga terus terang ketika saya membaca buku-buku Qira’ah Mubadalah karya Pak Faqih ini menjadi sebuah oase untuk saya. Karena di buku-buku saya melihat bagaimana sebetulnya oposisi binear yang sepertinya sulit bertemu antara Islam dengan feminis itu sebetulnya bisa dijembatani.
Jadi kalau boleh saya katakan kekuatan pertama dari buku ini adalah dia mendekontruksi oposisi biner antara Islam dengan feminisme. Jadi buat saya ini menjadi sesuatu yang barangkali sangat saya nanti-nantikan bahwa ternyata mungkin kok seseorang menjadi seorang feminis dan pada saat yang sama iya tetap menjadi seorang muslimah.
Karena sementara selama ini wacana dominan mengatakan seolah-olah dua kubu itu tidak bisa bertemu. Yang menjadi menarik buat saya adalah bagaimana pada buku ini dekontruksi biner antara Islam dan feminisme ini dilakukan melaui pendekatan tauhid. Jadi di awal buku Pak Faqih menuliskan, mengingatkan pesan utama ajaran Islam kita hanya Allah yang bisa menjadi Tuhan kita. Sehingga nafsu patriarkhi hanya keinginan yang menghegemoni karena jenis kelamin. Jadi tidak ada tempatnya di dalam agama Islam.
Selain itu, apa lagi yang menarik dalam buku ini?
Buku ini mengingatkan pesan holistik dari ajaran agama Islam. Saya yakin pada agama-agama tradisi yang lain berlaku proses yang sama. Proses pembacaan ulang terhadap kitab suci masing-masing sebagai upaya melakukan ruang ramah agama dan feminis.
Jadi di dalam buku ini berkali-kali diingatkan bahwa pesan utama Islam itu sebetulnya pesan keadilan. Jadi ketika ada teks-teks yang sepertinya tidak berbicara tentang keadilan maka harus merivisi cara baca kita terhadap teks tersebut.
Jadi buku ini menurut saya menjadi jawaban, mungkin bukan untuk saya juga. Kegelisahan yang sama juga dirasakan teman-teman. Ini salah satu sisi positif dari buku ini bagaimana dia memberikan ruang untuk feminisme dan Islam untuk bertemu.
Sehingga perkenalan buku-buku serupa membuat saya lebih confidence untuk berbicara ya saya feminis. Kalau sepuluh tahun yang lalu saya masih apologetik. Berbicara tentang hak perempuan kemudian diakhiri dengan statemen tapi saya bukan feminis loh. Seolah-olah menjadi feminis adalah sebuah dosa. Kalau sekarang saya bisa confidence mengatakan hal tersebut. Dan buku ini menambah ke- confidence itu. Bahwa ada ruang feminisme dan Islam bertemu.
Sebagai sebuah perspektif, Mubadalah sendiri menurut Anda seperti apa?
Kalau saya melihat Mubadalah bisa saya terjemahkan sebagai pendekatan yang kebetulan dalam buku ini berbicara tentang relasi antara laki-laki dan perempuan. Tapi mungkin harapan saya cara baca serupa sebetulnya bisa digunakan ketika kita memahami teks agama secara umum.
Di sini saya melihat ada dua pendekatan yang dilakukan oleh Pak Faqih yang pertama adalah saya melihat bahwa pendekatan yang digunakan oleh Qira’ah Mubaaladah yang pertama sedikit banyaknya dalam pandangan saya bisa disebut dengan pendekatan hermeneutik. Kenapa saya mengatakan sebagai pendekatan hermeneutik, kalau pendeketan hermeneutik itukan berbicara bagaimana kita memahami teks.
Nah selama ini ketika berbica dengan al-Qur an sebagai sebuah teks dan biasanya ketika kita membaca sebuah teks kita mengasumsikan bahwa teks ini benda mati tidak ada conversation tidak ada dialog. Jadi sering terjadi adalah kita speaking from the text, berbicara atas nama teks.
Ini yang dilakukan oleh ulama-ulama laki-laki selama ini, mereka merasa dengan relasi kuasa yang dimilikinya mereka berhak bicara atas nama teks. Walaupun setelah ditelusuri lebih lanjut tidak berasal dari teks. Tapi informasi yang selama ini diperkenalkan sejak kita kecil bagaimana tentang salah satu kriteria istri salehah itu tidak pernah meninggalkan rumah bahkan ketika orang tuanya meninggal ia rela tidak meninggalkan rumah demi baktinya terhadap suami ini yang terus menerus disebarluaskan.
Nah di pendekatan hermeunetik biasanya kita melakukan teks itu sebagai partner diskusi. Makanya Gadamer kalau saya tidak salah mengeluarkan istilah kita itu tidak speaking for the text dan kita tidak bicara from the text kita tidak bicara untuk teks kita juga tidak bicara atas nama teks tapi kita bicara dengan teks (speaking with the text) jadi ada conversation. Kita bertanya teks merespon.
Kita bisa menginterpretasikan teks dalam konteks yang ada sekarang dan ini barangkali yang membuat ayat-ayat al-Qur an menjadi lebih kontekstual dan mungkin lebih sesuai dengan pesan-pesan kemanusiaan.
Nah di sini kita harus dan terbuka apakah memungkinkan melakukan teks seperti itu, kita terlibat dialog dalam sebuah teks, kita bertanya, teks merespon sebagai akibatnya ada proses interpretasi ulang terhadap teks tersebut.
Ini ada beberapa contoh di halaman 171-174 di situ Pak Faqih menjelaskan tentang begaimana berbagai macam metode untuk membaca teks. Saya pikir ini sangat sesuai atau hampir mirip dengan pendekatan hermeneutik yang tadi saya katakan.
Selain pendekatan hermeneutik, kekuatan apa lagi yang bisa Anda lihat dari Mubadalah?
Saya melihat yang menjadi kekuatan pendekatan Qira’ah Mubadalah ini adalah pendekatan geneologi. Jadi selama ini nila-nilai kebenaran dominan yang kita ketahui senantiasa berpihak kepada laki-laki. Misalnya tadi ada istilah istri durhaka, tidak pernah ada istilah suami durhaka. Ada istri salehah, tapi tidak pernah ada istilah suami saleh.
Suami boleh menikah lagi karena dorongan biologis dan karena dorongan apapun juga seorang suami juga boleh menikah lagi tapi istri menolak dengan alasan psikilogis misalnya saya sakit hati itu tidak boleh.
Jadi selama ini kita sosialisasikan dalam pendekatan geneologi yang digunakan Mubadalah ini saya melihat ada proses yang menggeser nilai kebenaran tadi. Artinya tetap ada sebuah nilai kebenaran absolut yang itu barangkali tidak pernah kita ketahui tapi selama ini kan kita bermain di wilayah interpretasi kebenaran jadi mungkin kalau bahasanya Foucault ada proses menggeser kebenaran.
Jadi tadi kebenaran yang cenderung kepada laki-laki menjadi kebenaran yang berpihak pada kedua belah pihak. Karena pada akhirnya spirit Mubadalah saya tangkap adalah spirit untuk mencapai keadilan bagi kedua belah pihak.
Kebetulan sekarang perempuan lebih banyak posisinya termajinalkan, perempuan lebih banyak pada posisi subordinat, juga menjadi penting untuk memberikan nilai-nilai kebenaran lain yang itu memberikan suara kepada perempuan.
Di dalam pendekatan genealogi juga ada proses reclaming history. Jadi selama inikan kita lihat dari nama saja histori itu udah sangat bias. Jadi selalu sejarah itu persepsikan dari sudut pandang laki-laki.
Di dalam buku Qira’ah mubadalah yang menarik adalah herstory itu muncul, di halaman 221 itu muncul, di halaman 73 ada proses interpretasi dari masalah kesaksian perempuan jadi ternyata ini sesuatu untuk orang yang barangkali tidak banyak ter-ekspose dengan tradisi Islam. Betul sekali tadi dikatakan Pak Faqih kadang kita tahu bahwa ayat itu ada. Tapi kenapa kita tidak mengetahuinya? Karena memang tidak pernah diceritakan. Nah kenapa ayat itu tidak pernah diceritakan? Karena ada relasi power yang mengahalangi yang kemudian disampaikan kepada masyarakat.
Menjadi menarik ketika saya membaca sebetulnya ada ruang bahwa kesaksian perempuan itu tidak selalu harus 2 berbanding 1. Ada situasi-situasi dimana ternyata kesaksian perempuan bisa digunakan. Artinya ini wacana-wacana yang nyaris tidak pernah kita dengar. Sehingga asumsi bahwa perempuan tidak rasional, tidak kapabilitas menjadi seorang pemimpin, menjadi saksi itu beberapa implikasi yang muncul.
Termasuk juga di sini menekankan tentang keutamaan memiliki anak perempuan di halaman 229 misalnya secara gamblang dituliskan beberapa hadis dituliskan menunjukan keutamaan dari anak perempuan.
Jadi menurut Anda perspektif Mubadalah itu bagaimana ?
Seperti tadi yang saya katakan perspektif Mubadalah ini menunjukan bagaimana ilmu itu tidak pernah objektif. Jadi ilmu itu selalu dipengaruhi oleh siapa yang kemudian membaca ilmu tersebut itu yang pertama. Dan yang kedua siapa yang punya akses terhadap ilmu tersebut.
Kebetulan di dalam tradisi ilmu-ilmu keislaman itu lebih banyak didominasi oleh laki-laki bahkan mungkin lebih sangat banyak. Mungkin Indonesia “beruntung” perempuan masih mempunyai akses ke masjid. Tapi kalau melihat beberapa negara di India, Pakistan bahkan untuk masuk masjid pun perempuan tidak bisa. Yang artinya akses terhadap masjid dihalangi ini akses terhadap ilmu pengetahuan.
Jadi karena ini mayoritas dari mereka yang belajar agama Islam laki-laki kemudian yang menjadi penceramah itu laki-laki maka kemudian perspektif yang dikeluarkan adalah perspektif yang mau tidak mau membela kepentingan mereka sebagai laki-laki.
Sehingga ini menjadi yang saya katakan cara pandang Mubadalah ini adalah cara pandang yang bukan hanya menggeser nilai kebenaran tetapi menggeser siapa yang berbicara. Di sini yang lebih dominan adalah bagaimana memberikan suara terhadap perempuan. sebetulnya ada banyak ulama-ulama perempuan yang sudah mencoba melakukan pendekatan ini yang sama. Meskipun tidak menyebutnya dengan Mubadalah seperti Amina Wadud, kemudian Fatimah Mernisi.
Sayangnya ini yang kadang-kadang sering terjadi ketika perempuan mencoba menafsirkan agama dari sudut pandangnya seringkali dicurigai. Bukan hanya kepada perempuan dalam bidang kajian ilmu Islam saja. Secara umum feminis juga sering dicurigai sebagai kelompok perempuan yang anti laki-laki, yang tidak suka laki-laki, kelompok perempuan yang menolak pernikahan. Sehingga seperti Amina Wadud kemudian Fatimah Mernisi berbicara ini memang banyak sekali resistensinya.
Di sini saya melihat kekuatan lain dari buku ini. Karena buku ini ditulis oleh seorang laki-laki jadi dalam struktur masyarakat kita yang masih sangat patriakhis. Di mana mau tidak mau laki-laki lebih banyak kemudahan akses dibanding perempuan maka kita masih memerlukan suara dari kelompok yang dominan.
Solusi apa yang bisa dilakukan?
Jadi seperti kalau kita mau menghapus rasisme di Amerika maka menurut saya kulit putih harus terlibat. Begitupun di Indonesia, sebagai salah satu solusinya kita mau memberikan penghargaan terhadap hak-hak minoritas orang Islam harus banyak berbicara.
Pada saat yang sama juga kita berbicara tentang hubungan yang lebih adil yang lebih setara antara laki-laki dan perempuan maka akan lebih baik laki-laki juga berbicara. Karena tadi dia bisa meruntuhkan anggapan bahwa gerakan perempuan ini adalah gerakan kelompok perempuan yang tidak suka laki-laki.
Sehingga laki-laki bisa berbicara bahwa bagaimana patriarkhi itu tidak hanya merugikan perempuan saja. Tetapi juga dia merugikan laki-laki. Adanya ekspektasi yang tidak masuk akal seperti laki-laki harus lebih sukses dari perempuan. Bahkan yang tidak masuk akal itu laki-laki harus lebih tinggi dari perempuan. hal-hal yang sebetulnya membebani laki-laki.
Kalau menggunakan perspektif Mubadalah itu sebetulnya yang bisa dinegosiasikan. Jadi ada tuntutan laki-laki tidak boleh emosi, saya tidak boleh menunjukan emosi. Ini boleh saya katakan mungkin sisi lain yang bisa dilengkapi dari buku ini.
Pesan apa yang Ibu sampaikan terkait buku ini?
Karena sebagai seorang perempuan saya tertarik untuk membaca kenapa seorang penulis tertarik untuk menulis buku ini. Sebagai masukan untuk Pak Faqih.
Kenapa Pak Faqih memilih jalan yang sulit mendekontruksi itu semua. Mungkin kalau itu diceritakan itu bisa memberikan inspirasi terutama barangkali untuk mereka yang mendalam hal yang sama dengan Pak Faqih. Jadi laki-laki lebih berani, oh ternyata keluar dari zona nyaman bukan sesuatu yang memalukan kalau ternyata berbicara tentang keadilan bagi laki-laki dan perempuan itu sesuatu yang penting.
Kadang-kadang kalau di kelompok feminis kita sangat percaya bahwa personal is political jadi latar belakang personal itu selalu politisi dan pilihan politisi kita juga personal jadi biasanya saya tertarik ingin melihat subjektivitas si penulis, kenapa si penulis sampai menuliskan hal tersebut. Ketika pada saat yang sama sebetulnya dengan menulis hal tersebut mungkin mengorbankan privilege-nya.
Tetapi yang lain seperti yang saya katakan ini justru menjadi kekuatan dari buku ini, buku ini ditulis oleh orang yang dalam beberapa hal memiliki privilege. Kelebihan yang bukan sesuatu yang kita pilih tapi ada struktur masyarakat, sosial yang mau tidak mau menempatkan laki-laki lebih dominan dianggap lebih unggul dan beberapa hal memliki akses yang lebih dibanding perempuan.
Di buku ini saya mengapresiasi bagaimana Pak Faqih mencoba menunjukkan rekam jejak yang dilakukan oleh ulama-ulama perempuan. Mungkin spirit buku ini adalah bersama-sama laki-laki dan perempuan bersama-sama untuk membangun dunia yang lebih adil.
Yang kemudian menjadi kekuatan buku ini dan buku-buku lain yang di tulis Pak Faqih bisa dikatakan 80% referensi digunakan di buku ini adalah referensi klasik. Jadi hampir semua referensi yang digunakan di buku ini mengacu kepada refenresi-referensi dari ulama-ulama terdahulu.
Dengan menggunakan referensi klasik buku ini menunjukan bahwa semangat keadilan semangat membuat dunia yang lebih setara lebih adil antara laki dan perempuan itu bukan semata-mata semangat Barat. Karena ternyata semangat itu udah nyata di dalam Islam. Karena relasi kuasa yang ada yang bermain kita tidak pernah mendengar relasi alternatif tadi.
Jadi kalau bahasa kerennya saya bisa menyebut bahwa buku ini sebuah proses dekolonialisasi. Kalau feminis dianggap kolonial produk Barat, Pak Faqih menunjukan tidak. Ternyata berbicara keadilan kesetaraan itu udah ada sejak dulu di Islam hanya karena tidak pernah ditampilkan dan disuarakan. Dia hanya menjadi narasi yang asing buat kita.
Sebetulnya kita mengangkat narasi yang lama, maka prosesnya disebut dekolonialisasi jadi kita bukan mengikuti Barat, tetapi kita menggali tradisi kita untuk menunjukan ternyata nilai-nilai kesetaran, keadilan itu adalah sesuatu yang pada hakikatnya sudah inhern pada nilai-nilai Islam.
Sebagai sebuah kesimpulan apa yang ingin Ibu sampaikan?
Sebagai seorang perempuan, feminis, dan muslim saya sangat mengapresiasi buku ini.
Membaca buku ini memberikan keyakinan kepada saya bahwa kesetaraan sesuatu yang sudah ada di dalam Islam. Buku ini menuliskan peran publik perempuan dan saya sangat mengaprisiasinya. []