Mubadalah.id – Membahas mengenai mental illnes, memang belum umum di Indonesia. Padahal WHO sudah menyatakan bahwa seseorang dinyatakan sehat jika fisik, mental, dan jiwanya sehat. 1 dari 4 orang di dunia juga mengalami gangguan mental dengan kadar yang variatif. Salah satu mental illnes yang paling rentan menyerang perempuan adalah baby blues sindrome.
Namun sayangnya kesehatan dalam perspektif masyarakat Indonesia masih terbatas dengan kesehatan fisik belaka. Sehingga depresi, stress, dan berbagai cidera mental lainnya dianggap sebagai kasus yang berkaitan dengan kurangnya keimanan seseorang.
Tingginya potensi perempuan terserang baby blues syndrome beriringan dengan tingginya angka ibu melahirkan di Indonesia. Diperkirakan jumlah ibu yang melahirkan setiap tahunnya adalah 3 juta orang. Baby Blues syndrome adalah depresi ringan yang terjadi pada ibu-ibu dalam masa beberapa jam setelah melahirkan, sampai beberapa hari setelah melahirkan, dan kemudian dia akan hilang dengan sendirinya jika diberikan pelayanan psikologis yang baik.
Menurut Dr. Jiemi Ardian yang sekaligus psikiater, beberapa faktor yang menyebabkan seseorang mengalami mental illness antara lain:
Konflik antara harapan dan kenyataan. Menjadi seorang ibu, apalagi ibu baru tentunya sesuatu yang sangat spesial bagi mayoritas perempuan. Kehidupan keluarga kecil bahagia yang diisi dengan gelak tawa bayi banyak disuguhkan oleh artis-artis di media sosial. Membayangkan kehadiran bayi yang lucu dengan segala pernak pernik yang disuguhkan sosial media.
Namun pada kenyataannya, justru keletihan tiada tara yang didapat. Luka melahirkan belum sembuh, bayi tantrum, nangis sepanjang malam, jam tidur ibu terganggu, makan tidak nyaman, ke kamar mandi serba buru-buru, sekali bisa memejamkan mata saat anak tertidur tiba-tiba tumpukan baju dan piring kotor berseliweran.
Diremehkan. Alih-alih mendapat support untuk menjadi new mother yang baik, tak jarang justru nyinyiran yang didapatkan. Tanpa mau tau alasan dan apa yang dirasakan seorang perempuan yang sudah menjadi ibu, masyarakat langsung mengeluarkan penghakiman.
Diremehkan perannya sebagai ibu hanya karena tidak mampu memberikan asi eksklusif dengan sindiran takut dada kendor, badan ibu yang semakin melar, muka yang tidak karu-karuan. Diremehkan karena melahirkan dengan dibelah seperti amoeba, dan mendapat stigma manja karena lahiran caesar. Dan joke-joke yang sebenarnya sama sekali nggak lucu. Nanti kalau nggak dandan suamimu selingkuh loh!.
Merasa gagal. Kumpulan dari adanya ketimpangan antara harapan dan kenyataan serta diremehkan ini kemudian membuat ibu merasa gagal. Gagal menjadi ibu yang sesungguhnya karena tidak melahirkan pervaginam, gagal menjadi ibu karena tidak memberi ASI, gagal menjadi ibu karena anaknya suka mencoret dinding, dan gagal menjadi ibu karena anaknya tidak tumbuh selayaknya bayi pada umumnya.
Ketiga faktor di atas, menjadi semakin buruk tatkala suami, orang tua, dan mertua yang seharusnya mendukung justru lebih banyak menuntut. Harus jadi ibu yang baik, harus jadi istri sholehah, harus menjadi anak dan mantu yang berbakti. Semua menuntut dan harus menurut. Maka deperesi tak dapat dihindarkan, ibu justru menaruh kebencian yang tinggi pada anak yang baru dilahirkannya. Karena menganggap bahwa kesulitan yang ia alami bertubi-tubi, datang karena kehadiran bayinya.
Bahkan dalam keadaan yang terburuk, tak jarang berakhir dengan membunuh anak kandungnya sendiri seperti yang terjadi di Kendari di tahun 2020 lalu. Semua media men-framming perilaku ibunya, seolah-olah ia seorang ibu yang tidak cakap dan tak bermoral. Para netizen menyebutnya sebagai ibu kurang iman dan kurang dekat dengan Tuhan. Pun dalam keadaan yang sangat terpuruk inipun, tetap perempuan yang disalahkan.
Kenapa media tidak meliput suaminya? Ibunya? Atau mertunya? Atau mungkin tetangganya, atau saudara-saudara dekatnya?
Benarkah Baby Blues Sindrome dalam Islam Sebab Kurang iman?
Al-Quran memperkenalkan istilah jiwa yang tenang (an-nafsu al-muthmainnah), sementara Al-hadits menyebut kata al-fithrah, keduanya adalah syarat bagi kesehatan mental yang harus dimiliki seorang muslim. Hidup dengan jiwa yang tenang harus berdasarkan fitrah yang telah diberikan oleh Allah yaitu akidah tauhid. Tentu saja fitrah ini membutuhkan sesuatu yang memeliharanya dan membuatnya tumbuh menjadi lebih baik.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Tirmidzi, ketenangan jiwa akan bisa diraih jika seseorang merasa aman, percaya pada diri sendiri, teguh pendirian, dan mendapat kasih sayang dari lingkungan sekitar.
Sedangkan pemikiran al-Farabi tentang kesehatan mental berkaitan dengan daya fantasi. Jika daya fantasi pada seseorang sangat kuat, tidak disibukkan dengan hal-hal inderawi yang masuk ke dalamnya melalui indera, tidak sedang melayani daya rasional, maka ia bisa mengkhayalkan segala hal yang diberikan akal aktif melalui peniruannya terhadap hal-hal yang bersifat inderawi dan terlihat. Kemudian ia membuat sketsa untuk objek inderawi itu di dalam daya penginderaan.
Baik dalam al-Quran, hadits, maupun filosof muslim sepakat bahwa kondisi kesehatan mental, dan jiwa seseorang juga dipengaruhi oleh bagaimana perlakuan dari orang sekitarnya. Kesehatan jiwa dalam Islam tidak hanya didapatkan dari internal individu tersebut, namun juga dipengaruhi oleh kehidupan orang-orang disekelilingnya. Seberapapun kokohnya keimanan seseorang akan Tuhannya, namun jiwanya rapuh karena tidak percaya pada diri sendiri, dan merasa tidak aman dilingkungan terdekatnya, maka mentalnya akan terganggu.
Seberapa khusu’nya seorang beribadah namun setiap hari mendapatkan penghakiman, penghinaan yang masuk ke indera manusia, merasuk ke dalam diri, dan menjadi sugesti akan ketidakmampuannya. Pada akhirnya akal fiktif akan mengambil alih perannya dan melakukan hal-hal yang melampaui batas.
Maka mengubah stigma bahwa baby blues syndrome adalah akibat dari lemahnya iman harus segera digalakkan. Semua perempuan memiliki potensi untuk terkena baby blues syndrome, dan berpotensi untuk membuat seseorang terjangkit baby blues syndrome. Yang diperlukan oleh seorang ibu yang baru melahirkan adalah apresiasi dan support. Berhenti menghakimi pilihannya, dan perhatikan apa yang ia rasakan.
Sebenarnya mudah kok caranya, bisa kita mulai dari diri kita sendiri. Yaitu dengan menghindari kata-kata “kok gitu sih? Harusnya gini lho.” []