Mubadalah.id – Saya mencermati sejak tahun 2000 muncul banyak sekali lembaga pendidikan yang bersifat boarding school yang berbasis keagamaan atau pesantren. Ada banyak penjelasan mengapa ada semacam kehausan masyarakat pada hal-hal keagamaan setelah periode itu.
Mungkin kehausan itu berangkat dari perubahan sosial, karena rekayasa sosial yang menciptakan kebutuhan tersebuat, atau manusianya yang merasa membutuh kepastian-kepastian hidup khususnya bagi masa depan anak-anaknya di tengah perubahan dunia, dan mereka percaya pada agama, atau dua hal ini saling berkelindan dengan persoalan lain.
Makin banyak partisipasi masyarakat untuk mengupayakan pendidikan yang baik secara sistemik bagi generasi muda, diharapkan membawa kebaikan. Tetapi bagaimana realisasinya, ini selalu membutuhkan evaluasi dalam banyak segi, karena lembaga pendidikan boarding school, termasuk di dalamnya pesantren, ashram, seminari menggabungkan proses tumbuh kembang melalui pendidikan keluarga dengan pendidikan oleh lembaga formal.
Dengan mengedepankan pemikiran yang optimis pun, tetap saja penggabungan dalam mendampingi proses tumbuh kembang sekian banyak anak sesungguhnya penuh resiko; pintar saja belum tentu baik, baik dan pintar belum tentu berintegritas, berpenampilan baik, pintar berintegritas, belum tentu potensi yang tumbuh optimal.
Oleh karena itu di pesantren-pesantren yang memiliki riwayat pendidikan dan pengasuhan lama ( juga di ashram dan seminari sebatas pengetahuan saya), memiliki tradisi olah spiritual yang sangat kental dan memiliki kelenturan dalam proses belajar keilmuan, istilah sekarang demi memanusiakan manusia dalam konteks dan keunikannya.
Banyak orang tua yang dengan kesalihannya ingin anak mereka pun saleh-salihah dengan belajar di lembaga agama. Ada orang tua yang tidak percaya diri untuk mendidik anak-anak karena beberapa alasan. Ada orang tua yang mengirim anaknya ke pesantren karena kecemasan luar biasa terhadap kondisi lingkungan; situasi perubahan sosial yang sangat cepat di mana anak menghadapi banyak ketidakpastian, perasaan sendiri dan redupnya rasa aman di tengah pencarian identitas. Terlalu sering saya mendengar kekhawatiran para orang tua yang bercerita tentang lingkungan yang membahayakan anak-anak ; masuk geng motor, kena narkoba, miras, pergaulan bebas dll.
Banyak keluarga-keluarga yang tidak memiliki latar belakang tradisi pesantren, kurang informasi tentang pesantren mana yang memiliki pengalaman dalam mendidik,dan mengasuh anak sesuai dengan kebutuhan tumbuh kembang. Banyak yang terpikat dengan tampilan luar fasilitas bagus, jargon-jargon yang hebat dan kekuatan promosi oleh jaringan, tanpa mengecek riwayat lembaga ini.
Disinilah pentingnya peran negara yang memiliki tanggung jawab konstitusional dalam ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’, asosiasi-asosiasi lembaga pendidikan dan para pegiat pendidikan dari masyarakat untuk ambil peran mengecek dan membantu keluarga-keluarga lebih berdaya dalam memilih lembaga pendidikan untuk anak-anak mereka.
Kasus pemerkosaan terhadap belasan santri oleh gurunya di sebuah lembaga pendidikan berbasis agama di Cibiru Bandung yang menyebabkan sebagian korban sudah melahirkan dan sebagian hamil, adalah salah satu aib nasional menunjukkan lemahnya perencanan, dan evaluasi dalam mengembangkan pendidikan, karena negara memiliki sistem pendidikan nasional, masyarakat juga memiliki sistem pendidikan budaya adanya, tapi sampai tidak dapat mengendus adanya tindakan kejahatan seksual dalam waktu lama yang menghancurkan martabat kemanusiaan anak, keluarga dan menghacurkan hati para pendidik masyarakat umum.
Pasti bukan hanya saya dan teman-teman yang memiliki latar belakang pendidikan pesantren yang merasa hancur mendengar kejahatan seperti ini terjadi di lembaga pendidikan berbasis keagamaan. Kejahatan yang terkait martabat semua orang.
Tetapi lebih penting dan konstruktif adalah mengupayakan agar ke depan kejahatan dan cara pikir yang melatarbelanginya dapat dienyahkan, tidak terulang.
Hukuman setimpal bagi pelaku sesuai undang-undang perlindungan anak, penutupan lembaga, pemulihan dari trauma bagi korban dan keluarganya dan jaminan tumbuhkembang secara aman bagi bayi yang dilahirkan sangat tidak dapat ditawar. Namun ini belum cukup karena bisa saja akan terulang di tempat lain.
Undang-undang no. 18 tahun 2019 tentang pendidikan pesantren, pada bagian persyaratan pendirian, masih berupa syarat terkait melangsungkan pendidikan agama dan keagamaan yang bersifat keilmuan, masih kurang persyaratan yang menjamin adanya ruang yang aman dan ramah bagi tumbuh kembang anak, karena sekali lagi pesantren (dan lembaga-lembaga pendidikan boarding school) juga menjalankan peran pengganti pendidikan dalam keluarga, yang menumbuhkan perasaan aman, perasaan dicintai, perasaan berharga dan perasaan merdeka untuk menjadi diri sendiri.
Selain kekuatan kultural masyarakat, kementerian Pendidikan, Kementerian Agama, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Anak serta Kementerian Sosial perlu berkolaborasi dengan asosiasi-asosiasi atau jaringan penyelenggara pendidikan boarding school untuk memastikan, dan menjamin ruang tumbuh kembang anak yang terbaik, karena kejahatan seperti ini bukan satu-satunya, kita sudah memasuki situasi darurat dan lebih dari itu karena masa depan bangsa setengahnya di tentukan di ruang-ruang pendidikan.
Minum jamu itu pahit. Tapi tak perlu mundur dari kepahitan, untuk kesehatan. Martabat seorang manusia ada dan dipahami dalam martabat orang lain. Martabat kemanusiaan anda, saya , kita, ada juga dalam martabat anak yang diperkosa dan bayinya itu. []