Mubadalah.id – Pembahasan washatiyah dalam Al-Qur’an merupakan sesuatu yang menarik untuk dibicarakan. Pasalnya, problem keberagaman umat Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW mulai bemunculan. Termasuk dalam hal penafsiran terkait akidah maupun muamalah yang mulai terbentur dengan perbedaan sudut pandang. Aliran-aliran dalam Islam semenjak itu mulai mengkotak-kotak sampai mengkerucut. Sehingga umat Islam sendiri memilih berpegang keyakinan sesuai yang dianggap benar.
Hal ini juga senada yang diungkapkan Quraish Shihab bahwa keanekaragaman dalam hidup merupakan suatu keniscayaan yang dikehendaki oleh Allah. Termasuk didalamnya terdapat beberapa pendapat mengenai bidang ilmiah, penafsiran-penafsiran kitab suci serta bentuk pengamalan amaliah.
Menanggapi adanya fenomena tersebut, sebagai hamba Allah yang bijak. Maka seseorang tidak boleh mengklaim sebagai “wakil tuhan” atau merasa paling benar dalam menjalankan syari’at Allah. Apalagi dalam mengimplementasikan ketaatan secara berlebih-lebihan yang akhirnya merendahkan martabat seseorang bahkan tidak memanusiakan manusia.
Maka hal tersebut tidak dibenarkan dan tentunya sudah melampaui batas ajaran Islam. Mengutip pandangan dari Yusuf Qardhawi yang dinobatkan sebagai “Father of religious moderation in the Islamic world” akibat terjadinya kericuhan di kalangan umat beragama, karena berlebih-lebihan dalam beragama yang ditandai salah satunya sifat kefanatikan.
Dengan demikian, istilah wasathiyyah harus dipahami betul dalam pengaplikasiannya. Wasathiyyah atau yang disebut sebagai pemahaman yang moderat bisa diartikan sebagai suatu sikap penolakan terhadap tindakan ekstremisme yang berbentuk kezaliman maupun kebatilan. Dalam hal ini pemahaman yang moderat dapat berimplikasi terhadap sikap toleran. Sikap wasathiyyah bukan hanya sekedar pertengahan secara matematis dan pasif. Sikap yang terbaik sesuai dengan tuntunan dan adil menempatkan segala sesuatu pada tempatnya.
Ukuran wasathiyyah juga bisa dilihat dengan kondisi yang dihadapi. Sehingga dalam menanggapi kondisi tersebut harus memerlukan pengetahuan dan memilih jalan yang terbaik. Maksud perlu adanya pengetahuan adalah seseorang harus mengetahui posisinya dan melihat titik ekstrimnya terletak disebelah mana. Dengan begitu akan menemukan jalan moderat dalam menghadapi problematika yang terjadi. Demikian halnya aspek wasathiyyah tidak hanya meliputi aspek aqidah saja, tetapi juga termasuk aspek syari’ah dan akhlak.
Pengaplikasian Sikap “Wasathiyyah” dalam Kehidupan
Cara pandang wasathiyyah lebih tepatnya dapat melindungi kemaslahatan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Sehingga akan memunculkan sikap yang inklusif, konstruktif, dan integratif. Islam adalah agama yang ramah tamah bukan agama yang marah-marah, agama yang menjunjung tinggi martabat kemanusian bukan sebagai agama yang mengingkari nilai-nilai kemanusiaan. Untuk itu Pentingnya menjaga otensititas Islam dengan wujud wasathiyyah adalah menunjukkan bahwa Islam agama yang Rahmatallil’alamin.
Sebagai seseorang yang memiliki sikap wasathiyyah tentunya tidaklah menghujat keyakinan orang lain bahkan sampai mengkafir-kafirkan golongan tertentu. Dalam QS. An-Nahl [16] : 125 dijelaskan bahwa dalam mengajak seseorang ke jalan Allah SWT harus melalui cara yang bijak, suri tauladan serta berdialog dengan baik dan santun, tanpa di dalamnya dibarengi dengan rasa kebencian karena sebuah perbedaan. Konsep inilah yang semestinya dilaksanakan umat manusia. Sehingga akan mewujudkan perdamaian yang dicita-citakan.
Al-Asfahaniy menyebutkan dalam kitabnya “Mufradat al-Fadzul Qur’an” bahwa kata “wasath” dalam al-Qur’an diantaranya terdapat pada QS.Al-Baqarah [2] : 143. Dengan ini Al-Asfahaniy mendefinisikan “wasathan” adalah tengah-tengah diantara dua batas atau dengan keadilan. Wasathan juga bisa bermakna menjaga dari sikap ifrath dan tafrith. Sedangkan al-Jazairi dalam tafsirannya “Aisar At-Tafasir li Kalam al-‘Aly al-Kabir” menafsirkan term “ummatan wasathan” sebagai umat pilihan yang adil, terbaik, maupun umat yang memiliki misi untuk meluruskan.
Maka dari itu, sikap wasathiyyah harus diterapkan secara konsisten dalam menjalankan ajaran-ajaran Allah. Dengan demikian akan menjadi umat yang terbaik dan terpilih. Sehingga sikap wasathiyyah menghasilkan umat Islam sebagai umat moderat. Moderat dalam segala hal baik urusan sosial maupun agama.
Hal ini tentunya akan berdampak positif terhadap agama-agama lain yang membuahkan toleransi. Karena hakekatnya semua agama mengajarkan sikap kebaikan bukan kerusakan. Walaupun berbeda-beda dalam aliran maupun keimanan, sikap toleransi adalah sikap yang penting dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan tidak akan mengalami timpang tindih sebelah. Semakin luas ilmu pengetahuan seseorang, maka akan semakin besar toleransinya.
Membangun bentuk toleransi dengan tidak mengedepankan ego. Mentaati kesepakatan bersama dalam menjunjung nilai-nilai pokok ajaran agama maupun negara. Sama-sama berjalan dalam memperbaiki dan membangun arus menuju kebajikan. Membangun toleran juga harus diiringi pengetahuan dan konteks yang dihadapi. Dengan begitu ketika pola pikir seseorang sudah mencerminkan sikap toleran, maka pola perilaku secara tidak sengaja akan mengikuti arus pola pikir moderat tersebut.
Adapun sikap pendekatan mengajak seseorang dalam menghargai perbedaan. Dengan ini keikutsertaan yang diajak berasal dari berbagai segi latar belakang, status sosial, budaya, etnik bahkan agama yang berbeda-beda untuk mencapai kerjasama demi kehidupan bermartabat, sejahtera, adil.
Sikap tersebut bukan berarti tidak teguh dalam akidah keyakinan agama yang dianut. Akan tetapi, sikap tersebut merupakan bentuk muamalah toleransi dalam menciptakan hidup yang ideal. Sejatinya manusia tidak bisa hidup secara personal tanpa bantuan orang lain, dengan begitu perlunya mengajak toleransi bersama-sama demi mewujudkan sikap toleran yang baik.
Demikian penjelasan terkait implikasi penerapan wasathiyyah dalam Al-Qur’an. Semoga keterangan implikasi penerapan wasathiyyah dalam Al-Qur’an bermanfaat. [Baca juga: Cara Meningkatkan Wawasan Kebangsaan untuk Usia Dini ]