Mubadalah.id – Hadis misoginis seringkali dijadikan dalil untuk menundukkan perempuan, bahkan mendiskriminasi perempuan. Perempuan dilarang menjadi pemimpin, perempuan sebagai sumber fitnah, hingga perempuan sebagai pembatal shalat, dll. Pertanyaannya di sini, Mengapa sulit sekali hidup menjadi seorang perempuan? Bukankah keadilan itu benar adanya? Lalu apakah semua stigmanisasi diatas itu benar?
Dalam membincang Hadis Misoginis, saya berangkat dari pemikiran Fatima Mernissi yang cenderung bijak dan teliti dalam melihat suatu dalil, khususnya hadis. Fatima Mernissi secara tegas menolak adanya hadis yang bernuansa misoginis. Bagi Fatima Mernissi, semua hadis yang bersumber dari Rasulullah semua bernilai baik (tidak ada diskriminasi terhadap kaum perempuan).
Hal ini terjadi karena terdapat perbedaan kedudukan perempuan antara masa Pra Islam (Jahiliyyah) dan Pasca datangnya Islam. Rasulullah sendirilah yang menjunjung tinggi kehormatan permpuan, Pada masa Jahiliyyah perempuan dikubur hidup-hidup, perempuan diasingkan dalam keadaan haidl , dll. Kemudian Rasulullah meluruskan semuanya.
Fatima Mernissi merupakan seorang Feminis Asal Maroko yang sangat aktif dalam kajian keperempuanan. Saat belia, Mernissi tinggal di Harem. Harem merupakan tempat perkumpulan satu keluarga yang digunakan sebagai tempat perlindungan anak-anak dan janda, dan biasanya Harem ini dikuasai oleh laki-laki. Di tempat inilah yang kemudian membuat Mernissi tumbuh menjadi wanita kritis, terutama yang berkaitan tentang perempuan.
Dalam proses pengembaraan nya, Mernissi mengambil studi di bidang Sosiologi dan bekerja di Departemen Sosiologi di Universitas V Rabatah, kemudian lanjut di Universitas Brandeis Amerika dengan program Beasiswa dengan gelar Ph.D dalam bidang Sosiologi.
Melalui jiwa Sosiolog nya, Mernissi ingin memperbaiki pemahaman Hadis Misoginis yang dirasa mendiskriminasi perempuan. hal ini dilatarbelakangi oleh pengalaman pribadi Mernissi yang melihat adanya ketidakadilan dan ketimpangan yang terjadi pada perempuan di masa lalu.
Kritik Fatima Mernissi Terhadap Hadis
Dalam melihat suatu hadis, khususnya hadis Misoginis. Mernissi tidak langsung menerima begitu saja hadis tersebut, melainkan ditelaah terlebih dahulu apa yang membuat hadis tersebut dianggap misoginis. Dalam meneliti hadis, Mernissi menggunakan dua pendekatan.
Pertama, ia menggunakan pendekatan Historis untuk meneliti kapan hadis itu diriwayatkan oleh Rasulullah, tak hanya itu ia juga menyoroti perawi pertama yang meriwayatkan hadis. Ia sangat memperhatikan kredibilitas perawi pertama. Meskipun hal ini, tidak biasa dalam dunia hadis (biasanya para ulama menempatkan perawi utama dalam status Adl).
Namun berbeda dengan Mernissi, ia melakukan pendekatan ini untuk mendapatkan gambaran sosiologis pada saat hadis itu diriwayatkan. Tentunya hal ini tidak terlepas dari bidang studi yang Mernissi geluti. Kedua, ia menggunakan pendekatan Pendapat Ulama, hal ini dilakukan untuk verifikasi atas kritikan Mernissi terhadap hadis Misoginis. Dan tentunya hal ini dengan menerapkan kaidah-kaidah metodologis yang telah di definisikan oleh para ulama.
Salah satu Hadis yang dikritik oleh Fatima Mernissi
Hadis tentang kepemimpinan perempuan.
“Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Haitsam telah menceritakan kepada kami Auf dari Al Hasan dari Abu Bakrah dia berkata; Sungguh Allah telah memberikan manfaat kepadaku dengan suatu kalimat yang pernah aku dengar dari Rasulullah, -yaitu pada waktu perang Jamal tatkala aku hampir bergabung dengan para penunggang unta lalu aku ingin berperang bersama mereka.- Dia berkata; ‘Tatkala sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa penduduk Persia telah di pimpin oleh seorang anak perempuan putri raja Kisra, beliau bersabda: “Suatu kaum tidak akan beruntung, jika dipimpin oleh seorang perempuan.” (HR. Al-Bukhari No. 4425)”
Dari kutipan hadis di atas, Fatima Mernissi menggunakan pendekatan yang Pertama, yaitu melihat sisi Historis kemunculan Hadis. Di mana hadis ini muncul karena dilatarbelakangi oleh keadaan sosial pada saat itu, yakni adanya kontroversi antara Raja Persia dengan Puteranya yang menimbulkan kematian sang Raja sehingga diangkatlah Puterinya menjadi Ratu.
Namun masa kepemimpinannya hanya berlaku sekitar 1 tahun lebih 6 bulan. Sehingga dari sini muncul lah pandangan skeptis mengenai kepemimpinan perempuan. Hal ini juga dilatar belakangi oleh kondisi bangsa Arab pada saat itu masih lekat dengan tradisi Jahiliyah yang sangat Patriarkis sekali.
Tak hanya itu, Mernissi juga mengkritik perawi Pertama, yaitu Abu Bakrah. Setelah ditelusuri ternyata Abu Bakrah tidak memiliki kredibilitas yang baik. Abu Bakrah pernah dihukum cambuk oleh Umar Bin Khattab karena pernah memberikan kesaksian palsu atas qadhaf. Dalam hal ini, Fatima Mernissi mengambil kesimpulan melalui pendekatan kedua yaitu Pendapat para Ulama yang menyatakan mengenai keabsahan seorang perawi bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah tertolak, karena di masa hidupnya ia pernah melakukan kebohongan.
Dari sini dapat dilihat bahwa yang menjadi pijakan Utama Fatima Mernissi dalam mengkritik hadis ialah melalui Pendekatan Historis dan Metodologis. Tanpa ragu Fatima Mernissi dapat memberikan penjelasan-penjelasan mengenai kredibilitas tokoh hadis yang dikajinya. Hal ini merupakan suatu bentuk perhatian penuh Fatima Mernissi terhadap perempuan yang seringkali dipandang sebagai makhluk inferior dan pendiskriminsian terhadap kaum perempuan. []