• Login
  • Register
Kamis, 3 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Nilai Kesetaraan Perempuan dalam Perspektif Ibnu ‘Arabi

Ibnu ‘Arabi menafsirkan kedudukan laki-laki lebih tinggi dari perempuan dengan melihat hubungan Tuhan, dan kosmos (alam semesta) sebagai hubungan paralel

Ana Fadhilah Ana Fadhilah
28/01/2022
in Personal, Rekomendasi
0
Kesetaraan Gender

Kesetaraan Gender

518
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Wacana tentang kesetaraan gender selalu menjadi pembahasan menarik dan tidak ada habisnya. Banyak hal yang selalu memunculkan perdebatan, baik tentang perempuan, kebebasan maupun kesetaraan. Benarkah, bahwa dalam segala hal perempuan harus setara dengan lak-laki? Bisakah jika perempuan lebih tinggi dari laki-laki, lebih rendah atau setara? Terkadang,  analisis yang salah dan tidak selesai justru akan menciptakan problem baru, yakni tentang diskriminasi, ketidakadilan dan perempuan yang dianggap lebih rendah. Benarkah  demikian?

Dari berbagai literature bacaan tentang kesetaraan gender, saya tertarik dengan pemikiran ‘Ibn Arabi yang membahas tentang perempuan. Gender memang dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, tentu dengan hasil analisis yang beragam pula. Ibn ‘Arabi adalah seorang sufi, tokoh tasawuf falsafi yang terkenal dengan teori “Wahdatul Wujud” nya.

Terlepas dari sosoknya yang kontroversi karena pemikirannya yang mengatakan bahwa manusia bisa bersatu dengan Tuhan, saya tertarik dengan pemikirannya tentang perempuan. Pemikiran tersebut terdapat dalam buku Tasawuf Perenial: Kearifan Kritis Kaum Sufi karya Kautsar Azhari Noer. Dalam buku tersebut, Ibnu ‘Arabi mengatakan bahwa dalam kondisi tertentu perempuan bisa lebih rendah, setara, bahkan lebih tinggi dari laki-laki.

Dalam hal kesetaraan laki-laki dan perempuan, Islam mendapat citra negatif karena “dianggap” telah menempatkan kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki. Islam “dianggap” telah memberikan kelebihan-kelebihan kepada laki-laki dalam hak-hak individual dan sosial dibandingkan perempuan. Di antara contohnya,  laki-laki mendapatkan hak waris dua kali bagian dibanding perempuan, perempuan tidak dibolehkan menjadi mu’adzin, dan imam shalat selama laki-laki masih ada, ataupun perempuan yang dianggap sebagai sumber fitnah oleh pendapat sebagian ulama.

Pandangan diskriminatif ini dilahirkan oleh syariat Islam yang selalu menekankan tentang aspek eksoterik hubungan gender dalam hukum, sosiologi dan politik. Syariat cenderung mencari apa yang harus dilakukan, bukan mencari mengapa sesuatu dilakukan.

Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa gender tidak dapat dijawab secara mendalam oleh syariat. Tidak pula dijawab oleh kalam. Akan tetapi, pertanyaan ini dapat dijawab oleh tradisi kearifan (sapiental tradition), yang mencari alasan-alasan mendasar dalam ajaran Islam. Adapun tokoh dalam tradisi kearifan, kebanyakan adalah golongan sufi, meskipun juga harus diakui bahwa diantara tokoh tradisi ini adalah juga dari para filsuf. Dalam hal ini, Ibnu ‘Arabi adalah tokoh sufi yang sekaligus seorang filsuf. Sehingga tidak heran jika Ibnu ‘Arabi termasuk tokoh tasawuf falsafi.

Baca Juga:

Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?

Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

Ibnu ‘Arabi menafsirkan kedudukan laki-laki lebih tinggi dari perempuan dengan melihat hubungan Tuhan, dan kosmos (alam semesta) sebagai hubungan paralel. Dalam hal ini artinya bahwa sebagaimana Tuhan menjaga setiap jiwa (manusia) sebagai bagian terpenting dari kosmos, maka laki-laki ditempatkan lebih unggul dari perempuan juga untuk menjaga jiwa perempuan.

Kaum perempuan adalah keluarga kaum laki-laki, sebagaimana setiap makhluk adalah keluarga Tuhan.  Dalam hal lain, Ibnu ‘Arabi menolak mitos bahwa keunggulan laki-laki dipandang dari proses penciptaan Adam dan Hawa -bahwa Hawa berasal dari tulang rusuk Nabi ‘Adam. Karena jika demikian, argument tersebut akan dihadapkan dengan kisah lahirnya Nabi Isa dari Maryam. Sehingga, proses penciptaan Nabi Adam dan Hawa tidak menjadi alasan keunggulan laki-laki di atas perempuan.

Ibnu ‘Arabi melihat bahwa keunggulan laki-laki di atas perempuan berasal dari kenyataan bahwa perempuan adalah lokus yang menerima aktivitas (identik dengan kata di-dicintai, dihamili, disayangi), sedangkan laki-laki identik dengan kata me-. Artinya bahwa laki-laki sebagai pemberi aktivitas lebih tinggi kedudukannya dibandingkan perempuan. Kedudukan laki-laki dan perempuan juga dikaitkan dengan perempuan yang diidentikkan dengan konsep yin yang. Perempuan mendominasi sifat yin. Sedangkan laki-laki mendominasi sifat-sifat yang.

Ibnu ‘Arabi memandang kedudukan laki-laki setara dengan perempuan dari sudut padang reproduksi, yakni tentang proses penciptaan Nabi Adam– Siti Hawa, dan penciptaan Isa yang dilahirkan Siti Maryam tanpa bapak. Dalam hal ini, laki-laki dikatakan setara dengan perempuan karena proses penciptaan Hawa sama dengan penciptaan Isa putra Maryam.

Kedudukan setara juga dalam hal kemanusiaan (insaniyyah). Tuhan membuat kaum laki-laki setara dalam hal kewajiban syari’at (puasa, shalat, jujur, dermawan, beriman, sederhana, sabar, memimpin-dalam bidang politik sosial-bukan agama). Di samping itu, kesetaraan juga termasuk dalam hal persamaannya dapat mencapai puncak spiritual, tingkat kesempuranaan dan kenabian, meskipun kaum perempuan tidak sampai tingkatan risalah (pengutusan).

Terakhir, perempuan lebih tinggi dari laki-laki dapat dilihat dari kenyataan adanya kekuatan dahsyat dalam diri perempuan, dan penyaksian akan Tuhan yang paling sempurna dalam diri perempuan. Dalam kenyataannya, kaum laki-laki dalam banyak hal lebih lemah dari perempuan, laki-laki tidak berdaya tanpa perempuan. Perempuan dibuat bersifat dicintai bagi laki-laki karena perempuan adalah lokus penampakan Tuhan. []

Ana Fadhilah

Ana Fadhilah

Ana Tri Fadhilah, mahasiswa pasca sarjana ilmu tasawuf STAI Sunan Pandanaran. Lulusan tasawuf tapi bukan sufi, penggemar kopi, nulis, ngaji, lainnya hepi-hepi. Bisa disapa melalui akun fb: AnaTriFhaa, twitter: Ana TriFha atau email anafadhilah40@gmail.com

Terkait Posts

Kebencian Berbasis Agama

Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

2 Juli 2025
Vasektomi

Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

2 Juli 2025
Anak Difabel

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

1 Juli 2025
Narasi Pernikahan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Second Choice

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

30 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Boys Don’t Cry

    Boys Don’t Cry: Membongkar Kesalingan, Menyadari Laki-laki Juga Manusia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ironi: Aktivis Lingkungan Dicap Wahabi Lingkungan Sementara Kerusakan Lingkungan Merajalela

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Demianus si ‘Manusia Pembalut’ dan Perlawanan terhadap Tabu Menstruasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?
  • Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu
  • Melihat Lebih Dekat Nilai Kesetaraan Gender dalam Ibadah Umat Hindu: Refleksi dari SAK Ke-2

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID