Mubadalah.id – Sekitar bulan Desember lalu, saya melakukan pelatihan Youth Interfaith Camp yang diikuti oleh generasi muda dari berbagai agama dan keyakinan. Acara tersebut diselenggarakan di Desa Tamiyang (Rehoboth) Kecamatan Kroya Kabupaten Indramayu. Saya senang bertemu dengan berbagai keyakinan dan mengenal mereka.
Pemandangan pertama yang mencuri perhatian saya adalah bangunan mesjid, dan bangunan gereja yang saling berdampingan ditengah permukiman warga, mengapa menarik? Desa Rehoboth merupakan daerah perkampungan yang jauh oleh perkotaan, di mana kita ketahui semunya tingkat toleransi beragama di perkampungan sangatlah rendah.
Contohnya daerah rumah saya di Garut Selatan, jika dilihat secara tata letak bisa dikatakan sama persis seperti Desa Rehoboth ini. Di kampung saya, tingkat toleransinya sangat rendah, jangankan ngobrolin perbedaan agama, berbeda dalam hal ormas dan masih satu agamapun sudah saling membenci dan mencaci. Saya tidak bisa membayangkan jika di kampung saya ada yang berbeda agama atau bahkan di luar agama yang diresmikan negara, sepertinya akan terjadi perang dunia ke 4.
Tetapi, hal tersebut tidak berlaku bagi Desa Rehoboth ini, di tengah perbedaan mereka tetap bisa tentram dan rukun. Saya melihat sekumpulan ibu-ibu yang sedang memasak terlihat mesra tanpa tersekat berbeda keyakinan, saya juga melihat sekumpulan anak kecil sedang bermain asyik tanpa tahu perbedaan mereka, dan terdengar jelas suara mengaji dari speaker mesjid serta suara ritual ibadah dari gereja, di antara penganut keduanya tetap tentram tidak mempermasalahkannya.
Menurut keterangan ustad Ujang Saefudin, dan pendeta Johanes selaku tokoh agama di sana, menyatakan bahwa ternyata suasana di sana tidak hanya sebatas menghormati antar beda agama, tetapi juga saling membantu ketentraman beribadah masing-masing. Semisal pada saat perayaan shalat Idul Fitri umat Kristiani membantu merapihkan parkiran, begitupun pada saat acara Natal masyarakat muslim melakukan demikian.
Selain itu, mereka saling menghantarkan makanan pada saat perayaan agamanya masing-masing, contohnya pada saat Idul Fitri. Bahkan ketika acara pernikahan umat Kristiani, terkadang masyarakat muslim ikut andil dalam panitia acara pemberkatan, misalkan ikut memainkan alat musik, menyanyi ataupun menari.
Kalau kata ustad Ujang “Masyarakat sini tidak hanya saat hidup saja bersama, tetapi saat meninggalpun” maksudnya apa? Jadi, masyarakat Desa Rehoboth ini menyatukan pemakaman Kristen dan Islam dalam satu tempat tanpa pengecualian, yang membedakan hanyalah nisannya saja.
Yang menarik juga, dalam satu keluarga terdapat beragam keyakinan, bagaimana sikap mereka? Masyarakat sana tidak keberatan soal hal itu, mereka menerima keputusan anggota keluarganya yang ingin berpindah keyakinan dengan syarat menekuni agama tersebut dengan sungguh-sungguh, karena mereka memandang semua agama mengajarkan kebaikan.
Kok bisa ya masyarakat setentram itu? Konon katanya masyarakat Rehoboth berasal dari satu keturunan yang sama, mbah-mbahnya mengajarkan bahwa persaudaraan adalah hal yang utama dibandingkan yang lainnya, termasuk keyakinan, dan dari leluhurnyapun membebaskan keyakinan anak-anaknya asal ditekuni “Namanya juga saudara, masa gara-gara beda keyakinan langsung bertengkar.” seru Ustad Ujang.
Masyarakat Desa Rehoboth ini terbilang jarang sekali ada konflik agama, kalaupun ada mereka langsung selesaikan secara langsung sampai tuntas saat itu juga dengan cara dimusyawarahkan. Dan jika ada konflik agama yang berkepanjangan, mereka meyakini bahwa itu berasal dari luar masyarakat mereka, karena masyarakat Rehoboth ini sangat menjungjung tinggi persaudaraan sesama manusia.
Potret Desa Rehoboth ini semoga segera ditiru oleh daerah-daerah lainnya, karena beragama dengan bebas adalah hak setiap individu manusia, tetapi memanusiakan manusia adalah kewajiban setiap manusia. Berbeda itu kehendak Tuhan dan menerima serta hidup dalam perbedaan tersebut adalah sebuah keniscayaan.
Apa salahnya hidup dalam perbedaan? Takut imannya luntur? Berdasarkan pengalaman saya ketika mengenal keyakinan lain, saya lebih menghormati dan menerima perbedaan mereka. Bukannya sikap fanatik berangkat dari ketidaktahuan? Dan saya pribadi sepakat dengan kalimat “Tak kenal maka tak sayang”, tenang kok, mengenal mereka tidak akan membuat imanmu luntur.
Jika kamu meyakini kebenaran agamamu, maka buktikanlah kebenaran itu dengan akhlak terbaik, bukan dengan kebencian apa lagi cacian. Dan berperilaku baik kepada sesama manusia termasuk beda keyakinan merupakan akhlak yang baik. []