Mubadalah.id – Ada sebuah analogi bagus, yang dapat merepresentasikan tentang bagaimana cara agar kita dapat memiliki sikap toleransi yang baik. Mengingat model kehidupan masyarakat kita adalah masyarakat majemuk, baik kepercayaan, suku, budaya, bahasa, dan agama. Analogi ini disampaikan oleh Dr. Chris Seiple, Senior Research Fellow University of Washington, dalam penutupan pemaparannya pada Webinar Literasi Keagamaan Lintas Budaya yang diselenggarakan oleh Institut Leimena akhir tahu lalu. Analogi yang dimaksud adalah sepiring Gado-gado.
Nilai toleransi yang bagaimana yang terdapat dalam sepiring Gado-gado? Makanan yang hampir bisa dijumpai dimanapun ini memiliki filosofi yang tinggi, jika sebelumnya kita memakannya hanya menikmati rasanya saja, sudah saatnya mulai merenungkan juga nilai baik yang terdapat di dalamnya. Nilai baik yang dimaksud adalah:
Pertama, Kita tetap menjadi diri sendiri tanpa harus menjadi orang lain. Umumnya, yang dikhawatirkan seseorang jika bersama dengan yang berbeda adalah takut jika akan terpengaruh, takut untuk murtad, takut menjadi diri yang berbeda, dan ketakutan-ketakutan lainnya yang membuat pergaulannya menjadi begitu eksklusif. Pergaulan yang tertutup ini adalah suatu tanda bahaya, karena orang yang bersangkutan akan sulit memahami dan merasakan perbedaan yang ada, sehingga mudah baginya untuk merasa paling benar dan salah milik liyan.
Dari Gado-gado kita belajar, kita akan tetap menjadi kentang, toge, tahu, lontong, tempe, ataupun telur rebus tanpa terpengaruh oleh kehadiran komponen lainnya. Komponen-komponen yang terdapat dalam Gado-gado memiliki cita rasa masing-masing yang membuat makanan ini menjadi istimewa. Manusia juga sama; dengan bersama mereka yang tidak seagama, tidak serta merta menjadikan kita murtad; dengan bersama mereka yang tidak sebudaya, tidak serta merta menjadikan kita menjadi diri mereka. Ya, kita akan tetap menjadi diri kita sendiri.
Kuncinya, menurut Dr. Chris, kita harus memiliki kompetensi pribadi, yakni kemampuan untuk dapat memahami diri sendiri, berikut moral-moral yang kita yakini. Dengan demikian, kita dapat menentukan sikap bagaimana bereaksi terhadap orang lain yang berbeda tanpa menghilangkan jati diri sendiri. Kita tidak sedang menyatukan perbedaan yang memang berbeda, namun kita sedang bersikap untuk saling rendah hati, mau saling mendengarkan, mau saling belajar, dan mau untuk saling menghargai.
Pentingnya memiliki kompetensi pribadi ini sejalan dengan pendapat Buya Husein Muhammad, “Orang dengan pikiran yang tercerahkan tak akan mudah menerima ajaran-ajaran dogmatik.” Baik itu ajaran dogmatik atas dasar agama, kepercayaan, maupun suku budaya tertentu.
Kedua, Kita harus mau bercampur dan berdampingan dengan yang lain. Dari Gado-gado kita juga belajar, bahwa tidak masalah jika kita berdampingan dan berinteraksi dengan yang berbeda. Bagaimana kita akan belajar memahami, jika kenal saja tidak, jika berkomunikasi saja tidak, apa yang akan kita pahami? Saat kita mau mengenal, kita akan mengetahui dan memahami, dan saat itulah kita dapat menghargai dan menerima perbedaan yang ada.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Prof. Dr. Phil. Al Makin, MA, toleransi bukan hanya menerima umat yang berbeda, tetapi adanya komitmen untuk memahami, menjaga hak-hak, bahkan melindungi mereka saat dalam ancaman. Artinya, toleransi pada dasarnya bersifat resiprokal (saling). Sehingga, kita juga perlu menyadari, bahwa bagi orang lain, kita juga berbeda, sehingga kita semua perlu untuk saling berinteraksi, agar saling mengenal dan memahami, sehingga terdapat kesalingan dalam kehidupan yang lebih luas.
Ketiga, Kita harus berkolaborasi untuk bekerja sama menciptakan tujuan bersama. Walaupun memiliki banyak jurang perbedaan, namun kita semua memiliki banyak jembatan persamaan, terutama dalam hal-hal kemanusiaan. Sebagaimana Gado-gado, yang berkolaborasi bersama dengan bumbu kacangnya yang gurih untuk menciptakan makanan yang bermanfaat bagi yang menikmatinya, manusia juga hendaknya demikian.
Sebab, manusia merupakan makhluk yang memiliki akal untuk dapat menggali semua potensi yang dimiliki, di sinilah ruang untuk kita bersama berkolaborasi memahami konteks-konteks kemaslahatan yang memungkinkan untuk kita wujudkan bersama. Untuk apa? Untuk kemaslahatan bersama yang sifatnya menyeluruh, tanpa batas apapun.
Bukankah dalam pernikahan juga demikian, suami-istri yang memiliki banyak perbedaan juga bekerjasama dalam mewujudkan impian pernikahan yang didamba para anggota keluarga, masing-masing tidak dapat berjalan sendiri-sendiri, melainkan harus bersama. Terlebih dalam relasi yang lebih luas, relasi antar umat beragama, antar suku-budaya, antar bahasa, antar manusia-lingkungan, semuanya butuh kerjasama bersama demi kemaslahatan bersama pula.
Bapak Bangsa kita, KH. Abdurrahman Wahid, telah menjadi figur untuk isu ini. Beliau tidak segan melakukan ketiga hal di atas dalam segala lini kehidupan, tidak lain untuk memberikan contoh, bahwa toleransi hanya dapat diciptakan jika kita mau melakukan interaksi timbal-balik yang jelas dan etis untuk saling mengenal, terbuka, empatik, bekerjasama, serta tetap menjadi diri sendiri.
Makanan khas Indonesia ini, makanan peranakan Cina yang meniru menu Belanda, merupakan lambang dan identitas diri bangsa, Yuk nikmati, cermati, dan wujudkan dalam keseharian kita semua sebagai bangsa Indonesia SATU yang KUAT. []