Mubadalah.id – Secara biologis, perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan, sehingga akan ada pengalaman khusus yang hanya dialami oleh perempuan, dan begitu pun sebaliknya. Kekhasan biologis itu juga akan berpengaruh pada pola (pengalaman) hidup. Satu dari kekhasan pengalaman perempuan, dari segi biologis, adalah mengalami menstruasi atau haid. Tentu haid pertama kali yang dialami perempuan akan berdampak juga pada pola hidup termasuk dalam hal tradisi masyarakat bagi perempuan.
Bicara mengenai tradisi masyarakat, ada tradisi perempuan Bolaang Mongondow pada saat haid pertama yang disebut dengan terdapat tradisi bagi perempuan yang mengalami haid pertama. Tradisi itu dapat disebut dengan Momoton atau Bapoton yang bisa diartikan dengan menahan (diri).
Dalam buku Pokok-pokok Antropologi Budaya, T.O. Ihromi (ed.), dijelaskan bahwa beberapa masyarakat mempunyai upacara khusus yang menjadi pertanda kalau seseorang telah memasuki usia dewasa. Pada umumnya dalam upacara atau tradisi demikian yang bersangkutan harus melakukan aktivitas-aktivitas khusus.
Hal ini bergantung pada bagaimana jalannya tradisi di suatu masyarakat. Tidak semua cara pelaksanaan tradisi itu sama, ada yang terlalu memberatkan dan ada juga yang masih dalam taraf kewajaran serta sarat makna kehidupan dalam pelaksanaannya.
Haid pertama dipandang sebagai fase awal menjadi gadis, maksudnya perempuan itu bukan lagi sepenuhnya anak-anak karena telah masuk akil balig. Pada fase haid pertama inilah, dalam masyarakat Bolaang Mongondow, perempuan akan melakukan tradisi Momoton.
Saya jelas tidak punya pengalaman dalam tradisi ini, sebab saya adalah laki-laki. Sehingga, untuk keperluan penelusuran data dalam esai ini, saya mewawancarai beberapa Perempuan Bolaang Mongondow yang memiliki pengalaman Momoton saat haid pertama.
Momoton atau bapoton artinya menahan. Maksudnya adalah perempuan yang mengalami masa haid pertama sebaiknya menahan diri untuk jangan dulu melakukan beberapa hal yang menjadi pantangan. Di antara yang belum bisa dilakukan oleh perempuan saat mengalami haid pertama adalah keluar rumah, menyisir rambut, bercermin, dan menggunakan bedak (serta sejenisnya). Semua aktivitas tersebut pantang dilakukan selama tiga hari, dan Momoton (menahan diri) ini hanya berlaku pada perempuan saat haid pertama, setelah fase haid berikutnya tidak lagi.
Orang-orang tua juga akan mengingatkan kepada anak perempuannya bahwa termasuk pantangan saat haid pertama adalah jangan sampai menginjak kotoran ayam. Jika sampai keinjak, maka bisa menjadi gila. Karena itu, perempuan selama tiga hari tidak boleh keluar rumah, untuk mengurangi resiko menginjak kotoran ayam. Jika sampai melanggar beberapa pantangan yang telah disebutkan sebelumnya, untuk menghindari hal-hal buruk, maka si perempuan harus dimandikan kembali oleh seorang ba’ai (nenek).
Dalam masyarakat Bolaang Mongondow, perempuan akan menjalani tradisi Mopoumaan in limu (mandi lemon) pada tiga fase hidup, yaitu ketika masih bayi, waktu haid pertama, dan saat beat (baiat). Yang memandikan adalah ba’ai di kampung dengan cara si perempuan disiram menggunakan air yang telah dicampur dengan lemon. Jadi, perempuan yang mengalami fase haid pertama juga akan mandi lemon. Dan, jika dia melanggar pantangan dalam Momoton, maka harus dimandikan lagi. Masyarakat meyakini bahwa itu merupakan ikhtiar untuk menjauhkan anaknya dari hal-hal buruk di masa depan.
Pelaksanaan Momoton saat ini sudah terbilang agak ringan dibanding dahulu. Jika saat ini hanya berlangsung selama tiga hari, dahulu (zaman nenek saya) dilakukan sampai si perempuan selesai haid pertamanya. Dan, kalau saat ini perempuan hanya tidak bisa keluar rumah, dahulu malah tidak bisa keluar dari kamarnya (kecuali jika ada keperluan mendesak seperti buang air dan mandi). Jika menelik struktur rumah adat atau rumah Orang Bolaang Mongondow tempo dulu, maka di atas kamar–pada bagian loteng–terdapat ruangan khusus yang layak untuk dijadikan tempat istirahat. Salah satu fungsi dari ruangan itu adalah sebagai tempat memingit anak gadis saat haid pertamanya.
Saat ini, semua pantangan hanya tidak dilakukan selama tiga hari. Selain itu, selama tiga hari, si perempuan tidak boleh keluar rumah namun masih bisa beraktivitas di dalam rumah (tidak lagi dikurung dalam kamar). Setelah tiga hari, kaki si perempuan akan diinjakkan ke peda (golok), di beberapa desa peda hingga dilingkarkan ke tubuh si perempuan, dan setelah itu si ba’ai akan mulai membacakan doa-doa guna memohon kebaikan bagi si perempuan. Setelah prosesi tersebut, maka si perempuan sudah dapat beraktivitas seperti biasa.
Sekilas tradisi ini seakan untuk membelenggu perempuan yang mengalami haid, sebab perempuan dibatasi aktivitasnya selama beberapa hari. Namun, kalau ditelusuri lebih dalam, Momoton yang hanya berlangsung pada fase haid pertama sebenarnya bukan untuk membatasi (membelenggu) perempuan melainkan merupakan upaya edukasi diri bagi si anak perempuan.
Dalam konsep Strukturalisme Levi-Strauss, budaya pada hakikatnya dipandang sebagai suatu sistem simbolik atau bentuk sistem perlambangan. Untuk memahami suatu perangkat lambang budaya tertentu, terlebih dahulu harus dipahami masyarakat yang merupakan tempat sistem perlambangan (budaya) itu tumbuh. Perlu dipahami bahwa Bolaang Mongondow termasuk lekat dengan keyakinan mengenai pantangan-pantangan dalam kegiatan tertentu agar terhindar dari keburukan. Karakteristik tersebut tentu berpengaruh pada tradisi dalam masyarakat.
Berdasarkan konsep itu, dapat dipahami bahwa tradisi Momoton pada dasarnya merupakan upaya para leluhur dalam memberi edukasi bagi perempuan saat haid pertama. Tujuannya agar si perempuan terhindar dari berbagai keburukan di masa mendatang. Adanya pantangan-pantangan bertujuan untuk melatih diri agar terbiasa mengendalikan berbagai kemauan dalam hidup.
Dan, yang dimaksud bisa menjadi gila jika melanggar berbagai pantangan (tidak mau melatih diri) bukan menjadi orang sakit jiwa, melainkan orang yang rentan terjerumus dalam perbuatan yang tidak baik, sebab tidak mau belajar mengontrol hasrat dalam diri.
Ada pun pantangan untuk tidak menginjak kotoran ayam selama Momoton dan setelahnya kaki diinjakkan ke peda, bisa bermakna melatih agar selalu memerhatikan langkah (arah) dalam jalan kehidupan. Ketika langkah hidup tidak diperhatikan, maka sangat mungkin manusia akan menjadi gila, bukan sakit jiwa tapi maksudnya rentan tersesat dalam perbuatan yang tidak baik.
Jadi jika ditelusuri lebih dalam tradisi Momoton pada dasarnya bukan bertujuan untuk membelenggu perempuan. Melainkan, satu upaya edukasi bagi perempuan pada saat haid pertama, agar menjadi pribadi yang mampu mengontrol diri dalam menjalani kehidupan. []