Mubadalah.id – ”Siapa yang hadir ke tempat ini diantar oleh Bapak, Paman, atau saudara laki-lakinya? Atau adakah di antara anda yang orang tuanya ikut serta di kota tempat anda kuliah?”, begitu pertanyaan saya lontarkan dalam sebuah forum pelatihan yang diadakan oleh salah satu organisasi mahasiswa. Mereka berasal dari beragam kampus dari berbagai kota, dan terkadang mesti menempuh perjalanan dengan bus atau kereta lebih dalam sehari semalam, atau naik kapal hingga 2-3 hari lamanya. Namun, tak seorang pun di antara mereka mengangkat tangannya. Mereka saling melirik ke arah temannya, sambil menebak-nebak kemana arah pertanyaan saya.
”Anda datang ke acara pelatihan ini, bepergian lebih dari tiga hari, dan tidak ada seorang pun mahram yang mendampingi? Kenapa Anda tetap pergi? Memang, bukan Anda yang salah, namun orang tua terutama Bapak atau kakak laki-laki Anda telah tega membiarkan Anda, anak perempuan atau adik perempuannya bepergian sendirian. Kalau kita mau ketat saat mempraktikkan fiqh, pasti Anda tidak akan berada disini karena tidak ada mahram yang mendampingi. Kira-kira, hal apa yang membuat Bapak atau saudara lelaki anda tega melepas kepergian Anda?”
Mulailah mereka sibuk mencari beragam jawaban. Ada yang mengatakan bahwa mereka pergi berombongan, naik pesawat, aman, biasa bepergian sendiri, dan lain sebagainya. Oleh karena itu pertanyaan saya tentang mahram, seolah menjadi tidak relevan untuk saya ungkapkan.
Siapakah sejatinya mahram itu sehingga ia menjadi sedemikian penting untuk diperbincangkan. Seringkali, kita salah kaprah menyebut ’mahram’ dengan ’muhrim’ –yang sesungguhnya memiliki arti orang yang tengah berihram. Sementara, dalam perbincangan Fiqh sebagaimana dikutip sari situs Wikipedia, mahram bermakna adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selamanya karena sebab keturunan, persusuan dan pernikahan dalam syariat Islam. Mahram memiliki posisi yang istimewa, karena dipercaya untuk menjadi pelindung bagi seorang perempuan dan melakukan perjalanan jauh (safar) dengannya, bahkan menjadi wali yang bisa menikahkannya.
Dalam praktiknya, kini banyak para keluarga pesantren yang mengirimkan putra-putri mereka untuk nyantri dan mondok di luar kota, meneruskan kuliahnya di perguruan tinggi umum maupun agama baik negeri maupun swasta tanpa mendampingi mereka langsung dan menitipkan mereka untuk tinggal di rumah Pak Lik atau Pak De-nya dan cenderung mengirimkan mereka untuk mondok, tinggal di asrama hingga kos seperti mahasiswa-mahasiswa lainnya. Mereka juga tak segan-segan melepas anak gadisnya untuk melanjutkan menimba ilmu hingga ke luar negeri, seperti Al Azhar Cairo, Ummul Quraa di Madinah, ataupun Melbourne Australia, Leiden di Belanda, maupun di Inggris bahkan Amerika. Tak ada lagi kekhawatiran bahwa mereka tidak aman dan tidak terlindungi, karena transportasi yang aman dan sistem perlindungan keamanan di negara tujuan tersebut telah dianggap memadai.
Sesungguhnya, isu mahram juga sangat terkait dengan konteks mengenai mekanisme proteksi yang dilakukan secara komunal oleh keluarga besar dalam sistem kekerabatan di masa lalu dalam konteks masyarakat Arab dimana Islam hadir. Mahram memiliki kaitan erat dengan soal ”Qiwamah” (kepemimpinan) dan ”Wilayah” (perwalian) yang meniscayakan adanya tanggung jawab, jaminan sosial, dan mekanisme proteksi. Seorang ’mahram’ yang bertindak sebagai wali bagi seorang perempuan memiliki kuasa untuk memastikan perlindungan terhadap keamanan dan kesejahteraan bagi seseorang yang diwalikannya. Dalam situasi safar (bepergian), seorang mahram bertugas untuk memastikan keselamatan seseorang yang didampinginya selama perjalanan sehingga terlindungi dari marabahaya dan bentuk gangguan apa pun dari pihak lain. Hakikat ’mahram’ bukan untuk membatasi ruang gerak seseorang ataupun menghalang-halanginya memperoleh kesempatan untuk maju.
Faqihuddin Abdulkodir dalam tulisannya Konsep Mahram dan Perlindungan Perempuan pada rubrik Dirasah Hadis majalah Swara Rahima edisi 33 menyebutkan bahwa pandangan keharusan bepergian seorang perempuan dengan disertai mahram merujuk pada teks hadits riwayat Abdullah bin Abbas: “Rasulullah Saw bersabda: “Perempuan dilarang bepergian tanpa ditemani mahram”. Kemudian seorang laki-laki berdiri dan bertanya: “Ya Rasulullah, istriku berangkat sendirian menunaikan ibadah haji, sementara saya harus berangkat perang? Rasulullah menjawab: “Pergi dan lakukan haji bersama istrimu”. (Hadits Bukhari Muslim, Sahih Bukhari, no. hadits: 1862). Namun, teks tersebut bukan menguatkan larangan agar perempuan tidak bepergian maupun melaksanakan ibadah haji, namun menekankan pada seorang suami untuk menemani istrinya berhaji sehingga dia tidak pergi seorang diri.
Faqih menekankan bahwa dalam hadis ini Nabi Saw memerintahkan laki-laki untuk menemani istrinya, tidak memintanya memulangkan istrinya. Terkait hadits riwayat Abdullah ibn Abbas, Ibn Hazm berkata: “Kewajiban ada pada pundak suami; jika ia mendampingi istrinya berangkat haji, maka ia telah melaksanakan yang diperintahkan; tetapi jika ia tidak melaksanakan, maka ia dianggap melanggar perintah Allah, dan istrinya diperbolehkan pergi haji dengan atau tanpa dampingan suaminya, dengan atau tanpa dampingan keluarga, sebagaimana Nabi Saw membiarkan perempuan tersebut dan tidak menyalahkanya sama sekali” (al-Muhalla, juz 5, hal. 25). Meskipun Ibnu Hazm mengungkapkan hal ini dalam konteks ibadah haji, namun semestinya perempuan juga senantiasa mendapatkan perlindungan atas hak-hak dasarnya saat dia bepergian dalam rangka berbagai urusan sosial kemasyarakatan, bukan soal Haji saja.
Dahulu, pada masa Rasulullah saw. masih ada dan hubungan antar mahram begitu kuat serta kehadiran pihak lain dipandang akan mengancam eksistensi sebuah keluarga, maka tanggung jawab perlindungan memang menjadi tugas keluarga. Namun kini, bagaimana agar konsep dan mekanisme perlindungan itu menjadi tanggung jawab negara; mengingat jaminan terhadap rasa aman perlu dimiliki oleh setiap warga negara apa pun jenis kelaminnya.
Bila mekanisme, sarana, dan prasarana telah memadai maka perempuan merasa terjamin keamanannya. Seperti sabda Nabi yang menyebutkan bahwa suatu ketika akan ada perempuan yang pergi haji dari kota Hirah ke Makkah dalam keadaan aman. “Wahai ‘Adi, bila umurmu panjang, perempuan di dalam haudaj (tenda di atas punuk unta) bepergian dari kota Hirah hingga thawaf di Ka`bah tidak merasa takut kecuali hanya kepada Allah saja.” (HR Bukhari). Dan pada akhirnya, kita semua cukup berlindung kepada Allah saja.{}
Penulis: AD. Kusumaningtyas